Monday, November 25, 2019

Menjaga Nilai


Punya remaja tuh gampang-gampang susah.
Setelah badai di awal ke-ABG-an waktu Tara kelas 5, dengan episode banting pintu, lomba diem-dieman, dan beberapa kali ngomel pakai WA daripada ketemu dan akhirnya sama-sama ngamuk, akhirnya kami berdua menemukan titik temu.
Beberapa tahun terakhir ini kami berdua aman tenteram damai. Sampai Cip pernah komentar, “Kalian sekarang rukun banget. Gitu kek dari dulu”. Hahaha....si ayah ini. Oh dia mah lain lagi masalahnya sama anak-anak. Nanti kapan-kapan gue berbagi.
Tapi saat internal udah adem ayem, ya ada aja ya dari luar yang lalu mengganggu dia.
Yang paling anyar, masalah pandangan gurunya tentang aliran Syiah, yang so happens dianut omanya. My mother.
Dia nggak cerita ke gue, tapi gue tahu justru dari ART kami yang memang sudah lama pake banget kerja di rumah kami. Tara memang nyaman cerita- cerita sama si mpok ini.
Jadi suatu hari, gue lagi bikin kue, ceritalah si mpok yang memang suka ngobrol itu, kalau Tara pernah cerita ke dia bahwa gurunya bilang Syiah itu sesat dan yang menganut akan masuk neraka.
"Dia nggak berani ngomong sama bundanya. Waktu itu juga bisik-bisik nanya ke saya, nanya dulu ada oma nggak di rumah?. Omanya emang lagi pegi. Terus dia cerita dah ada gurunya yang bilang gitu. Dia nanya masa oma masuk neraka mpok. Oma kan rajin sholat, baik sama orang. Kayaknya bingung banget gitu dia mbak”. 
Yah namanya juga gue ya, darah langsung spontan naik. “Terus, loe bilang apa?”.
“Ya saya bilang ya nggak gitu kali Kak. Emang Allah nggak lihat perilaku orang?. Mau gimana kek tapi kan Allah nanti yang bakal menilai Kak. Nggak usah dipikirin Kak. Itu urusan Allah nanti”.
“Terus dia gimana loe bilangin gitu?”.
“Yaa kayaknya ngarti sih mbak. Tara kan pinter mbak”.
“Iya gue tahu dia pinter. Tapi dia kan juga orangnya sensitif dan nyimpen. Diem-diem dipikirin. Ntar yang ada stres sendiri mikirin omanya”. 
Sejujurnya, insting pertama gue adalah bertanya pada dia. Tapi, gue menghargai privasi dia. Dia bukan nggak mau cerita ke bundanya, tapi mungkin karena dia cukup kenal bundanya untuk tahu kalau cerita seperti itu, cuma bakal bikin gue telpon ke sekolah untuk bertanya dan mengusut.
Gue nggak pernah berisik soal tugas dan fasilitas sekolah, but when it comes to values taught to my children, biasanya gue memang nggak akan diam. Anak-anak tahu gue nggak akan bawa nama mereka dan nggak pernah mempermalukan mereka, tapi yah namanya juga anak-anak. Selalu ada ketakutan nanti gurunya akan bertanya langsung pada dia. Apalagi Tara sebentar lagi mau ujian.
Jadi bagaimana dong. Ini kan dilema ya, antara menghargai ruang privasi anak, dengan memastikan bahwa dia memang paham bahwa itu bukan nilai yang keluarga kami anut. Bahwa kami menghargai apapun cara orang lain menuju Tuhan dan tidak akan pernah menilai apakah jalan tersebut sesat atau tidak karena akhirnya, hanya Tuhan yang berhak menilai. 
Dan bagaimana pula gue memastikan dia terbebas dari beban emosional macam ini: mikirin bagaimana nasib omanya kelak saat beliau tiada. Dengan bayangan neraka yang luar biasa menyakitkannya. Itu bukan sebuah imaji yang gue ingin tertanam di kepala anak-anak.
Seminggu gue berdebat dengan diri sendiri. Tanya ke Tara atau nggak ya tentang kejadian itu. Gue hanya ingin memastikan dia tahu nilai mana yang harus dia anut, dan bahwa dia ‘kelar’ dengan pertanyaan-pertanyaan dalam dirinya yang timbul gara-gara kejadian itu.
Sampai satu hari, omanya siap-siap untuk berangkat ke Iran.
Dia tanya, “Bun, kenapa sih oma tiap tahun harus ke sana?”. 
Dan berdialoglah kami tentang perbedaan cara mencari Tuhan dan mencari apa yang menyamankan kita dalam diri tentang apakah kita sudah melakukan yang terbaik bagi Tuhan atau belum. Bahwa beragama adalah juga tentang perjalanan tak henti untuk mencari jalan yang terbaik, buat kita. Tapi bahwa yang terbaik buat kita belum tentu yang terbaik buat orang lain, dan sebaliknya, AND THAT IS FINE. Karena hanya Allah yang berhak menilai.
“Jadi, kita harus kayak oma juga nggak?”. 
“Kakak, aku sama ayah bukan penganut Syiah. Apakah itu bener?. Ya gak tau. Apakah oma salah?. Ya gak tau juga. Semua baru kita tahu saat kita kembali pada Allah, Kak. Jadi, kamu nggak usah bingung. Nggak usah pula ngerasa kamu harus ngikutin orang lain karena takut masuk neraka misalnya. Pegangannya kan jelas: apa yang ada dalam Al-Quran. Itupun interpretasi Al-Quran itu kan luas banget. Tapi apa Al-Quran ngajarin kita buat ngejudge orang lain?. Ayat-ayat yang bilang masuk neraka kalau begini atau begitu justru harus dibacanya gini Kak: itu adalah kalimat-kalimat Allah. Jadi ya emang hanya Allah yang berhak menilai dan mengatur hukumnya!. Dan ada banyak sekali perbuatan yang dianjurkan dan dilarang Al-Quran, yang bisa kita lakukan adalah sebaik mungkin menghindari yang dilarang dan lakukan yang dianjurkan. Apa itu menjamin kita nggak masuk neraka?. Ya nggak juga!. Tapi kan kasih sayang Allah itu luas. Jadi, ngapain kita yang sibuk ngejudge orang lain sekarang, ya nggak?”. 
Dia diam beberapa saat. Gue sebetulnya nunggu cerita itu keluar dari mulutnya. Tapi, “Iya ya bunda. Kita aja nggak tahu nanti kita masuk neraka atau nggak, ngapain juga nuduh orang lain masuk neraka”. 
Dan itu, siraman air sejuk banget buat gue. Artinya, dia ngerti nilai yang harusnya dia pegang. Dan, bahwa dia menemukan jawaban atas apapun yang mungkin masih bersarang di kepalanya.
--
Pelajaran dari kejadian ini buat gue pribadi ada tiga:
  1. Menjaga privasi anak jauh lebih penting dibanding membela apa yang orang tua ingin luruskan pada anak. Jangan pernah tersinggung kalau dia nggak cerita ke kita. Tapi bersyukurlah kalau dia masih punya orang-orang yang dia tahu dia bisa percaya untuk cerita.
  2. Pastikan saja orang-orang tempat dia cerita itu, adalah juga orang-orang yang menganut nilai yang kurang lebih sama dengan kita. Kalaupun hal ini tidak bisa kita kontrol, dan akan selalu ada yang berbeda nilai dengan kita, paling tidak pastikan saja jumlahnya tidak banyak. Atau ya pastikan anak kita tahu bagaimana caranya berpegang teguh pada nilainya. Bagaimana cara tahunya? - itulah pentingnya komunikasi dan observasi perilaku anak. Amati dari jauh. Tapi tidak buat mengontrol dan mengatur. Lebih supaya kita tahu lingkungan sosial seperti apa yang dia dekati.
  3. Pekalah pada kesempatan-kesempatan dimana kita bisa membahas masalah yang dia tidak ingin ceritakan pada kita. Lalu bahas dengan netral. Dan yakini ini saja: walaupun mungkin sepertinya anak tidak atentif, tapi sebetulnya mereka mendengarkan lho. Gue sendiri sering kaget kok kadang dua atau tiga hari setelah ngobrol sesuatu, anak-anak ini suka melontarkan ucapan yang intinya apa yang mereka pelajari dari obrolan yang sudah lalu itu. So they listen. Gayanya aja mungkin cuek
Kalau soal belajar agama, ah gue serahkanlah pada kepatutan dan nilai yang dianut masing-masing keluarga. Kami sendiri masih belajar. Tapi kami percaya bahwa menjunjung tinggi kemanusiaan dengan tidak menilai kesesatan orang lain, salah satunya, adalah juga menjalankan perintah agama dan belajar beragama dengan baik. Itu saja.
Gue hanya ingin berbagi cerita ini pada teman-teman karena siapa tahu ada yang pernah mengalami. 
Gue sedih karena ada kejadian seperti ini dalam hidup anak-anak gue, sesuatu yang dulu nggak pernah gue alami saat gue tumbuh besar. 
May our children grow up to be those who know that this world needs compassion and empathy. More than it needs those who hold religion blindly. Aamiiin... 
Foto ini terpampang di salah satu rak buku di lantai atas rumah kami, yang setiap sebulan dua kali jadi tempat pengajian Mama. Anak-anak terbiasa melihat perangkat yang berhubungan dengan Syiah di rumah. Mereka tumbuh dengan itu. Mereka berdua pernah bertanya itu apa, atau itu foto siapa, dan gue dan Cip selalu jelaskan. Tapi apakah kami akan mengikuti jalan yang sama? - itu hak hati kami masing-masing kelak untuk memilih. Apakah My Mom melakukan sesuatu yang bidah? - itu gue serahkan pada Allah untuk menilai. Tapi gue sedih dengan mereka yang dengan mudah mengomentari bagaimana salahnya seseorang atau sebuah golongan menjalankan apa yang mereka percaya, padahal hidup berdampingan dengan damai adalah anugerah Allah yang paling besar bagi kita semua...jika saja kita mau belajar. Paling tidak, belajar menahan lidah, dan jari di gawai.

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts