Bertahun kemudian, setelah Papa meninggal, Mama ikut sebuah pengajian.
Gue nganterin beliau tiap Sabtu pagi, terus gue nyalon di deket situ, abis itu gue jemput lagi. Sebetulnya berkali-kali Mama berusaha banget merayu supaya gue nggak cuma anter jemput tapi ikut ke kajian, tapi gue selalu bilang nggak tertarik.
Gue yakin sih Mama nggak akan ikut pengajian yang modelnya seperti pengajian yang bikin gue alergi jaman kuliah. Cuma waktu itu ya memang nggak tertarik aja gue.
Tapi akhirnya ada satu hal yang bikin gue penasaran. Mama selalu bicara tentang ajaran sufi setiap kali selesai pengajian. Dan ada beberapa hal yang beliau ceritakan, yang intinya adalah betapa indahnya ajaran sufi.
Dan, akhirnya, guepun tergoda cari kajian tentang itu.
One fine day, pulang kerja gue lewat kompleks sekolah gue dulu, Al-Azhar. Dulu gue masih nyetir sendiri, dan kebetulan pas lampu bernyala merah di Jln. Sisingamangaraja, posisi mobil pas di depan gerbang Al-Azhar.
Di dekat gerbang, ada spanduk kajian Sufistik tentang Sholat. Salah satu pengajarnya adalah Ustadz di tempat Mama ngaji juga. Dan gue pernah sekali ngobrol dengan Ustadz itu waktu jemput Mama. Sejujurnya sih gue suka karena dia ganteng. Hahahaha…
Ya ketebak toh: gue ikut pengajian itu. Dua alasan: topiknya, dan Ustadznya ganteng (gue pernah baca cerita kalau Rasulullah SAW diceritakan sebagai sosok yang tampan. Allah tahu banget bahwa tampilan fisik itu penting buat narik perhatian. Itu kan manusiawi banget!. Maha Besar Allah…).
Jadilah untuk 4 minggu berikutnya, pulang kantor 2 kali seminggu gue ke Al-Azhar Pusat ikut kajian itu. And I really liked what I learned.
Salah
satu intinya adalah: betul bahwa sholat itu adalah kewajiban dan dosa jika
ditinggalkan. Tapi jika melakukan sholat hanya karena takut berdosa, maka
sholat itu tidak akan menyisakan apa-apa buat jiwa kita karena yang bergerak
hanya badan. Maka, yang lebih penting adalah hati kita ikut sholat.
Maksudnya
hati yang sholat tuh gimana?. Dengan penuh kesadaran, kita hadirkan hati di
setiap sholat kita, dan kita isi hati dengan Allah didalamnya. Weleh, gimana
pula itu ye kan?. Dan di kajian itu diajarkan beberapa cara menghadirkan Allah
di dalam hati.
Diajarkan
pula pentingnya mempertahankan kehadiran Allah di dalam diri.
Gue inget
sang Ustadz cerita betapa seringnya kita bilang bahwa Allah ada di langit
sambil nunjuk ke atas. Padahal, Allah ada dimana-mana, di sekitar kita. Pertanyaannya
adalah: apakah kita akan ijinkan Allah masuk ke dalam hati, atau nggak.
KehadiranNya kita jaga atau nggak di setiap langkah kita, setiap nafas, setiap
detik. Kita biarkan nggak Allah betul-betul menjaga kita, di dalam diri kita. Dan
sebaliknya, kita jaga nggak hati kita supaya bersih sebagai ‘rumah’ tempat
Allah akan singgah. Sadar nggak kita apa yang ada di dalam hati, apakah kita
sudah memantaskan hati kita untuk disinggahi.
Dan saat itu
semua sudah kita jawab dan lakukan, maka itulah yang akan menjauhkan kita dari melakukan
hal-hal yang tergolong dosa.
I found
that logic hit my head and heart at the same time. Penjelasan yang sangat logis
tapi juga punya makna emosional yang dalam.
Dan nggak
ada sekalipun dalam kajian itu membahas ini boleh itu nggak boleh. Dalil ini begitu
dalil ono begono. None of those. Yang diutarakan selalu tentang bagaimana caranya
membenahi hati, kenapa itu penting, dan nikmat macam apa yang bisa kita rasakan
dalam keseharian saat itu bisa kita lakukan. Cara Ustadz membawakan kajian nggak
bikin gue merasa dituding-tuding. Dan itu membuat gue anteng ikut sampai
selesai.
Itu semua
melengkapi pemahaman gue bahwa setiap dalil dan ayat harus dicerna sesuai
dengan konteksnya (yang diajarkan beberapa guru waktu di SMA), dan dosa bukan
tentang tuduh menuduh tapi tentang kesadaran pribadi.
Walaupun ada
dalil tentang dosa, tapi jika hati tidak merasa terganggu dengannya, maka itu bukan
dosa menurut si pribadi tersebut. Which explains misalnya kenapa seorang
bergelar Haji, bahkan Habib atau Ustadz sekalipun – nggak ada hubungannya
dengan politik, gue bicara tentang kejadian di masyarakat yang pada
kenyataannya, memang ada kok yang gelarnya agamis, bisa dengan enteng
membohongi orang. Ya kalau hatinya nggak terganggu, buat dia nggak dosa. Titik.
Apakah itu
menjadikan perilakunya benar?. Ya tentu tidak. Tapi, itu juga murni jadi urusan
tiap pribadi dengan Allah.
Percuma mau
diteriak-teriakkan sekeras apapun di kuping orang itu bahwa dia telah melakukan
perbuatan jahat, kalau hatinya tidak merasa itu jahat. Dan karena hati adalah
tempat bersemayamnya Allah, maka jika hati kita biarkan menerima hal-hal yang salah,
kita mengotori tempat bersemayamnya Allah. RumahNya di dalam diri kita. Wayolo.
Tanggung jawab deh sana.
--
Setelah
ikut kajian, apa lalu gue jadi alim super duper baik hati?. Ya nggak juga. Tapi
gue jadi lebih sadar untuk nggak melulu mikir gue dosa ini dosa itu, tapi gue
lebih mikir harus apakah supaya hati ini tidak lalu tertumpuk dengan
barang-barang kotor, karena gue menikmati kehadiranNya di hati.
Salah
satu yang gue belajar lakukan setelah ikut kajian itu, walaupun sholat lima
waktu gue tetap saja sih suka blangbonteng, sesekali gue sholat tahajud. Hening.
Mendengarkan hati dan suaraNya. Gue menikmati dialog-dialog denganNya. Saat gue
merasa Allah hadir. Kadang gue merasa seperti diselimuti cahaya putih terang
benderang yang bikin gue merasa nyaman dan aman. Dan pelan-pelan, gue jadi
lebih sensitif terhadap isyarat semesta yang gue yakin Dia kirimkan setiap saat
untuk menjaga gue.
Itu semua
pengalaman batin yang gue nggak pernah alami sebelumnya. Pengalaman yang membuat
gue yakin bahwa: Allah sebetulnya tidak peduli berapa banyak dosa dan kesalahan
yang kita buat, tapi Dia peduli pada bagaimana kita berusaha terus membenahi
diri. Itulah kelembutan dan kasih sayangNya pada tiap manusia.
Naaah menjaga
hati tetap bersih kan syusyah ya. Sementara kecenderungannya manusia juga ini:
menilai dosa dan kesalahan orang lain. Itu padahal balik lagi harusnya ke diri
sendiri, sebelum menuding, tanya dulu: emang hati kita sudah bersih dari semua
itu sehingga kita bisa menilai orang lain?. Cuma yaaahhh manusiawi.
Dan guepun,
selain pernah melakukannya, ya pastinya pernah kena imbas perilaku manusiawi
tersebut.
(Bersambung)
|
||||
No comments:
Post a Comment