Friday, May 17, 2019

Berdamai dengan dosa (bagian 2)

(Bagian 1 silakan baca disini)


Di semester awal kuliah, gue sempat ikut beberapa pengajian.

Waktu itu, akhir tahun 80an, seperti ada gejolak euphoria agama di kampus. Banyak sekali tawaran pengajian. Dan banyak sekali yang berjilbab. Itu bikin gue penasaran, gejala apa ini. Dan apa sih isinya pengajian-pengajian itu.

Dan...waktu itu punya pacar yang tetiba jadi super alim, tiba-tiba nggak mau gandeng pacarnya inih! (sebelnya tuh dimana-manaaaa....hahaha). Dan diapun mulai nyaranin gue pake jilbab.

Baiqlah. Gue ikutlah pengajian. Dengan bekal penasaran.

Tapi apa yang terjadi?. Alih-alih jadi pengen pake jilbab, gue malah milih untuk berhenti ngikutin setelah beberapa kali. That's it. No more pengajian.

Lho kenapa?.

Dasarnya gue nggak suka diindoktrinasi. I hate being told loe harus gini gitu gono, tapi giliran gue tanya kenapa harus gitu, dijawabnya ya karena sudah begitu ketentuannya, dengan bumbu segala dalil dan ayat. Tanpa dijelaskan apa sih maknanya semua itu, kenapa sih aturan seperti itu ada, dan, apa relevansinya dengan sekarang, kenapa tetap harus.

Paling nggak di beberapa pengajian yang pernah gue ikuti saat itu, modelnya pokoknya harus. Sementara gue terbiasa dengan pendekatan pemahaman konteks saat di SMA.

Ada beberapa guru yang bikin gue lihat Islam sebagai agama yang lentur waktu - terjaga dan relevan pada tiap masa asalkan kita gunakan rasa dan logika saat mengamalkan sesuatu. Dan paham konteksnya.

Gue masih inget satu guru yang jadi favorit gue karena demikian indahnya beliau selalu menjelaskan apa yang terjadi saat perintah sebuah amalan atau ibadah diturunkan, atau dilakukan oleh Rasulullah SAW. Kenapa ada amalan yang saat itu harus, dan tetap harus dilakukan hingga sekarang. Dan kenapa amalan lainnya boleh dikerjakan boleh juga tidak untuk saat sekarang. Semua karena perbedaan konteks, perbedaan apa yang dituju.

Jadi gue gedeg lama-lama ikut beberapa kali pengajian-pengajian itu dengan model HARUS gini tapi mbuh kenapa harus, selain dosa dosa dosa kalau nggak dikerjakan. Kzl. Ya dosa gue udah banyak, tahu gue. Gue kan pengen tahu kenapa sesuatu harus dilakukan selain kalo nggak dikerjain nambahin lagi dosa gue yang udah banyak ituh. Huh.

Dan gue juga akhirnya bertanya ke pacar waktu itu apa sih dasarnya dia berubah, dan kenapa menurut dia guepun sebaiknya berubah. Ya gue ingin tahu apa pengertiannya dari sudut pandang dia. What was the why. Lah, jawaban dia waktu itu kok ya podo wae dengan semua pengajian itu: ya karena sudah harus begitu, kalau nggak begitu, dosa.

Yo wes. Ketebak. Mari kita berpisah sajalah sayang. I couldn't stand jawaban yang demikian (dan setelahnya nangis melulu selama 2 minggu, disaksikan anjing tersayang gue yang gue kekep di kamar tiap kali pulang kuliah. Gue rasa itu mungkin 2 minggu terindah dalam hidupnya, karena biasanya nggak boleh masuk rumah. Gue rasa doa dia adalah: semoga majikan gue sedih terus sepanjang umur gue. Too bad girl, I was a strong woman even back then!. Ha!.).

Setelah itu, terus terang gue trauma ikut pengajian. Untungnya sih nggak trauma pacaran #eeeh.

Gue percaya kajian itu harusnya mengasah nalar agar seiring dengan hati. Harusnya bukan melulu emosi yang disentil, dengan kata pamungkas: nanti dosa. I don’t buy that.

Gue tahu bahwa nggak semua pengajian begitu, tapi gimana milih yang nggak kayak gitu, waktu itu gue nggak tahu gimana caranya. Gue nggak sudi masuk jebakan betmen lagi. Bete men.

Gue nggak butuh diingatkan melulu tentang dosa, karena itu juga bertentangan dengan seperti apa wajah Tuhan yang ada di benak gue: lembut, welas asih, merangkul. 

Ngomongin dosa after dosa, itu bikin gue membayangkan Tuhan itu seperti Pak Polisi galak berkumis tebal pegang tongkat dan priwitan, siap nyemprit dan ngemplang siapapun yang salah tanpa kompromi. Itu malah membuat gue terasa berjarak dengan pencipta gue. Dan gue gak suka merasa seperti itu.

I am not saying God compromises with our sins. I do believe bahwa ada beberapa hal prinsip yang Tuhan ingin kita tidak lakukan. Tapi gue juga percaya Tuhan akan selalu memberikan ruang bagi ciptaanNya untuk membenahi hati dan menemukan jalan yang benar, dan Dia akan menuntun. Bukan memaki. Bukan nyemprit. Bukan main toyor. Dan bukan menuduh dan menyodorkan daftar dosa kita. Somehow, gue percaya Tuhan nggak seperti itu.

Selain itu, kalau ngomongin dosa, yassalaaaam tiap hari juga udah merasa dosanya bejibun. Masuk pengajian malah berasa dihakimi pula gue dengan segala dalil berderet yang mendaftar dosa-dosa tambahan. Rasanya macam masuk kelas, telat, baru masuk pintu ketahuan dosen, ditodong suruh jawab pertanyaan, semua mata sekelas memandang ke gue. Mampus. Mati kutu. Brain freeze.

Dan merasa seperti itu, nggak nyaman. Gue inget di salah satu yang gue ikuti, dimana kami nginep semalam dua hari di satu tempat, itu gue udah pengen pulang banget di esok paginya. Sayang jauh banget.

Dan demikianlah gue sukses jadi alergi dengan yang namanya kajian dan pengajian. Apapun bentuknya. Mungkin gue suudzon, tapi gue merasa saat itu, pengajian jadi seperti kamp konsentrasi. Kita dibuat merasa bersalaaaahhh melulu, lalu setelah itu diindoktrinasi apa yang benar.

Betul bahwa cara itu efektif bikin kita berpikir tentang dosa-dosa kita. Tapi malah bikin gue lalu bertanya: betapa dangkalnya kelak gue akan beragama kalau tujuan gue ‘cuma’ supaya gue gak bikin dosa. Itu bukan esensi dari kenapa gue beragama. Ada nilai luhur yang gue yakin Tuhan ingin gue temui, dan supaya nggak berdosa, is not it. Not enough.

(Bersambung)  


No comments:

Post a Comment

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts