Di semester awal kuliah, gue sempat ikut beberapa pengajian.
Waktu
itu, akhir tahun 80an, seperti ada gejolak euphoria agama di kampus. Banyak
sekali tawaran pengajian. Dan banyak sekali yang berjilbab. Itu bikin gue
penasaran, gejala apa ini. Dan apa sih isinya pengajian-pengajian itu.
Dan...waktu
itu punya pacar yang tetiba jadi super alim, tiba-tiba nggak mau gandeng
pacarnya inih! (sebelnya tuh dimana-manaaaa....hahaha). Dan diapun mulai
nyaranin gue pake jilbab.
Baiqlah.
Gue ikutlah pengajian. Dengan bekal penasaran.
Tapi apa
yang terjadi?. Alih-alih jadi pengen pake jilbab, gue malah milih untuk
berhenti ngikutin setelah beberapa kali. That's it. No more pengajian.
Lho
kenapa?.
Dasarnya
gue nggak suka diindoktrinasi. I hate being told loe harus gini gitu gono, tapi
giliran gue tanya kenapa harus gitu, dijawabnya ya karena sudah begitu
ketentuannya, dengan bumbu segala dalil dan ayat. Tanpa dijelaskan apa sih
maknanya semua itu, kenapa sih aturan seperti itu ada, dan, apa relevansinya
dengan sekarang, kenapa tetap harus.
Paling nggak
di beberapa pengajian yang pernah gue ikuti saat itu, modelnya pokoknya harus. Sementara
gue terbiasa dengan pendekatan pemahaman konteks saat di SMA.
Ada
beberapa guru yang bikin gue lihat Islam sebagai agama yang
lentur waktu - terjaga dan relevan pada tiap masa asalkan kita gunakan rasa dan
logika saat mengamalkan sesuatu. Dan paham konteksnya.
Gue masih
inget satu guru yang jadi favorit gue karena demikian indahnya beliau selalu menjelaskan
apa yang terjadi saat perintah sebuah amalan atau ibadah diturunkan, atau
dilakukan oleh Rasulullah SAW. Kenapa ada amalan yang saat itu harus, dan tetap
harus dilakukan hingga sekarang. Dan kenapa amalan lainnya boleh dikerjakan
boleh juga tidak untuk saat sekarang. Semua karena perbedaan konteks, perbedaan
apa yang dituju.
Jadi gue
gedeg lama-lama ikut beberapa kali pengajian-pengajian itu dengan model HARUS
gini tapi mbuh kenapa harus, selain dosa dosa dosa kalau nggak dikerjakan. Kzl.
Ya dosa gue udah banyak, tahu gue. Gue kan pengen tahu kenapa sesuatu harus
dilakukan selain kalo nggak dikerjain nambahin lagi dosa gue yang udah banyak ituh.
Huh.
Dan gue
juga akhirnya bertanya ke pacar waktu itu apa sih dasarnya dia berubah, dan
kenapa menurut dia guepun sebaiknya berubah. Ya gue ingin tahu apa
pengertiannya dari sudut pandang dia. What was the why. Lah, jawaban dia waktu
itu kok ya podo wae dengan semua pengajian itu: ya karena sudah harus begitu,
kalau nggak begitu, dosa.
Yo wes.
Ketebak. Mari kita berpisah sajalah sayang. I couldn't stand jawaban yang demikian
(dan setelahnya nangis melulu selama 2 minggu, disaksikan anjing tersayang gue yang
gue kekep di kamar tiap kali pulang kuliah. Gue rasa itu mungkin 2 minggu
terindah dalam hidupnya, karena biasanya nggak boleh masuk rumah. Gue rasa doa
dia adalah: semoga majikan gue sedih terus sepanjang umur gue. Too bad girl, I
was a strong woman even back then!. Ha!.).
Setelah
itu, terus terang gue trauma ikut pengajian. Untungnya sih nggak trauma pacaran
#eeeh.
Gue
percaya kajian itu harusnya mengasah nalar agar seiring dengan hati. Harusnya bukan
melulu emosi yang disentil, dengan kata pamungkas: nanti dosa. I don’t buy
that.
Gue tahu
bahwa nggak semua pengajian begitu, tapi gimana milih yang nggak kayak gitu, waktu
itu gue nggak tahu gimana caranya. Gue nggak sudi masuk jebakan betmen lagi.
Bete men.
Gue nggak
butuh diingatkan melulu tentang dosa, karena itu juga bertentangan dengan
seperti apa wajah Tuhan yang ada di benak gue: lembut, welas asih, merangkul.
Ngomongin dosa after dosa, itu bikin gue membayangkan Tuhan itu seperti Pak
Polisi galak berkumis tebal pegang tongkat dan priwitan, siap nyemprit dan
ngemplang siapapun yang salah tanpa kompromi. Itu malah membuat gue terasa
berjarak dengan pencipta gue. Dan gue gak suka merasa seperti itu.
I am not
saying God compromises with our sins. I do believe bahwa ada beberapa hal
prinsip yang Tuhan ingin kita tidak lakukan. Tapi gue juga percaya Tuhan akan
selalu memberikan ruang bagi ciptaanNya untuk membenahi hati dan menemukan
jalan yang benar, dan Dia akan menuntun. Bukan memaki. Bukan nyemprit. Bukan
main toyor. Dan bukan menuduh dan menyodorkan daftar dosa kita. Somehow, gue
percaya Tuhan nggak seperti itu.
Selain itu,
kalau ngomongin dosa, yassalaaaam tiap hari juga udah merasa dosanya bejibun. Masuk
pengajian malah berasa dihakimi pula gue dengan segala dalil berderet yang
mendaftar dosa-dosa tambahan. Rasanya macam masuk kelas, telat, baru masuk
pintu ketahuan dosen, ditodong suruh jawab pertanyaan, semua mata sekelas
memandang ke gue. Mampus. Mati kutu. Brain freeze.
Dan merasa
seperti itu, nggak nyaman. Gue inget di salah satu yang gue ikuti, dimana kami nginep
semalam dua hari di satu tempat, itu gue udah pengen pulang banget di esok
paginya. Sayang jauh banget.
Dan demikianlah
gue sukses jadi alergi dengan yang namanya kajian dan pengajian. Apapun bentuknya.
Mungkin gue suudzon, tapi gue merasa saat itu, pengajian jadi seperti kamp
konsentrasi. Kita dibuat merasa bersalaaaahhh melulu, lalu setelah itu
diindoktrinasi apa yang benar.
Betul bahwa
cara itu efektif bikin kita berpikir tentang dosa-dosa kita. Tapi malah bikin
gue lalu bertanya: betapa dangkalnya kelak gue akan beragama kalau tujuan gue ‘cuma’
supaya gue gak bikin dosa. Itu bukan esensi dari kenapa gue beragama. Ada nilai
luhur yang gue yakin Tuhan ingin gue temui, dan supaya nggak berdosa, is not
it. Not enough.
(Bersambung)
No comments:
Post a Comment