Thursday, May 16, 2019

Berdamai dengan dosa (bagian 1)


Gue bukan orang yang ngerti banget agama. Kelihatan kali ya dari judul tulisan ini. Dengan dosa kok mau berdamai, gimana sih!. Anyway. Kalau mau berhenti membaca disini ya ndak apa. Gue seperti biasa hanya ingin menceracau.

Waktu SMA, gue cuma pernah sekolah di sekolah berbasis Islam karena Mama merasa makin kami remaja kami harus punya dasar Islam yang lebih kuat. Beliau berharap itu bisa ditanamkan lewat sekolah karena beliau kerja dan nggak punya cukup waktu untuk ngajarin kami (naaahh...jangan ada yang punya pikiran nyela wanita bekerja yang nggak sempat ngajarin anaknya ngaji. Gue samperin loe buat noyor pala loe. Tiap Ibu melakukan apa yang terbaik yang dia mampu. Cateeettt itu baek-baek...).

Jadi dari situlah gue dapat beberapa dasar bagaimana ber-Islam dan apakah itu Islam, yang gue pegang teguh sampai sekarang.

Salah satunya adalah bagaimana lemah lembutnya Islam, dan Tuhan di dalam Islam. Dan karena itu, sebagai seorang muslim, tugas gue salah satunya ada memperlakukan segala yang ada di bumi ini dengan welas asih, tanpa kegarangan.

Selain dari sekolah, gue justru banyak belajar dari memperhatikan perilaku sehari-hari almarhum Papa, yang mualaf karena menikahi Mama. Karena tahu beliau bukan Islam sejak lahir, gue justru jadi lebih suka mencontoh apa yang beliau perlihatkan sehari-hari. Kesederhanaan. Kesantunan pada tetangga. Kebaikan hati pada sesama. Kedisiplinan. Keteguhan hati di tengah terpaan godaan korupsi dan kolusi. Kesabaran beliau menghadapi banyak hal dalam keluarga dan pekerjaannya.

He actually made me wondered, bagaimana seorang yang tidak pernah sholat dan puasa yang katanya menguatkan iman itu (beliau baru melakukan keduanya sekitar kurang lebih 10 tahun terakhir sebelum beliau meninggal), bisa punya keteguhan-keteguhan macam itu. Lha yang sholat dan puasa rajin aja pada korupsi kok!. 

Itu dulu gue tahu karena kami terbiasa makan malam bareng, dan kadang Mama dan Papa suka ngobrol si so and so yang tahu-tahu punya rumah mentereng, atau si anu tiba-tiba mobilnya mewah, padahal posisinya sama dengan mereka di kantor. I did the math juga lah.

Jadi begitu deh cara gue memahami harus seperti apa jadi manusia untuk berjalan di muka bumi ini. Dan gimana gue harus ngejalanin apa yang disebut sebagai orang beragama. Apapun lah agamanya. Lihat Papa, gue jadi besar dengan pikiran bahwa mau apapun agamanya kalo dalem loe baik ya jadi baik, busuk ya busuk aja, kalo segala ibadah cuma jadi sekedar ‘gerak badan’.

Yaaa lalu ada juga siiih excuse macam begini: yang sholat aja belum tentu beres, itu Papa nggak pernah sholat malah baik, jadi, gue nggak perlu sholat rajin-rajin asal gue jaga hati gue, kan nggak apa-apa. Hehehehehe….argumen yang selalu bikin emak gue meradaaang (sebagai orang Minang, gimana nggak meradang beliau ngadepin anaknya yang mbeling soal kewajiban agama ini…).

Yoi. Gue tuh baru menjaga sholat gue setelah ulang tahun ke 40. Sebelumnya mah ca’ur baur. Ya udah merasa butuh banget lebih dekat dengan Allah, maka gue pun merasakan nikmatnya sholat karena merasa selalu ada selimut hangat yang membuat gue nyaman. Dan sholat, buat gue adalah pembentuk setiap inci ‘benang’ di selimut itu. Membuatnya lebih rapat, dan lebih nyaman. Seperti kepompong. Itu penyebabnya kenapa tahu-tahu sholat gue jadi beres. Tuh. Jujur gue mah.

Cuma yaa gitulah. Gue ngalami lah dulu diomelin melulu, by my mom of course, karena sholat gue yang blangbonteng. Tapi semua masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Dibilang dosa udah biasa. Ya sudahlah emang dosa gue udah banyak juga.

Dan gue juga mikir: kenapa sih Mama cemas banget kalo gue punya dosa. Kan dosa gue. Ya masa sih Tuhan nggak pengertian kalau yang memilih untuk nggak sholat kan gue, bukan karena Mama gagal menanamkan disiplin sholat dan gue pun nggak menyalahkan beliau. Emang dasar gue aja yang bebal. Jadi, masa sih Tuhan juga akan menimpakan dosa gue yang nggak sholat itu, ke beliau dan bokap juga. Dan dosa gue nanti juga kan urusan gue dan Tuhan. Tanggung jawab gue pribadi.

Kadang juga ada keluhan dari Mama bahwa beliau belum melaksanakan kewajibannya sebagai muslim yang harusnya mengajarkan dan mengajak mualaf, yaitu Papa, untuk dengan sempurna menjalankan kewajibannya sebagai muslim. Nah sementara ya balik lagi kalo buat gue, itu kan Papa yang mutusin nggak mau sholat dan puasa, apa urusannya sama Mama. Sekali lagi gue mikir, emang Tuhan segitunya ya. Kan katanya Maha Pengasih dan Penyayang, ya mestinya Dia juga Maha Memahami keterbatasan ciptaanNya dwong.

Jadi kadang kalau lagi dengerin Mama ngomel soal sholat, dalam hati gue berargumen debat hebat dengan semua yang beliau omongin.

Ya tentunya nggak gue keluarin laaah, bisa kena lempar pot dan seisinya. Kan gue bukan millennial apalagi gen Z yang terbiasa ngomong apa adanya ke ortu. Jadi semua berlangsung di dalam diri.

Dan gue dalam hati selalu bilang sama Tuhan, mohon jangan timpakan dosa gue nggak sholat itu ke orang tua gue (jika memang dosa, dan jika memang orang tua akan kecipratan tuh dosa). Itu murni keputusan gue, nothing to do with them. Dan apapun keputusan Papa sebagai mualaf juga bukan salahnya Mama, jadi mohon bebaskan Mama jika itu adalah tanggung jawab beliau. Mohon dimengerti, Tuhan, Papa emang gitu orangnya.

Dan begitulah perjalanan pertama gue memahami dosa. Bahwa Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang, adalah juga Maha Memahami, Dia tidak akan menimpakan dosa kita pada orang lain, asal kita meminta dengan sungguh-sungguh agar Tuhan sudi memberi keringanan buat mereka. Dan dosa tiap manusia, adalah tanggung jawab masing-masing kelak.

Dan demikianlah, di benak gue, Tuhan selalu jadi sosok yang penuh kelembutan. Bukan amarah.

(Bersambung)


No comments:

Post a Comment

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts