Monday, May 20, 2019

Berdamai dengan dosa (bagian 4)

(Bagian satu disini. Bagian dua disini. Bagian tiga disini


Di suatu hari, yang gue udah lupa waktu itu cerah atau tidak, Mama mengikrarkan diri bahwa beliau meyakini Syiah. Gue sudah lupa sih tepatnya bagaimana beliau mengutarakannya, kami sedang apa, yang gue ingat cuma, “Mama sekarang Syiah”.

Gue cuma bilang, OK. Ya harus bilang apa?. 

Pertama, bagi gue, that was actually none of my business. Selama beliau masih percaya adanya Tuhan dan bahwa hanya Tuhanlah yang patut dijadikan sandaran hidup, dan tidak mengajarkan bahwa darah mereka yang berbeda halal untuk dibunuh, yo ben, monggo saja memilih aliran apa.

Kedua, balik ke perjalanan gue memahami apa artinya beragama dan ber-Tuhan, bahwa masing-masing dari kita akan bertanggung jawab pada Tuhan tentang jalan yang kita pilih untuk menuju padaNya. Siapalah gue menilai apakah jalan itu benar atau tidak. Lah gue saja masih belum tahu apakah jalan gue benar atau tidak. 

Tapi belakangan, gue terbentur-bentur pada beberapa hal. Tapi semuanya bermuara pada dua pertanyaan (dan seringkali bikin gue meradang dalam hati): (1) why do so many people think they (1) have the right to claim that they are right, and (2) they have the right to question how others do what they believe they should do to reach God?.

-- 

Di pertengahan 2000-an, Syiah mulai menampakkan wajahnya dengan lebih berani di bumi pertiwi ini. Dan sumpah ya gue sampai sekarang tidak pernah mengerti kenapa hal itu lalu menjadikan banyak sekali orang meradang.

Padahal kalau saja orang mau belajar sejarah penyebaran Islam, dan apa saja ajaran-ajaran dan perayaan-perayaan Islam yang ada di berbagai daerah di nusantara ini, banyaaaaaakkkk sekali jejak Syiah di negeri ini lhoooooo. Tapi selalu tidak mau diakui, atau tidak ada yang paham, atau tidak mau paham karena kadung menganggap itu sesat. Nggemesi toh?. 

Dan bukan cuma sekali gue ditanya baik oleh teman maupun saudara, tentang apa yang dijalankan oleh Mama. Pertanyaan-pertanyaan seperti: benar atau tidak sih bahwa dalam Syiah tidak ada kalimat syahadat, benar atau tidak sih sholatnya cuma tiga waktu, benar atau tidak sih Syiah tidak mengakui Rasulullah SAW, emang iya katanya Syiah kitabnya beda?. And so on and so forth.

And you know what, setiap kali itu terjadi, sejujurnya gue ingin sekali bilang, “That’s none of my business, none of yours. Beresin aja deh ibadah dan keadaan hati loe. Ngapain sih ngeributin gimana emak gue beribadah?. Loe udah bener?”. 

Tapi atas nama menjaga tali silaturahmi, biasanya gue cuma menarik napas panjang sebelum menjawab, “Gimana kalau loe tanya aja langsung deh sama nyokap gue. Gue nggak pernah nanya-nanya. Sepengetahuan gue, beliau masih percaya Allah dan Rasulullah bahkan mengagungkan sampai ke cucu-cucu Rasulullah, beliau masih ngucap syahadat. Kalo sholatnya gue nggak pernah nanya dan nggak pernah lihat lha sholat gue aja masih kacau ngapain gue nanyain sholatnya nyokap?”. 

Biasanya sih lumayan ampuh bikin lawan bicara gue diam. 

Dan bukan cuma sekali pula ada yang bilang kalau itu aliran yang tidak benar, dosa, tidak sesuai dengan Al-Quran dan hadits dan seterusnya. Jawaban gue cuma, “Kita siapa sih?, emang Tuhan sampai kita tahu itu dosa nanti masuk neraka?. Yakin banget kalau itu salah dan kita yang bener”. Oh ya tentunya dengan nada ketus.

Gue saat itu bukan sedang membela Mama, tapi membela hak tiap orang untuk menempuh apa yang menurut HATInya benar. Yang menurut hatinya memudahkannya menghadirkan Tuhan disitu. Terus kenapa harus dibuat ribut sih?. 

Dan walaupun ada prinsip-prinsip Syiah yang membuat gue tidak bisa mengikuti jalan ini (gue tidak akan pernah bahas apa saja itu, itu daerah privasi gue yang tidak seorangpun berhak untuk bertanya), tapi gue juga melihat mereka ini sebetulnya hanya berusaha untuk menegakkan cara beribadah yang menurut mereka patut dijalankan.

Dalam Islam ada hablumminallah dan hablumminannas – menjaga hubungan dengan Allah dan dengan sesama. 

Dengan Allah – ya siapalah kita untuk tahu bagaimana tiap pribadi melakukannya?, ye kan?. Apa pula hak kita untuk menilai apa yang dilakukan tiap pribadi untuk mencapainya?. Tapi yang gue lihat justru ini yang seriiiiiiiiiiiiiiiiiiiing pakai bangeeeeeeeeeeeeet untuk dibahas dan dipertanyakan. Ya itu, pertanyaan-pertanyaan di atas itu. Padahal, ya ampun, kalaupun itu yang mereka lakukan, dan ternyata salah dan jadi dosa, ya tanggung jawab pribadi dengan Allah, bukan?.

Dalam hal menjaga hubungan dengan sesama. Nah buat gue, ini yang lebih penting. Dan bolehlah dibilang ini mungkin ranahnya manusia untuk bisa menilai. Ini menilai akhlak dan perilaku, yang sejatinya juga adalah cerminan dari apa yang dijalankan dan disimpan dalam hati. Makna dari beragama yang benar, menurut gue, ya ini. 

And in my eyes, tidak ada yang salah dengan bagaimana kaum Syiah ini menjaga hubungan mereka dengan sesama.

Tidak pernah gue lihat mereka menutup diri. Tidak pernah gue dengar mereka secara agresif memaksa orang lain mengikuti ajarannya. Tidak pernah gue dengar ada Ustadz mereka yang agresif dalam ajarannya (gue tahu karena Mama mengadakan pengajian di rumah kami. Tadinya sebulan sekali, lalu ‘beranak’ jadi dua kali sebulan). Dan gue kenal beberapa ustadz yang dekat dengan Mama, semuanya lemah lembut. Tidak pernah ceramah teriak-teriak bikin kaget anak bayi yang sedang tidur. 

Tidak pernah gue dengar mereka mencaci pemimpin – baik pemimpinnya sendiri maupun pemimpin negara. Tidak pernah gue dengar mereka mencaci kaum minoritas lainnya. Kalau yang terakhir ini ya bisa saja ada yang mengajukan argumen bagaimana mereka mau mencaci lha wong mereka juga minoritas. Ah. Alasan selalu bisa dicari, tapi mari berbaik sangka bahwa itulah akhlak yang tertampil saat seseorang beragama dengan baik, gimana? #senyummanis.   

Jadi apa yang harus dibenci dan dibilang salah?. Malah sampai ada ancaman akan dibunuh segala. Gue mengalami suatu masa dimana gue takut ada apa-apa setiap kali Mama pergi ke tempat pemeluk Syiah berkumpul, karena semua ancaman-ancaman yang ada saat itu. 

--

Tantangannya bukan cuma dari luar. 

Ada satu masa dimana hubungan kami, anak dan menantu, dengan Mama pun jadi tegang karena menurut Mama, apa yang kami jalani, tidak benar menurut dalil yang beliau pelajari. Ada masa dimana kami sering diceramahi, tentang bagaimana Syiah dan apa yang benar menurut Syiah. Dan sebaliknya apa yang salah dalam Sunni.

Nah ini runyam, yes?. 

Tapi gue kembali ke pengalaman masa kecil gue saat gue sering diomeli karena sholat yang tambal sulam. All that she wanted to do was to protect me from sins, karena dosa adalah penderitaan. Dan ibu mana yang bisa membayangkan anaknya mengalami penderitaan, bahkan saat itu adalah ‘baru cerita’ tentang bayaran di neraka akibat tidak sholat.

Jadi, disitu ada proses psikologis yang gue bisa pahami kenapa beliau seperti itu. Tapi ya tetap saja, pendekatan gue ke beliaupun sama saja: this is my way, my responsibility, I deal with it later when I have to. 

Butuh waktu sampai akhirnya beliau berhenti menceramahi kami. Mungkin karena tahu tidak didengar. Gue tahu mungkin menyakitkan buat beliau bahwa semua anak dan menantunya tidak ada yang mendengarkan dan mengikuti apa yang dia mau, dan dia sudah yakini benar. But, I guess that’s what we all have to deal with: dosa orang lain itu bukan urusan kita. Titik. 
 
-- 

Penggalan perjalanan menerima perbedaan di bawah atap rumah sendiri dengan semua dinamikanya, gue percaya itupun isyarat dari Allah.

Isyarat untuk tidak mengurusi hubungan orang lain dengan Tuhan. Untuk tidak mengomentari cara orang menuju Tuhan. Itu adalah perjalanan yang teramat pribadi, dan bukan sesuatu yang mudah untuk dicerna oleh mereka yang tidak menjalaninya. 

Dan jika gue percaya Allah bersemayam di hati, dan Dia pula yang mengijinkan semua perbedaan untuk ada di bumi ini, maka gue juga harus terus belajar untuk menerima perbedaan sebagai salah satu cara menjaga kebersihan hati. Hanya dengan itu maka gue akan selalu menyediakan tempat bagi Allah di hati ini.

Jadi menjaga hati bukan melulu tentang tidak melakukan sesuatu yang bukan dosa, tapi juga belajar menerima keniscayaan hidup. Sebab hanya karena Allah-lah semua keniscayaan itu ada. 

(Bersambung)

 













No comments:

Post a Comment

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts