Saturday, May 18, 2019

Berdamai dengan dosa (bagian 3)

(Bagian satu disini, bagian dua disini). 

Bertahun kemudian, setelah Papa meninggal, Mama ikut sebuah pengajian. 

Gue nganterin beliau tiap Sabtu pagi, terus gue nyalon di deket situ, abis itu gue jemput lagi. Sebetulnya berkali-kali Mama berusaha banget merayu supaya gue nggak cuma anter jemput tapi ikut ke kajian, tapi gue selalu bilang nggak tertarik. 

Gue yakin sih Mama nggak akan ikut pengajian yang modelnya seperti pengajian yang bikin gue alergi jaman kuliah. Cuma waktu itu ya memang nggak tertarik aja gue. 

Tapi akhirnya ada satu hal yang bikin gue penasaran. Mama selalu bicara tentang ajaran sufi setiap kali selesai pengajian. Dan ada beberapa hal yang beliau ceritakan, yang intinya adalah betapa indahnya ajaran sufi. 

Dan, akhirnya, guepun tergoda cari kajian tentang itu. 

One fine day, pulang kerja gue lewat kompleks sekolah gue dulu, Al-Azhar. Dulu gue masih nyetir sendiri, dan kebetulan pas lampu bernyala merah di Jln. Sisingamangaraja, posisi mobil pas di depan gerbang Al-Azhar. 

Di dekat gerbang, ada spanduk kajian Sufistik tentang Sholat. Salah satu pengajarnya adalah Ustadz di tempat Mama ngaji juga. Dan gue pernah sekali ngobrol dengan Ustadz itu waktu jemput Mama. Sejujurnya sih gue suka karena dia ganteng. Hahahaha… 

Ya ketebak toh: gue ikut pengajian itu. Dua alasan: topiknya, dan Ustadznya ganteng (gue pernah baca cerita kalau Rasulullah SAW diceritakan sebagai sosok yang tampan. Allah tahu banget bahwa tampilan fisik itu penting buat narik perhatian. Itu kan manusiawi banget!. Maha Besar Allah…). 

Jadilah untuk 4 minggu berikutnya, pulang kantor 2 kali seminggu gue ke Al-Azhar Pusat ikut kajian itu. And I really liked what I learned.

Salah satu intinya adalah: betul bahwa sholat itu adalah kewajiban dan dosa jika ditinggalkan. Tapi jika melakukan sholat hanya karena takut berdosa, maka sholat itu tidak akan menyisakan apa-apa buat jiwa kita karena yang bergerak hanya badan. Maka, yang lebih penting adalah hati kita ikut sholat.

Maksudnya hati yang sholat tuh gimana?. Dengan penuh kesadaran, kita hadirkan hati di setiap sholat kita, dan kita isi hati dengan Allah didalamnya. Weleh, gimana pula itu ye kan?. Dan di kajian itu diajarkan beberapa cara menghadirkan Allah di dalam hati.

Diajarkan pula pentingnya mempertahankan kehadiran Allah di dalam diri.

Gue inget sang Ustadz cerita betapa seringnya kita bilang bahwa Allah ada di langit sambil nunjuk ke atas. Padahal, Allah ada dimana-mana, di sekitar kita. Pertanyaannya adalah: apakah kita akan ijinkan Allah masuk ke dalam hati, atau nggak. KehadiranNya kita jaga atau nggak di setiap langkah kita, setiap nafas, setiap detik. Kita biarkan nggak Allah betul-betul menjaga kita, di dalam diri kita. Dan sebaliknya, kita jaga nggak hati kita supaya bersih sebagai ‘rumah’ tempat Allah akan singgah. Sadar nggak kita apa yang ada di dalam hati, apakah kita sudah memantaskan hati kita untuk disinggahi. 

Dan saat itu semua sudah kita jawab dan lakukan, maka itulah yang akan menjauhkan kita dari melakukan hal-hal yang tergolong dosa.

I found that logic hit my head and heart at the same time. Penjelasan yang sangat logis tapi juga punya makna emosional yang dalam.

Dan nggak ada sekalipun dalam kajian itu membahas ini boleh itu nggak boleh. Dalil ini begitu dalil ono begono. None of those. Yang diutarakan selalu tentang bagaimana caranya membenahi hati, kenapa itu penting, dan nikmat macam apa yang bisa kita rasakan dalam keseharian saat itu bisa kita lakukan. Cara Ustadz membawakan kajian nggak bikin gue merasa dituding-tuding. Dan itu membuat gue anteng ikut sampai selesai.

Itu semua melengkapi pemahaman gue bahwa setiap dalil dan ayat harus dicerna sesuai dengan konteksnya (yang diajarkan beberapa guru waktu di SMA), dan dosa bukan tentang tuduh menuduh tapi tentang kesadaran pribadi.

Walaupun ada dalil tentang dosa, tapi jika hati tidak merasa terganggu dengannya, maka itu bukan dosa menurut si pribadi tersebut. Which explains misalnya kenapa seorang bergelar Haji, bahkan Habib atau Ustadz sekalipun – nggak ada hubungannya dengan politik, gue bicara tentang kejadian di masyarakat yang pada kenyataannya, memang ada kok yang gelarnya agamis, bisa dengan enteng membohongi orang. Ya kalau hatinya nggak terganggu, buat dia nggak dosa. Titik.

Apakah itu menjadikan perilakunya benar?. Ya tentu tidak. Tapi, itu juga murni jadi urusan tiap pribadi dengan Allah.

Percuma mau diteriak-teriakkan sekeras apapun di kuping orang itu bahwa dia telah melakukan perbuatan jahat, kalau hatinya tidak merasa itu jahat. Dan karena hati adalah tempat bersemayamnya Allah, maka jika hati kita biarkan menerima hal-hal yang salah, kita mengotori tempat bersemayamnya Allah. RumahNya di dalam diri kita. Wayolo. Tanggung jawab deh sana.

--

Setelah ikut kajian, apa lalu gue jadi alim super duper baik hati?. Ya nggak juga. Tapi gue jadi lebih sadar untuk nggak melulu mikir gue dosa ini dosa itu, tapi gue lebih mikir harus apakah supaya hati ini tidak lalu tertumpuk dengan barang-barang kotor, karena gue menikmati kehadiranNya di hati.

Salah satu yang gue belajar lakukan setelah ikut kajian itu, walaupun sholat lima waktu gue tetap saja sih suka blangbonteng, sesekali gue sholat tahajud. Hening. Mendengarkan hati dan suaraNya. Gue menikmati dialog-dialog denganNya. Saat gue merasa Allah hadir. Kadang gue merasa seperti diselimuti cahaya putih terang benderang yang bikin gue merasa nyaman dan aman. Dan pelan-pelan, gue jadi lebih sensitif terhadap isyarat semesta yang gue yakin Dia kirimkan setiap saat untuk menjaga gue.   

Itu semua pengalaman batin yang gue nggak pernah alami sebelumnya. Pengalaman yang membuat gue yakin bahwa: Allah sebetulnya tidak peduli berapa banyak dosa dan kesalahan yang kita buat, tapi Dia peduli pada bagaimana kita berusaha terus membenahi diri. Itulah kelembutan dan kasih sayangNya pada tiap manusia.

Naaah menjaga hati tetap bersih kan syusyah ya. Sementara kecenderungannya manusia juga ini: menilai dosa dan kesalahan orang lain. Itu padahal balik lagi harusnya ke diri sendiri, sebelum menuding, tanya dulu: emang hati kita sudah bersih dari semua itu sehingga kita bisa menilai orang lain?. Cuma yaaahhh manusiawi.

Dan guepun, selain pernah melakukannya, ya pastinya pernah kena imbas perilaku manusiawi tersebut.

(Bersambung) 















No comments:

Post a Comment

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts