Wednesday, May 29, 2019

Berdamai dengan dosa (bagian 5 - habis)

(Bagian satu, bagian dua, bagian tiga, bagian empat).

Kenapa tiba-tiba gue nulis panjang lebar tentang berdamai dengan dosa?. Karena gue sudah muak dengan betapa mudahnya sekarang ini kita ‘menasehati’ orang lain tapi di balik itu sudah tertera sebuah penilaian tentang dosa orang lain.

Berdamai dengan dosa, bagi gue, bukan berarti kita tidak peduli apa yang kita lakukan. Bukan berarti kita asik-asik aja berbuat segala yang dilarang Tuhan. Bukan itu.

Berdamai dengan dosa, adalah tentang menyadari bahwa memang ada perilaku yang seharusnya tidak kita lakukan, dan itu dosa. Merenunglah. Minta maaflah. Dan sadarlah bahwa perbuatan itu bisa menghasilkan karat di hati kita.

Tapi ya itu: sadarilah untuk diri sendiri saja dulu.

Dalam salah satu buku berjudul Iqro’, karangan Ustadz (yang juga ganteng) bernama Pardamean Harahap yang secara nggak sengaja gue ikuti kajiannya beberapa kali, dibahas tentang kesadaran. Atau bahasa keren yang sekarang sering sekali digunakan: mindfulness.

Bahwa dalam menjalani kehidupan, yang berarti dan bermakna adalah dimana kita saat itu. Sadarlah apa yang kita rasakan di saat itu. Apa yang kita pikirkan. Fokuskan di saat itu. Dan saat kita melakukannya, maka masa lalu dan masa depan akan mengikuti kesadaran kita di titik tersebut. Dan jika selalu berusaha untuk sadar tentang apa yang kita sedang rasakan, pikirkan, kita juga tidak akan sibuk dengan memikirkan bagaimana orang lain.

Bukan berarti kita jadi tidak peduli dengan orang lain, tapi kita sadari dulu diri kita bagaimana, dan dengan kesadaran itu kita membangun hubungan dengan orang lain. Kesadaran ini membuat kita tidak sibuk memikirkan orang lain melakukan apa, tapi lebih pada apa yang kita bisa lakukan supaya kita dulu yang menjadi baik sehingga yang kita lakukan dengan orang lainpun jadi baik.

Dan buat gue itu pula cara untuk berdamai dengan dosa – kita sendiri dan orang lain. Berdamai dengan dosa kita sendiri – dengan menyadari semuanya dan menyadari apa rasanya semua itu di hati. 

Dan berdamai dengan dosa orang lain: bahwa itu bukan urusan kita karena kitapun masih punya banyak urusan dengan kesadaran akan dosa kita sendiri. Karena pada kenyataannya, kita sering sekali dalam keadaan tidak sadar. Berapa banyak waktu yang kita habiskan, sebetulnya, untuk sekedar berlalu dalam hidup.

We think we are conscious, but in actual fact, we don’t. We are actually never present. We are always busy either to think of the future, or dwell over the past, but we often never really spend time to be conscious of our present.

Dan kadang dengan dalih amar ma’ruf nahi munkar, kita sibuk mengurusi kemungkinan dosa orang lain. Dan gue seringkali melihatnya sebagai pelanggaran privasi. Nothing wrong dengan menyeru pada kebaikan, tapi rasanya, ada baiknya kita berdamai dengan membiarkan orang lain melakukan dosanya karena kitapun jangan-jangan masih perlu diserukan untuk berjalan di jalan kebaikan. 

Mungkin kedengarannya jadi egois. Tapi sejujurnya, ada terlalu banyak seruan tanpa contoh kebaikan yang gue lihat seliweran di masyarakat saat ini, sehingga gue sering merasa semuanya cuma pepesan kosong. Dan itu, melelahkan.

Jalan menuju damai memang sulit dan panjang. I am also still learning. Entah apakah kita akan pernah ada di titik dimana kita tidak selalu merasa perlu mengkoreksi orang lain supaya mereka tidak berdosa, karena kita terlebih dulu sadar kita ada dimana. Semoga saja kita semua bisa ketemu di titik itu kelak. 

Aamiiin. 
















Monday, May 20, 2019

Berdamai dengan dosa (bagian 4)

(Bagian satu disini. Bagian dua disini. Bagian tiga disini


Di suatu hari, yang gue udah lupa waktu itu cerah atau tidak, Mama mengikrarkan diri bahwa beliau meyakini Syiah. Gue sudah lupa sih tepatnya bagaimana beliau mengutarakannya, kami sedang apa, yang gue ingat cuma, “Mama sekarang Syiah”.

Gue cuma bilang, OK. Ya harus bilang apa?. 

Pertama, bagi gue, that was actually none of my business. Selama beliau masih percaya adanya Tuhan dan bahwa hanya Tuhanlah yang patut dijadikan sandaran hidup, dan tidak mengajarkan bahwa darah mereka yang berbeda halal untuk dibunuh, yo ben, monggo saja memilih aliran apa.

Kedua, balik ke perjalanan gue memahami apa artinya beragama dan ber-Tuhan, bahwa masing-masing dari kita akan bertanggung jawab pada Tuhan tentang jalan yang kita pilih untuk menuju padaNya. Siapalah gue menilai apakah jalan itu benar atau tidak. Lah gue saja masih belum tahu apakah jalan gue benar atau tidak. 

Tapi belakangan, gue terbentur-bentur pada beberapa hal. Tapi semuanya bermuara pada dua pertanyaan (dan seringkali bikin gue meradang dalam hati): (1) why do so many people think they (1) have the right to claim that they are right, and (2) they have the right to question how others do what they believe they should do to reach God?.

-- 

Di pertengahan 2000-an, Syiah mulai menampakkan wajahnya dengan lebih berani di bumi pertiwi ini. Dan sumpah ya gue sampai sekarang tidak pernah mengerti kenapa hal itu lalu menjadikan banyak sekali orang meradang.

Padahal kalau saja orang mau belajar sejarah penyebaran Islam, dan apa saja ajaran-ajaran dan perayaan-perayaan Islam yang ada di berbagai daerah di nusantara ini, banyaaaaaakkkk sekali jejak Syiah di negeri ini lhoooooo. Tapi selalu tidak mau diakui, atau tidak ada yang paham, atau tidak mau paham karena kadung menganggap itu sesat. Nggemesi toh?. 

Dan bukan cuma sekali gue ditanya baik oleh teman maupun saudara, tentang apa yang dijalankan oleh Mama. Pertanyaan-pertanyaan seperti: benar atau tidak sih bahwa dalam Syiah tidak ada kalimat syahadat, benar atau tidak sih sholatnya cuma tiga waktu, benar atau tidak sih Syiah tidak mengakui Rasulullah SAW, emang iya katanya Syiah kitabnya beda?. And so on and so forth.

And you know what, setiap kali itu terjadi, sejujurnya gue ingin sekali bilang, “That’s none of my business, none of yours. Beresin aja deh ibadah dan keadaan hati loe. Ngapain sih ngeributin gimana emak gue beribadah?. Loe udah bener?”. 

Tapi atas nama menjaga tali silaturahmi, biasanya gue cuma menarik napas panjang sebelum menjawab, “Gimana kalau loe tanya aja langsung deh sama nyokap gue. Gue nggak pernah nanya-nanya. Sepengetahuan gue, beliau masih percaya Allah dan Rasulullah bahkan mengagungkan sampai ke cucu-cucu Rasulullah, beliau masih ngucap syahadat. Kalo sholatnya gue nggak pernah nanya dan nggak pernah lihat lha sholat gue aja masih kacau ngapain gue nanyain sholatnya nyokap?”. 

Biasanya sih lumayan ampuh bikin lawan bicara gue diam. 

Dan bukan cuma sekali pula ada yang bilang kalau itu aliran yang tidak benar, dosa, tidak sesuai dengan Al-Quran dan hadits dan seterusnya. Jawaban gue cuma, “Kita siapa sih?, emang Tuhan sampai kita tahu itu dosa nanti masuk neraka?. Yakin banget kalau itu salah dan kita yang bener”. Oh ya tentunya dengan nada ketus.

Gue saat itu bukan sedang membela Mama, tapi membela hak tiap orang untuk menempuh apa yang menurut HATInya benar. Yang menurut hatinya memudahkannya menghadirkan Tuhan disitu. Terus kenapa harus dibuat ribut sih?. 

Dan walaupun ada prinsip-prinsip Syiah yang membuat gue tidak bisa mengikuti jalan ini (gue tidak akan pernah bahas apa saja itu, itu daerah privasi gue yang tidak seorangpun berhak untuk bertanya), tapi gue juga melihat mereka ini sebetulnya hanya berusaha untuk menegakkan cara beribadah yang menurut mereka patut dijalankan.

Dalam Islam ada hablumminallah dan hablumminannas – menjaga hubungan dengan Allah dan dengan sesama. 

Dengan Allah – ya siapalah kita untuk tahu bagaimana tiap pribadi melakukannya?, ye kan?. Apa pula hak kita untuk menilai apa yang dilakukan tiap pribadi untuk mencapainya?. Tapi yang gue lihat justru ini yang seriiiiiiiiiiiiiiiiiiiing pakai bangeeeeeeeeeeeeet untuk dibahas dan dipertanyakan. Ya itu, pertanyaan-pertanyaan di atas itu. Padahal, ya ampun, kalaupun itu yang mereka lakukan, dan ternyata salah dan jadi dosa, ya tanggung jawab pribadi dengan Allah, bukan?.

Dalam hal menjaga hubungan dengan sesama. Nah buat gue, ini yang lebih penting. Dan bolehlah dibilang ini mungkin ranahnya manusia untuk bisa menilai. Ini menilai akhlak dan perilaku, yang sejatinya juga adalah cerminan dari apa yang dijalankan dan disimpan dalam hati. Makna dari beragama yang benar, menurut gue, ya ini. 

And in my eyes, tidak ada yang salah dengan bagaimana kaum Syiah ini menjaga hubungan mereka dengan sesama.

Tidak pernah gue lihat mereka menutup diri. Tidak pernah gue dengar mereka secara agresif memaksa orang lain mengikuti ajarannya. Tidak pernah gue dengar ada Ustadz mereka yang agresif dalam ajarannya (gue tahu karena Mama mengadakan pengajian di rumah kami. Tadinya sebulan sekali, lalu ‘beranak’ jadi dua kali sebulan). Dan gue kenal beberapa ustadz yang dekat dengan Mama, semuanya lemah lembut. Tidak pernah ceramah teriak-teriak bikin kaget anak bayi yang sedang tidur. 

Tidak pernah gue dengar mereka mencaci pemimpin – baik pemimpinnya sendiri maupun pemimpin negara. Tidak pernah gue dengar mereka mencaci kaum minoritas lainnya. Kalau yang terakhir ini ya bisa saja ada yang mengajukan argumen bagaimana mereka mau mencaci lha wong mereka juga minoritas. Ah. Alasan selalu bisa dicari, tapi mari berbaik sangka bahwa itulah akhlak yang tertampil saat seseorang beragama dengan baik, gimana? #senyummanis.   

Jadi apa yang harus dibenci dan dibilang salah?. Malah sampai ada ancaman akan dibunuh segala. Gue mengalami suatu masa dimana gue takut ada apa-apa setiap kali Mama pergi ke tempat pemeluk Syiah berkumpul, karena semua ancaman-ancaman yang ada saat itu. 

--

Tantangannya bukan cuma dari luar. 

Ada satu masa dimana hubungan kami, anak dan menantu, dengan Mama pun jadi tegang karena menurut Mama, apa yang kami jalani, tidak benar menurut dalil yang beliau pelajari. Ada masa dimana kami sering diceramahi, tentang bagaimana Syiah dan apa yang benar menurut Syiah. Dan sebaliknya apa yang salah dalam Sunni.

Nah ini runyam, yes?. 

Tapi gue kembali ke pengalaman masa kecil gue saat gue sering diomeli karena sholat yang tambal sulam. All that she wanted to do was to protect me from sins, karena dosa adalah penderitaan. Dan ibu mana yang bisa membayangkan anaknya mengalami penderitaan, bahkan saat itu adalah ‘baru cerita’ tentang bayaran di neraka akibat tidak sholat.

Jadi, disitu ada proses psikologis yang gue bisa pahami kenapa beliau seperti itu. Tapi ya tetap saja, pendekatan gue ke beliaupun sama saja: this is my way, my responsibility, I deal with it later when I have to. 

Butuh waktu sampai akhirnya beliau berhenti menceramahi kami. Mungkin karena tahu tidak didengar. Gue tahu mungkin menyakitkan buat beliau bahwa semua anak dan menantunya tidak ada yang mendengarkan dan mengikuti apa yang dia mau, dan dia sudah yakini benar. But, I guess that’s what we all have to deal with: dosa orang lain itu bukan urusan kita. Titik. 
 
-- 

Penggalan perjalanan menerima perbedaan di bawah atap rumah sendiri dengan semua dinamikanya, gue percaya itupun isyarat dari Allah.

Isyarat untuk tidak mengurusi hubungan orang lain dengan Tuhan. Untuk tidak mengomentari cara orang menuju Tuhan. Itu adalah perjalanan yang teramat pribadi, dan bukan sesuatu yang mudah untuk dicerna oleh mereka yang tidak menjalaninya. 

Dan jika gue percaya Allah bersemayam di hati, dan Dia pula yang mengijinkan semua perbedaan untuk ada di bumi ini, maka gue juga harus terus belajar untuk menerima perbedaan sebagai salah satu cara menjaga kebersihan hati. Hanya dengan itu maka gue akan selalu menyediakan tempat bagi Allah di hati ini.

Jadi menjaga hati bukan melulu tentang tidak melakukan sesuatu yang bukan dosa, tapi juga belajar menerima keniscayaan hidup. Sebab hanya karena Allah-lah semua keniscayaan itu ada. 

(Bersambung)

 













Saturday, May 18, 2019

Berdamai dengan dosa (bagian 3)

(Bagian satu disini, bagian dua disini). 

Bertahun kemudian, setelah Papa meninggal, Mama ikut sebuah pengajian. 

Gue nganterin beliau tiap Sabtu pagi, terus gue nyalon di deket situ, abis itu gue jemput lagi. Sebetulnya berkali-kali Mama berusaha banget merayu supaya gue nggak cuma anter jemput tapi ikut ke kajian, tapi gue selalu bilang nggak tertarik. 

Gue yakin sih Mama nggak akan ikut pengajian yang modelnya seperti pengajian yang bikin gue alergi jaman kuliah. Cuma waktu itu ya memang nggak tertarik aja gue. 

Tapi akhirnya ada satu hal yang bikin gue penasaran. Mama selalu bicara tentang ajaran sufi setiap kali selesai pengajian. Dan ada beberapa hal yang beliau ceritakan, yang intinya adalah betapa indahnya ajaran sufi. 

Dan, akhirnya, guepun tergoda cari kajian tentang itu. 

One fine day, pulang kerja gue lewat kompleks sekolah gue dulu, Al-Azhar. Dulu gue masih nyetir sendiri, dan kebetulan pas lampu bernyala merah di Jln. Sisingamangaraja, posisi mobil pas di depan gerbang Al-Azhar. 

Di dekat gerbang, ada spanduk kajian Sufistik tentang Sholat. Salah satu pengajarnya adalah Ustadz di tempat Mama ngaji juga. Dan gue pernah sekali ngobrol dengan Ustadz itu waktu jemput Mama. Sejujurnya sih gue suka karena dia ganteng. Hahahaha… 

Ya ketebak toh: gue ikut pengajian itu. Dua alasan: topiknya, dan Ustadznya ganteng (gue pernah baca cerita kalau Rasulullah SAW diceritakan sebagai sosok yang tampan. Allah tahu banget bahwa tampilan fisik itu penting buat narik perhatian. Itu kan manusiawi banget!. Maha Besar Allah…). 

Jadilah untuk 4 minggu berikutnya, pulang kantor 2 kali seminggu gue ke Al-Azhar Pusat ikut kajian itu. And I really liked what I learned.

Salah satu intinya adalah: betul bahwa sholat itu adalah kewajiban dan dosa jika ditinggalkan. Tapi jika melakukan sholat hanya karena takut berdosa, maka sholat itu tidak akan menyisakan apa-apa buat jiwa kita karena yang bergerak hanya badan. Maka, yang lebih penting adalah hati kita ikut sholat.

Maksudnya hati yang sholat tuh gimana?. Dengan penuh kesadaran, kita hadirkan hati di setiap sholat kita, dan kita isi hati dengan Allah didalamnya. Weleh, gimana pula itu ye kan?. Dan di kajian itu diajarkan beberapa cara menghadirkan Allah di dalam hati.

Diajarkan pula pentingnya mempertahankan kehadiran Allah di dalam diri.

Gue inget sang Ustadz cerita betapa seringnya kita bilang bahwa Allah ada di langit sambil nunjuk ke atas. Padahal, Allah ada dimana-mana, di sekitar kita. Pertanyaannya adalah: apakah kita akan ijinkan Allah masuk ke dalam hati, atau nggak. KehadiranNya kita jaga atau nggak di setiap langkah kita, setiap nafas, setiap detik. Kita biarkan nggak Allah betul-betul menjaga kita, di dalam diri kita. Dan sebaliknya, kita jaga nggak hati kita supaya bersih sebagai ‘rumah’ tempat Allah akan singgah. Sadar nggak kita apa yang ada di dalam hati, apakah kita sudah memantaskan hati kita untuk disinggahi. 

Dan saat itu semua sudah kita jawab dan lakukan, maka itulah yang akan menjauhkan kita dari melakukan hal-hal yang tergolong dosa.

I found that logic hit my head and heart at the same time. Penjelasan yang sangat logis tapi juga punya makna emosional yang dalam.

Dan nggak ada sekalipun dalam kajian itu membahas ini boleh itu nggak boleh. Dalil ini begitu dalil ono begono. None of those. Yang diutarakan selalu tentang bagaimana caranya membenahi hati, kenapa itu penting, dan nikmat macam apa yang bisa kita rasakan dalam keseharian saat itu bisa kita lakukan. Cara Ustadz membawakan kajian nggak bikin gue merasa dituding-tuding. Dan itu membuat gue anteng ikut sampai selesai.

Itu semua melengkapi pemahaman gue bahwa setiap dalil dan ayat harus dicerna sesuai dengan konteksnya (yang diajarkan beberapa guru waktu di SMA), dan dosa bukan tentang tuduh menuduh tapi tentang kesadaran pribadi.

Walaupun ada dalil tentang dosa, tapi jika hati tidak merasa terganggu dengannya, maka itu bukan dosa menurut si pribadi tersebut. Which explains misalnya kenapa seorang bergelar Haji, bahkan Habib atau Ustadz sekalipun – nggak ada hubungannya dengan politik, gue bicara tentang kejadian di masyarakat yang pada kenyataannya, memang ada kok yang gelarnya agamis, bisa dengan enteng membohongi orang. Ya kalau hatinya nggak terganggu, buat dia nggak dosa. Titik.

Apakah itu menjadikan perilakunya benar?. Ya tentu tidak. Tapi, itu juga murni jadi urusan tiap pribadi dengan Allah.

Percuma mau diteriak-teriakkan sekeras apapun di kuping orang itu bahwa dia telah melakukan perbuatan jahat, kalau hatinya tidak merasa itu jahat. Dan karena hati adalah tempat bersemayamnya Allah, maka jika hati kita biarkan menerima hal-hal yang salah, kita mengotori tempat bersemayamnya Allah. RumahNya di dalam diri kita. Wayolo. Tanggung jawab deh sana.

--

Setelah ikut kajian, apa lalu gue jadi alim super duper baik hati?. Ya nggak juga. Tapi gue jadi lebih sadar untuk nggak melulu mikir gue dosa ini dosa itu, tapi gue lebih mikir harus apakah supaya hati ini tidak lalu tertumpuk dengan barang-barang kotor, karena gue menikmati kehadiranNya di hati.

Salah satu yang gue belajar lakukan setelah ikut kajian itu, walaupun sholat lima waktu gue tetap saja sih suka blangbonteng, sesekali gue sholat tahajud. Hening. Mendengarkan hati dan suaraNya. Gue menikmati dialog-dialog denganNya. Saat gue merasa Allah hadir. Kadang gue merasa seperti diselimuti cahaya putih terang benderang yang bikin gue merasa nyaman dan aman. Dan pelan-pelan, gue jadi lebih sensitif terhadap isyarat semesta yang gue yakin Dia kirimkan setiap saat untuk menjaga gue.   

Itu semua pengalaman batin yang gue nggak pernah alami sebelumnya. Pengalaman yang membuat gue yakin bahwa: Allah sebetulnya tidak peduli berapa banyak dosa dan kesalahan yang kita buat, tapi Dia peduli pada bagaimana kita berusaha terus membenahi diri. Itulah kelembutan dan kasih sayangNya pada tiap manusia.

Naaah menjaga hati tetap bersih kan syusyah ya. Sementara kecenderungannya manusia juga ini: menilai dosa dan kesalahan orang lain. Itu padahal balik lagi harusnya ke diri sendiri, sebelum menuding, tanya dulu: emang hati kita sudah bersih dari semua itu sehingga kita bisa menilai orang lain?. Cuma yaaahhh manusiawi.

Dan guepun, selain pernah melakukannya, ya pastinya pernah kena imbas perilaku manusiawi tersebut.

(Bersambung) 















Friday, May 17, 2019

Berdamai dengan dosa (bagian 2)

(Bagian 1 silakan baca disini)


Di semester awal kuliah, gue sempat ikut beberapa pengajian.

Waktu itu, akhir tahun 80an, seperti ada gejolak euphoria agama di kampus. Banyak sekali tawaran pengajian. Dan banyak sekali yang berjilbab. Itu bikin gue penasaran, gejala apa ini. Dan apa sih isinya pengajian-pengajian itu.

Dan...waktu itu punya pacar yang tetiba jadi super alim, tiba-tiba nggak mau gandeng pacarnya inih! (sebelnya tuh dimana-manaaaa....hahaha). Dan diapun mulai nyaranin gue pake jilbab.

Baiqlah. Gue ikutlah pengajian. Dengan bekal penasaran.

Tapi apa yang terjadi?. Alih-alih jadi pengen pake jilbab, gue malah milih untuk berhenti ngikutin setelah beberapa kali. That's it. No more pengajian.

Lho kenapa?.

Dasarnya gue nggak suka diindoktrinasi. I hate being told loe harus gini gitu gono, tapi giliran gue tanya kenapa harus gitu, dijawabnya ya karena sudah begitu ketentuannya, dengan bumbu segala dalil dan ayat. Tanpa dijelaskan apa sih maknanya semua itu, kenapa sih aturan seperti itu ada, dan, apa relevansinya dengan sekarang, kenapa tetap harus.

Paling nggak di beberapa pengajian yang pernah gue ikuti saat itu, modelnya pokoknya harus. Sementara gue terbiasa dengan pendekatan pemahaman konteks saat di SMA.

Ada beberapa guru yang bikin gue lihat Islam sebagai agama yang lentur waktu - terjaga dan relevan pada tiap masa asalkan kita gunakan rasa dan logika saat mengamalkan sesuatu. Dan paham konteksnya.

Gue masih inget satu guru yang jadi favorit gue karena demikian indahnya beliau selalu menjelaskan apa yang terjadi saat perintah sebuah amalan atau ibadah diturunkan, atau dilakukan oleh Rasulullah SAW. Kenapa ada amalan yang saat itu harus, dan tetap harus dilakukan hingga sekarang. Dan kenapa amalan lainnya boleh dikerjakan boleh juga tidak untuk saat sekarang. Semua karena perbedaan konteks, perbedaan apa yang dituju.

Jadi gue gedeg lama-lama ikut beberapa kali pengajian-pengajian itu dengan model HARUS gini tapi mbuh kenapa harus, selain dosa dosa dosa kalau nggak dikerjakan. Kzl. Ya dosa gue udah banyak, tahu gue. Gue kan pengen tahu kenapa sesuatu harus dilakukan selain kalo nggak dikerjain nambahin lagi dosa gue yang udah banyak ituh. Huh.

Dan gue juga akhirnya bertanya ke pacar waktu itu apa sih dasarnya dia berubah, dan kenapa menurut dia guepun sebaiknya berubah. Ya gue ingin tahu apa pengertiannya dari sudut pandang dia. What was the why. Lah, jawaban dia waktu itu kok ya podo wae dengan semua pengajian itu: ya karena sudah harus begitu, kalau nggak begitu, dosa.

Yo wes. Ketebak. Mari kita berpisah sajalah sayang. I couldn't stand jawaban yang demikian (dan setelahnya nangis melulu selama 2 minggu, disaksikan anjing tersayang gue yang gue kekep di kamar tiap kali pulang kuliah. Gue rasa itu mungkin 2 minggu terindah dalam hidupnya, karena biasanya nggak boleh masuk rumah. Gue rasa doa dia adalah: semoga majikan gue sedih terus sepanjang umur gue. Too bad girl, I was a strong woman even back then!. Ha!.).

Setelah itu, terus terang gue trauma ikut pengajian. Untungnya sih nggak trauma pacaran #eeeh.

Gue percaya kajian itu harusnya mengasah nalar agar seiring dengan hati. Harusnya bukan melulu emosi yang disentil, dengan kata pamungkas: nanti dosa. I don’t buy that.

Gue tahu bahwa nggak semua pengajian begitu, tapi gimana milih yang nggak kayak gitu, waktu itu gue nggak tahu gimana caranya. Gue nggak sudi masuk jebakan betmen lagi. Bete men.

Gue nggak butuh diingatkan melulu tentang dosa, karena itu juga bertentangan dengan seperti apa wajah Tuhan yang ada di benak gue: lembut, welas asih, merangkul. 

Ngomongin dosa after dosa, itu bikin gue membayangkan Tuhan itu seperti Pak Polisi galak berkumis tebal pegang tongkat dan priwitan, siap nyemprit dan ngemplang siapapun yang salah tanpa kompromi. Itu malah membuat gue terasa berjarak dengan pencipta gue. Dan gue gak suka merasa seperti itu.

I am not saying God compromises with our sins. I do believe bahwa ada beberapa hal prinsip yang Tuhan ingin kita tidak lakukan. Tapi gue juga percaya Tuhan akan selalu memberikan ruang bagi ciptaanNya untuk membenahi hati dan menemukan jalan yang benar, dan Dia akan menuntun. Bukan memaki. Bukan nyemprit. Bukan main toyor. Dan bukan menuduh dan menyodorkan daftar dosa kita. Somehow, gue percaya Tuhan nggak seperti itu.

Selain itu, kalau ngomongin dosa, yassalaaaam tiap hari juga udah merasa dosanya bejibun. Masuk pengajian malah berasa dihakimi pula gue dengan segala dalil berderet yang mendaftar dosa-dosa tambahan. Rasanya macam masuk kelas, telat, baru masuk pintu ketahuan dosen, ditodong suruh jawab pertanyaan, semua mata sekelas memandang ke gue. Mampus. Mati kutu. Brain freeze.

Dan merasa seperti itu, nggak nyaman. Gue inget di salah satu yang gue ikuti, dimana kami nginep semalam dua hari di satu tempat, itu gue udah pengen pulang banget di esok paginya. Sayang jauh banget.

Dan demikianlah gue sukses jadi alergi dengan yang namanya kajian dan pengajian. Apapun bentuknya. Mungkin gue suudzon, tapi gue merasa saat itu, pengajian jadi seperti kamp konsentrasi. Kita dibuat merasa bersalaaaahhh melulu, lalu setelah itu diindoktrinasi apa yang benar.

Betul bahwa cara itu efektif bikin kita berpikir tentang dosa-dosa kita. Tapi malah bikin gue lalu bertanya: betapa dangkalnya kelak gue akan beragama kalau tujuan gue ‘cuma’ supaya gue gak bikin dosa. Itu bukan esensi dari kenapa gue beragama. Ada nilai luhur yang gue yakin Tuhan ingin gue temui, dan supaya nggak berdosa, is not it. Not enough.

(Bersambung)  


Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts