Friday, January 24, 2020

PANIC PARENTING


Pagi ini iseng scrolling IG. Lalu melihat salah satu akun yang saya ikuti, mem-post foto ini.
Saya baca dengan seksama. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Dan saya tertegun.

Harus, ya, segitunya kita harus bereaksi karena adanya kasus ini itu yang menyangkut anak-anak yang depresi lalu bunuh diri?.

Tolong dicatat dulu.

Saya bukan bilang bahwa kasus-kasus tersebut bisa diabaikan. Tentu kita semua harus prihatin, dan refleksi diri: apa yang sudah (atau belum) saya lakukan sebagai orang tua untuk memastikan anak-anak saya tidak mengalami hal yang sama?. Apa yang sudah (atau belum) saya lakukan supaya anak-anak saya bermental kuat apapun yang harus mereka hadapi, ada orang tuanya ataupun tidak?. Sudahkah saya mempersiapkan anak-anak saya menghadapi berbagai tantangan di luar sana?. Adakah dukungan yang cukup saat anak saya harus menghadapi tantangan yang membuat perasaannya terganggu?.

Tapi tidak lalu bereaksi terhadap lagu, yang saya yakin banyak sekali orang di Indonesia ini yang kenal, dan menyarankan mengubah kata-katanya. Bagi saya, itu adalah reaksi kepanikan. Dan sebagaimana panik, tidak pernah produktif dan tidak pernah menyelesaikan masalah.

Saya dan juga banyak sekali orang tua di Indonesia ini, pasti dibesarkan dengan lagu itu juga. Pertanyaan saya: apakah saat ini saya, atau anda, depresi atau jadi orang yang lembek terhadap tantangan hidup?. Jika jawabannya iya, pertanyaan selanjutnya: apakah karena saya, atau anda, jadi lembek karena dulu wkatu kecil menginternalisasi lagu tersebut sebagai 'kalau ada kejadian yang tidak enak maka kita harus bersedih dengan kekacauan perasaan'?.

Saya yakin jawabannya tidak.

Kita tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang kompleks. Kita semua. Ada sekolah, ada rumah, ada tempat les dan sebagainya. Interaksi antar manusia adalah salah satu hal yang paling kompleks di dunia ini. Penuh dengan emosi, reaksi - aksi, bahasa dan sebagainya.

Ada pula berbagai hasil budaya, misalnya film, musik, tarian dan sebagainya.

Semua itu, membawa dampak pada bagaimana kita terbentuk sebagai manusia yang utuh. Apakah dampaknya baik atau tidak, tergantung lagi pada bagaimana kita 'dibentuk' oleh orang tua di rumah. Iya. Saya selalu yakin rumah, adalah sumber segala pendidikan.

Jadi mudah 'jatuh' atau tidak karena tantangan hidup, juga dibentuk dari rumah. Apa yang dilatihkan oleh orang tua kita, siapapun orang tua itu (karena ada juga kan yang dirawat bukan oleh orang tua kandung), menggunakan stimulus apapun, akan berbekas di benak dan hati kita dan membuat siapa kita sekarang. 

Dan dalam kadar yang berbeda ada pula para guru dan pendidik sekitar kita yang berperan menyumbangkan pecahan-pecahan ilmu akademis maupun hidup, yang menyatu dalam diri kita.

Kembali pada lagu tadi, saya malah melihat dalam karya aslinya, lagu itu bisa membantu anak mengetahui apa perasaannya. Sesuatu yang juga harus diajarkan. Mengenali emosi, adalah juga cara untuk mengajarkan anak belajar empati. "Apa yang kau rasakan kalau balonmu meletus?", itu kan pertanyaan wajar saja. Kalau jawabannya sedih, terus kenapa?. Lha iya kan, rasa itu ada. Kenapa dinegasikan?.

Tapi ya tentunya PRnya orang tua adalah mengolah, kenapa tidak apa-apa sedih. Seberapa lama boleh sedih. Apa yang bisa dilakukan kalau sedang sedih kehilangan balon, atau boneka, atau nilai yang diinginkan, atau kelak, pacar. Lebih jauh lagi, apa yang bisa dia lakukan kalau dia menghadapi ORANG LAIN yang mengalami kehilangan itu. Dia tahu apa rasanya, jadi apa yang dia bisa lakukan untuk membantu orang tersebut melalui proses kehilangan.

Proses ini tetap perlu dirasakan, dialami, dibicarakan. Supaya anak menjadi kuat karena mengerti apa yang dia rasa dan bagaimana menghadapinya. 

Dan lebih jauh lagi jika dia tahu bahwa dia bisa merasa seperti itu, maka orang lain yang mengalami situasi yang sama, bisa jadi mempunyai rasa yang sama. Itu adalah dasar empati.

Jadi, ya jangan salahkan lagunya, atau dalam bentuk lain misalnya filmya, atau puisinya. Tapi lihat bagaimana kita bisa menggunakan lagu, film, atau tarian, atau puisi, apapun itu, sebagai alat untuk membentuk anak secara benar.

Saya sering jadi khawatir sekali dengan bagaimana sebagian masyarakat kita ini bereaksi terhadap sebuah kejadian. Sering terlihat lebay dan panik di mata saya. Lalu memunculkan himbauan ini itu lah, larangan lah, fatwa lah, sampai ya itu, saran mengubah lirik lagu. Ada yang namanya Hak Cipta lho. Anda mau kena tuntutan pelanggaran undang-undang hak cipta?.

Lalu sadarkah kita, sikap seperti itulah justru yang jika diobservasi anak, yang dalam pengalaman saya sebagai Ibu, mereka itu jagoan mengobservasi dalam diam lalu disimpan di benaknya untuk kemudian dicontoh, malah membuat mereka jadi lembek dan tidak tangguh?. Merasa  selalu ada yang melindungi, alih-alih belajar menghadapi.

Mari kita semua belajar berpikir logis, kepala dingin, dan tidak reaktif. Belajar untuk tidak selalu membuat pagar setiap kali ada kejadian tidak enak terjadi. PR kita sebagai orang tua adalah menguatkan mental anak dengan cara yang masuk akal. Menghilangkan stimulus-stimulus yang MENURUT KITA negatif, itu tidak membantu. Mereka hanya akan tumbuh dalam gelembung kenyamanan, dan akhirnya, tumbuh jadi manusia-manusia yang lembek dan mudah menyerah.

Biarkan anak menghadapi dunia apa adanya. Tapi juga siapkan diri kita buat ada dalam hidup mereka seutuhnya. Hadir di sisi mereka. Menjadi tonggak penguat yang bisa mengajak mereka berdialog tentang perasaannya dan apa yang harus dilakukan, secara logis.

Let's not do panic parenting. It does no good to anyone.

Have a good Friday.

Friday, January 10, 2020

Filipina - Miniatur Indonesia (bagian 2 - habis)

Setelah di bagian 1 saya cerita tentang tantangannya pergi ke Filipina, bagian ini saya cuma ingin cerita tentang beberapa tempat yang kami kunjungi yang menurut saya sayang jika dilewatkan.


Manila’s jewel: Intramuros.

Buat saya, Manila is Intramuros. Despite the fact that this city also has other modern parts yang juga menarik untuk disambangi, tapi bagi saya adalah wajib hukumnya menyambangi Intramuros sebelum ke tempat lainnya.

Seperti kota tua di Jakarta, Intramuros ini juga punya kekhasan: bau kencing di sudut-sudut jalannya. Hahaha…itu pula yang terekam di benak saya sejak hampir 10 tahun lalu pertama kali saya ke tempat itu dan kontan jatuh cinta pada semua bangunan dan lorong-lorongnya. Iya, bahkan dengan bau kencing itu.

Ya tentu bukan karena bau kencingnya saya keukeuh kami harus kesana, tapi karena Fort Santiago yang merekam jejak Jose Rizal, karena gereja San Agustin, karena Manila Cathedral, karena gedung-gedung cantik di sekitarnya.

Gerbang menuju Fort Santiago
Diorama Jose Rizal di kamar tempat dia ditahan sebelum kemudian ditembak mati
Lukisan yang menggambarkan saat Jose Rizal ditembak mati. Kurasi cerita di bagian ini sangat bagus menurut kami.
Salah satu kubah Katedral Manila
Katedral Manila

Kalau anda penyuka seni, maka dari Intramuros, jalan kakilah sedikit menuju ke National Fine Arts Museum. Gedungnya juga cantik. Tadinya, ini adalah gedung legislatif Filipina. Sekarang, disinilah disimpan berbagai karya seni seniman-seniman Filipina. 


Gedungnya sendiri cantik


Salah satu patung di bagian karya seni Filipina pasca perang. Saya suka dengan betapa ekspresifnya patung ini menggambarkan kemarahan dan kegetiran seorang ibu beranak 4 (di bawahnya ada 3 orang lagi anaknya yang memeluk pinggang dan kaki ibunya) di tengah pengungsian.
Karya yang buat saya paling impresif adalah Filipino Struggles through History karya Botong Fransisco yang ditempatkan di ruangan yang tadinya adalah senate session hall. Mural raksasa ini dibuat oleh Fransisco atas permintaan pemerintah daerah Manila tahun 1964, menceritakan perjalanan sejarah bangsa Filipina dari masa ke masa.

For us, this was breathtaking. Yang disimpan di musium ini hanya 7 dari 10 panel



Boracay – just enjoy the beach, and do not ever miss the sunset!.

Boracay punya pasir putih seperti bedak, yang mengingatkan saya pada pantai Ngurbloat di pulau Kei Kecil. Bedanya, Boracay punya panjang pantai 4km, Ngurbloat ‘hanya’ 3 km. Boracay juga dikenal sebagai pantai berpasir putih terpanjang di Asia (entah siapa yang menghitung. Dan biasa, hitung-hitungan seperti ini bikin saya suka penasaran: masa sih di Indonesia ndak ada yang lebih panjang).

Saya dan Cip menjalaninya dari ujung ke ujung dan yang membuat kami kagum adalah betapa konsistennya orang-orang di sekitar tempat ini menjaga kebersihan. Unlike Ngurbloat, yang saat 3 tahun lalu kami kesana kami bisa temukan entah kantong plastik atau botol disana sini, di pantai Boracay ini we found only sand and our footsteps.

Seandainya kita bisa mencontoh mereka, bayangkan seperti apa keindahan pantai-pantai Indonesia akan tetap terjaga. True bahwa Boracay had their fair share of environmental damage. Penutupan pulau ini selama 6 bulan, mungkin membuat masyarakat jadi kapok sekaligus sadar betapa pentingnya menjaga lingkungan.

Kita, harus begitu juga, mungkin, di beberapa kawasan pantai. Kapan ya pemerintah berani melakukan langkah drastis begitu (bertanya pada rumput yang bergoyang).





El Nido – island hopping, swimming in the azure blue sea, lazing around in its beautiful beaches, and enjoying the karst.

Di tulisan bagian 1, saya sudah sedikit membahas diving. Not really recommended to do this in El Nido, if you ask me, very honestly. Sorry, El Nido. Atau memang karena saya sudah terlalu sering terpapar keindahan laut Indonesia Timur jadi saya merasa tempat ini tidak ada apa-apanya?. Hahaha….tak tahulah.

Tapi sebagai salah satu kabupaten di Palawan, propinsi terbesar di Filipina, El Nido ini punya pusat kota yang hidup, berenergi muda, dan amat sangat internasional. Di sepanjang jalannya, dengan mudah kita akan menemukan restoran Yunani, Itali, Jepang, Thailand, India, bahkan, Arab. Indonesia malah tidak ada (gimana siiiih….saya berharap ada orang Minang yang cukup avonturir buka restoran disana. Atau tiba-tiba ada warung ayam penyet).

Kalau anda ingin berenang di pantai, maka pilihannya adalah pergi ke pantai lain. Menginap sih menurut saya tetap paling pas di pusat kota El Nido karena mudah akses kemana-mana. Sayangnya, pantai yang berada tepat di kota kabupaten El Nido ini, justru tidak bisa direnangi karena adanya bakteri E-coli. Nah ini juga fakta yang harus anda catat tentang El Nido. Polusi air di pantainya rupanya lumayan parah. Anda aman untuk berenang di pulau-pulau, tapi tidak di pantai ini. 
Papan pengumuman ini ada tepat di pantai di depan salah satu hotel di kota El Nido
Salah satu jalan di kota di pagi hari


Kalau anda rajin, anda bisa jalan kaki dari ujung pantai di kota El Nido, sampai pantai ini, Caalan beach, yang berhadapan dengan Cadlao island. We did that in one morning, dan jaraknya hanya sekitar 3 - 4km dari ujung ke ujung
Pantai yang bisa jadi pilihan anda buat leyeh-leyeh dan berenang disana ada Maremegmeg (yang ternyata adalah nama sebuah pohon yang katanya umurnya sudah 100 tahun…God knows), Nacpan yang ombaknya cukup keras tapi masih aman dengan sunsetnya yang cantik, atau Lio – dimana anda juga bisa menunggu sunset dan pesawat lewat untuk difoto bersama sunset. 

Marimegmeg tuh pohon ini ternyata.. hahaha....ada-ada aja kaannn..
Pantainya landai, ombaknya tenang, pemandangannya juga ciamik (gunung dan laut, ya....fokus... Oh bukan, itu bukan saya tentunya...)
Sunset dan ombak di Nacpan. Seru banget main ombak disini. Tapi memang anda harus sedikit hati-hati karena terkadang ada tarikan ombak yang lumayan kuat ke tengah. Kalau ada bersama anak yang masih kecil, pastikan jangan terlalu ke tengah saja
Pantai Lio. Di tempat inilah banyak resorts berada. Kalau mau berangkat ke resorts lain yang ada di 4 atau 5 pulau lainnya yang berhubungan dengan pengelola Lio Resorts, berangkatnya dari dermaga ini juga langsung dijemput dari bandara yang terletak pas di sebelahnya
Sunset at Lio beach

Puerto Princesa – see the stars on the trees and in the sky, and play with your imagination in the amazing underground river.

Kota ini adalah ibukota propinsi Palawan – the last part of Palawan that we visited. ‘Feel’ kotanya buat saya terasa seperti Tegal, bahkan saat kami naik tricycle untuk melihat-lihat Baywalk, lalu ke Plaza Cuartel untuk tahu betapa kejamnya Jepang terhadap tawanan perang, dan ke beberapa tempat lainnya, kami melewati pasar yang rasanya persis seperti sedang lewat salah satu bagian Tegal yang selalu macet saat lebaran. 

Yang ‘must-do’ disini adalah fireflies watching di salah sudut hutan bakau. Banyak tur yang bisa anda kontak di kota ini, dan anda bisa memilih mau private atau kelompok. Setiap tur sudah termasuk makan malam.

Karena sudah gelap gulita dan kamera saya tidak canggih, saya tidak bisa foto-foto. Tapi ‘rasa’ yang ditinggalkan (halaahhh….), sulit hilang dari benak. Malam yang gelap, kunang-kunang di sekitar pepohonan bakau, dan langit penuh gemintang, membuat saya jadi teringat perjalanan kami menyusuri dan menginap di sepanjang sungai Sekonyer di Kalimantan Tengah.

Kalau anda melewatkan malam bersama kunang-kunang ini di Puerto Princesa, anda masih bisa melakukannya di Bohol. Bedanya, di Bohol ini dilakukan di sungai Loboc. Kami tidak melakukan ini lagi.

Tapi yang betul-betul anda tidak boleh lewatkan di Puerto Princesa adalah ke Underground River.

Taman Nasional Sungai Bawah Tanah Puerto Princesa adalah sebuah area dilindungi yang terletak 80 kilometer di sebelah utara Kota Puerto Princesa, Palawan, Filipina (saya kutip dari Wikipedia). Tepatnya di Sabang nama daerahnya.

Sungai bawah tanah ini sudah menjadi UNESCO World Heritage di tahun 1999, dan menjadi salah satu dari 7 keajaiban dunia yang baru di tahun 2012. Sungai ini panjangnya sebetulnya 8,2 km, tapi yang bisa dijelajahi turis hanya sepanjang 1,5km. Selebihnya, karena kondisi yang khusus, harus ada ijin khusus dan biasanya hanya diperbolehkan untuk peneliti.

Anda akan diberikan audio guide yang akan diaktifkan begitu anda mulai duduk di perahu yang dikayuh oleh pemandu. Hanya pemandu yang memakai senter di kepala untuk menerangi jalan dan juga bagian-bagian batu di dalam terowongan panjang itu sesuai dengan cerita yang anda dengar di audio guide (bayangkan bagaimana dedikasi pengelola tempat ini melatih para pemandu!). Di beberapa tempat, langit-langit gua bisa mencapai 60 meter. Jadi bayangkan anda menyusuri sungai itu, di dalam terowongan gelap raksasa yang sekian milyar tahun terbentuk di dalam pegunungan karst. It was an amazing experience. God is great, truly.




Sabang. Dari pantai inilah kami naik kapal ke tempat dimana sungai bawah tanah berada, di kawasan Taman Nasional
Menuju pantai taman nasional
Dari pantai ini, masih harus berjalan sedikit menuju ke muara di dalam
Pintu gua
Bayangkan: sungai sepanjang 8km, gelap gulita. Tempat ini kaya dengan kehidupan bahkan dengan tidak adanya sinar matahari. Penelitian belum selesai menelusuri seluruh sungai ini. Baru 4,5km yang sudah diidentifikasi bisa dinavigasi. Selebihnya, masih misteri.

Bohol – Chocolate Hills, Loboc river, and bits and pieces of history.

Chocolate Hills – yang mirip seperti tempat tinggal Teletubbies. Ini adalah destinasi utama di Bohol. Kenapa namanya bukit coklat? – karena pada musim kering, bukit-bukit ini menjadi coklat karena kering. Saya kok jadi membayangkan bukit-bukit di Sumba, ya. 

 


Menyusuri sungai Loboc yang cantik berkelok sambil menikmati makan siang, kegiatan wajib lainnya di Bohol. Sungai ini bersih dan bening. Kelokan-kelokannya memang indah, walaupun, saya yakin kalau buat orang Indonesia yang sering menyusuri sungai yang bersih dan cantik, sungai ini mungkin jadi biasa saja. Tapi saya ragu ada banyak orang Indonesia yang pernah mengalami menyusuri sungai yang panjang berkelok tanpa sampah seperti sungai Loboc ini. Apalagi orang Jakarta. Ehem. 


 

Di Bohol, ada sebuah gereja Katolik Roma kuno, namanya gereja Bacalyon. Yang unik dari gereja ini adalah, ini adalah salah satu gereja tertua di Asia yang bangunannya dibuat dari batu karang. Bentuknya spartan dari luar, tapi di dalamnya, kemegahan khas gereja Katolik amat sangat terasa dengan langit-langit yang dipenuhi dengan mural.

Gereja ini sempat rusak karena gempa di tahun 2013, dan harus direnovasi besar-besaran. Renovasi selesai tahun 2017 – dan terlihat sekali di mural di langit-langit yang terlihat baru dan ‘kinclong’. 



Mereka masih punya orgel yang sayangnya sudah tidak bisa dioperasikan. Dan sayangnya bagian atas ini ditutup karena berbahaya karena lapuk

Anda bisa menyudahi petualangan anda di Bohol dengan nongkrong di Alona beach di Panglao, untuk makan atau menunggu sunset. Pantai ini seperti versi kecilnya Boracay – dengan pasir putih dan laut yang tenang dan cantik. Jauh lebih pendek daripada Boracay, hanya 800 meter dengan hotel, restoran, dan dive center di sepanjang pantai. Terasa jauh lebih bohemian dan kalem dibandingkan Boracay yang lebih ramai dan hiruk pikuk.

Sebetulnya di Bohol ini anda juga bisa island hopping, snorkelling dan diving. Jika anda punya cukup waktu, mungkin bisa dicoba. Saya tidak tahu seberapa berbedanya island hopping di Bohol dibanding di El Nido. But you’ll never know if you never try.

 

Ada pasukan pembersih di pantai ini. Tapi masih tetap ada sampah di sana sini walaupun tidak sejorok beberapa pantai publik di Indonesia
 

--
Begitulah cuilan-cuilan Filipina. Beberapa highlight yang membuat saya tergoda menamakannya miniatur Indonesia karena banyak kemiripan yang saya rasakan dan temui.

And it really is more fun in the Philippines (tagline pariwisata mereka). Yaaa banyak benarnya karena buat saya more fun-nya ada di betapa mereka berusaha keras untuk menjaga kebersihan. Dan dalam banyak hal, infrastruktur pariwisata mereka lebih terbangun jadi walaupun ada tantangan untuk mencapai beberapa destinasi, tapi lebih ada kejelasan informasi dan transportasi dengan aturan yang lumayan lebih jelas.

Tapi saya tetap akan bilang kalau untuk diving, come on guys, Indonesia is still the best so far in my point of view. Oh well…mungkin pandangan saya akan berubah jika satu hari nanti saya bisa menyelam di Tubbataha Reef. Sekarang, begitu pendapat saya.

Salamat, Philippine!. 





Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts