Sunday, June 7, 2020

Hidup itu serba sementara


Itu mah gue juga tahu.

Hehehe…. Iya, gue juga pernah tuh mikir gitu. Nggak perlu dikasih tahu emang iya kok, semua yang ada di hidup kita kan sementara aja.

Tapi, ya, memang lebih mudah bilang, “Ah gue juga tahu”, saat kita belum ngalami sendiri apa rasanya harus menghadapi kesementaraan yang meninggalkan luka.

Tamparan yang paling sakit bagi gue sebagai pengingat terhadap kalimat itu, adalah saat Papa meninggal. Begitu mendadaknya. Hanya selang sehari dari kali terakhir gue dengar suara beliau lewat telepon. Tiba-tiba saja, beliau pergi. No sign. No goodbye. He’s gone. For good.

Bertahun-tahun setelahnya, lukanya nggak sembuh-sembuh. Kehilangan yang terlalu menyakitkan. Dan butuh waktu cukup lama untuk bisa menyembuhkan diri gue sendiri dari rasa kehilangan, rasa bersalah karena tidak bisa lagi ucapkan terima kasih secara langsung, dan bahkan, rasa marah pada Tuhan karena mengambil beliau begitu mendadak.

Tapi ternyata, perjalanan menghadapi kehilangan Papa dan semua yang terkait dengan itu, membantu mempersiapkan gue menghadapi kesementaraan-kesementaraan lainnya dalam hidup.

Jatuh bangun saat harus mimpin sebuah perusahaan dan angka penjualan tiba-tiba jatuh ke jurang. Setengah mati menyemangati diri sendiri, dan tim, supaya jangan menyerah. Bahwa kejatuhanpun, adalah hal yang sementara.

Mulai lagi dari awal saat memutuskan berhenti dari dunia korporasi, saat jabatan saat itu sudah lumayan tinggi. Sempat kerja paruh waktu. Sampai lalu memutuskan gabung ke perusahaan teman dengan jabatan yang sama dengan yang gue jalani 8 tahun sebelumnya. Tapi apa sih artinya jabatan dan semua fasilitasnya? – kesementaraan dalam pekerjaan, itu saja.

Memulai usaha sendiri. Lalu jatuh bangun membesarkannya bersama tim. Dan dalam kurun waktu hampir 10 tahun ini, mengalami banyak sekali hal yang membuat gue kadang ketawa sendiri. Kesementaraan-kesementaraan yang lucu-lucu. Dari mulai anggota tim yang keluar masuk, pencapaian target yang naik turun, sampai semangat yang hilang timbul untuk terus bergerak. Lucu, sekarang. Menjalaninya sih, ya kesel, sedih, frustrasi. Tapi ya itu, semuanya sementara. Lewat juga kok.

Lalu sekarang ada pandemi.

--

Saat gue menulis ini, sudah 3 bulan kami sekeluarga lebih banyak di rumah saja. Cip baru kerja ke kantor hampir setiap hari, di 3 minggu terakhir dari 3 bulan itu.

Pekerjaan dia dan gue dalam kondisi yang sama sulitnya. Bisnis melambat. Mungkin nasib gue masih lebih beruntung daripada Cip yang harus bertanggungjawab pada korporasi besar, dan apa yang dia harus putuskan juga mau tidak mau terkait pada korporasi. Dia juga punya tim yang lebih besar. Dan dia adalah kepala keluarga.

Sementara gue, ‘cuma’ bertanggung jawab pada 3 rekanan bisnis, dan 5 anggota tim. Punya keleluasaan buat memutuskan apa yang harus dilakukan, tanpa harus tunggu siapapun.

Mudah?. Hmmmm…..nggak juga sih.

Salah satu ketakutan gue sejak dulu, yang menahan gue dari bikin usaha sendiri bertahun-tahun lamanya padahal Cip sudah selalu mendorong untuk mulai, adalah takut bangkrut. Sekarang, ketakutan itu membayangi gue. Setiap bulan pertanyaan yang mengemuka adalah: masih punya uang berapa kita buat bayar gaji karyawan?. Walaupun karyawan kami dihitung dengan jari di dua tanganpun tidak habis, tetap saja, mereka adalah tanggung jawab.

Tapi yaaa itulah. Sejak pandemi ini terjadi, gue kembalikan pada hal yang sama: semua hanya sementara. Virusnya mungkin nggak sementara. Itu sih gue yakin dia akan stay seperti halnya virus flu. Tapi pasti kita akan menemukan jalan keluar dari segala yang jadi akibat dari pandemi ini. Lha kita ini dianugerahi otak tuh buat apa kalau bukan dipakai berpikir, “What’s next?”. Mau namanya new normal kek, new abnormal kek, abnormal yang normal kek, apalah apalah apalah jargon yang mau dibuat, intinya kan satu: ada jalan keluar, kok.

Cuma mungkin kita memang perlu keteguhan mental dan ‘cara’ supaya mental ini teguh menghadapi semua kesementaraan dalam hidup.

Gue biasanya berpegang pada 3 hal ini: jangan pernah bereaksi ‘terlalu’, jangan pernah mengaitkan diri pada jabatan dan harta, dan jangan pernah lupa berbuat baik pada sekitar.

Terlalu senang, terlalu sedih, terlalu cinta, terlalu benci, semuanya payah. Perasaan harus dikontrol oleh otak supaya tidak terjebak dalam yang terlalu-terlalu itu. Sehingga saat ada kehilangan, kita juga bisa cepat santuy dan berpikir logis di alur yang benar.

Jabatan dan harta – salah dua dari hal yang menurut gue paling sementara dalam hidup. Hari ini Managing Director, besok jadi kuli. Hari ini dompet ada isinya, minggu depan kering kerontang.

Roda hidup selalu berputar. Dan gue selalu yakin bahwa perputaran itu, KITA yang bikin. Keputusan-keputusan kita dalam hiduplah yang memutar roda hidup kita sendiri. Dan bagaimana kita menyikapi hal-hal yang tidak bisa kita kontrol, ya tergantung pada kita menyandarkan diri kita pada apa. Dan saat kita menyandarkan diri pada jabatan dan harta, menurut gue sih, we are asking for trouble.

Misalnya ya buat gue, jadi MD ya memang tetap saja kuli sih. Lha wong kita tetap kerja karena dan buat orang lain kok. Intinya kan cuma satu: bekerja dan berkarya. Itu yang dipegang. Jadi kadang gue bingung kalau ada yang turun jabatan lalu jiwanya meronta. Santai brosis. Masih hidup toh?. Masih punya otak toh?. Pakailah buat cari jalan keluar. Jangan dipakai buat merintih.

Berbuat baik membuka pintu-pintu rejeki. Gue amat sangat percaya pada yang satu itu. Banyak contohnya. Dalam hidup gue sendiri, sering sekali gue menemukan jalan-jalan terbuka di saat-saat gue bingung, dan gue selalu meyakini itu adalah jalan yang dibukakan oleh apapun kebaikan yang pernah gue lakukan. Bukan berarti gue bilang gue orang baik, lha wong gue sering dibilang galak. Tapi sepertinya sih ada laaahhh saat-saat gue cukup eling lalu berbuat baik. Apapun itu.

Dan berbuat baik juga bukan hanya pada manusia. ‘Sekitar’ kita ini bukan cuma banyak manusia kan?. Ada hewan, tumbuhan. The earth, is our universe. Jadi berpikirlah juga bahwa berbuat baik itu, bisa pada apapun yang ada di sekitar kita. Bahkan pada seekor semut kecil yang nggak sengaja tercemplung dalam minuman kita, kita tolong dia keluar, itu sudah berbuat baik. Paling tidak itu menurut gue.

--

Jadi yaaah santuylah brosis. Seberat apapun beban yang saat ini harus kita jalani, yakini saja, semua hanya sementara. Asal sandaran kita benar, bukan pada istri atau suami orang #eh, yakini saja bahwa semua yang susah dan berat sekarang, akan bisa dilalui. And we will come out stronger.

And God is good. Jika anda percaya itu. Kalau ndak ya monggo, asal percaya pada kemampuan otak anda buat keluar dari masalah. Karena otak orang lain belum tentu paham apa yang badan dan hati anda inginkan.

Semangat!.  

Tulisan ini dibuat untuk kelak gue bisa mengenang suatu masa di tahun 2020 saat pandemi melanda dunia. Seperti gue mengenang semua perjalanan yang pernah gue lakukan, baik di alam lepas, maupun alam dalam diri sendiri

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts