Wednesday, May 29, 2019

Berdamai dengan dosa (bagian 5 - habis)

(Bagian satu, bagian dua, bagian tiga, bagian empat).

Kenapa tiba-tiba gue nulis panjang lebar tentang berdamai dengan dosa?. Karena gue sudah muak dengan betapa mudahnya sekarang ini kita ‘menasehati’ orang lain tapi di balik itu sudah tertera sebuah penilaian tentang dosa orang lain.

Berdamai dengan dosa, bagi gue, bukan berarti kita tidak peduli apa yang kita lakukan. Bukan berarti kita asik-asik aja berbuat segala yang dilarang Tuhan. Bukan itu.

Berdamai dengan dosa, adalah tentang menyadari bahwa memang ada perilaku yang seharusnya tidak kita lakukan, dan itu dosa. Merenunglah. Minta maaflah. Dan sadarlah bahwa perbuatan itu bisa menghasilkan karat di hati kita.

Tapi ya itu: sadarilah untuk diri sendiri saja dulu.

Dalam salah satu buku berjudul Iqro’, karangan Ustadz (yang juga ganteng) bernama Pardamean Harahap yang secara nggak sengaja gue ikuti kajiannya beberapa kali, dibahas tentang kesadaran. Atau bahasa keren yang sekarang sering sekali digunakan: mindfulness.

Bahwa dalam menjalani kehidupan, yang berarti dan bermakna adalah dimana kita saat itu. Sadarlah apa yang kita rasakan di saat itu. Apa yang kita pikirkan. Fokuskan di saat itu. Dan saat kita melakukannya, maka masa lalu dan masa depan akan mengikuti kesadaran kita di titik tersebut. Dan jika selalu berusaha untuk sadar tentang apa yang kita sedang rasakan, pikirkan, kita juga tidak akan sibuk dengan memikirkan bagaimana orang lain.

Bukan berarti kita jadi tidak peduli dengan orang lain, tapi kita sadari dulu diri kita bagaimana, dan dengan kesadaran itu kita membangun hubungan dengan orang lain. Kesadaran ini membuat kita tidak sibuk memikirkan orang lain melakukan apa, tapi lebih pada apa yang kita bisa lakukan supaya kita dulu yang menjadi baik sehingga yang kita lakukan dengan orang lainpun jadi baik.

Dan buat gue itu pula cara untuk berdamai dengan dosa – kita sendiri dan orang lain. Berdamai dengan dosa kita sendiri – dengan menyadari semuanya dan menyadari apa rasanya semua itu di hati. 

Dan berdamai dengan dosa orang lain: bahwa itu bukan urusan kita karena kitapun masih punya banyak urusan dengan kesadaran akan dosa kita sendiri. Karena pada kenyataannya, kita sering sekali dalam keadaan tidak sadar. Berapa banyak waktu yang kita habiskan, sebetulnya, untuk sekedar berlalu dalam hidup.

We think we are conscious, but in actual fact, we don’t. We are actually never present. We are always busy either to think of the future, or dwell over the past, but we often never really spend time to be conscious of our present.

Dan kadang dengan dalih amar ma’ruf nahi munkar, kita sibuk mengurusi kemungkinan dosa orang lain. Dan gue seringkali melihatnya sebagai pelanggaran privasi. Nothing wrong dengan menyeru pada kebaikan, tapi rasanya, ada baiknya kita berdamai dengan membiarkan orang lain melakukan dosanya karena kitapun jangan-jangan masih perlu diserukan untuk berjalan di jalan kebaikan. 

Mungkin kedengarannya jadi egois. Tapi sejujurnya, ada terlalu banyak seruan tanpa contoh kebaikan yang gue lihat seliweran di masyarakat saat ini, sehingga gue sering merasa semuanya cuma pepesan kosong. Dan itu, melelahkan.

Jalan menuju damai memang sulit dan panjang. I am also still learning. Entah apakah kita akan pernah ada di titik dimana kita tidak selalu merasa perlu mengkoreksi orang lain supaya mereka tidak berdosa, karena kita terlebih dulu sadar kita ada dimana. Semoga saja kita semua bisa ketemu di titik itu kelak. 

Aamiiin. 
















No comments:

Post a Comment

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts