Friday, May 25, 2018

PR baru



Beberapa waktu lalu gue pernah terlibat di studi yang ngecek alat edukasi untuk ningkatin awareness remaja bahwa pernikahan dini itu dampaknya panjang. Bahwa pursuing education is still their best bet, baru setelah itu, silahkan memikirkan pernikahan.

Gara-gara studi itu juga gue kan jadi denger ya cerita mereka dan juga para ortu dan pengajar di daerah itu tentang kenapa sih pernikahan dini sering dilakukan di daerah itu.

Alasannya beragam, dari tekanan ekonomi sampai takut anaknya nanti berzina.

Lalu gue bingung juga. Ini daerah miskin. Para ortu ini pasti ngalamin beratnya hidup kan ya. Pasti ngalamin apa rasanya jadi perempuan yang pendidikannya terbatas, tiba-tiba harus ikut menghidupi rumah tangga dengan anak yang bererot karena uang dari suami nggak cukup (dan kenapa juga sih gak KB. Aduh ampun....njelimet kalik lah).

Lah terus, ngapa gitu masih mikir menikahkan anaknya cepet-cepet itu adalah solusi?. Kok gue lihatnya, maaf ya, ini jahat. Menurut ngana mereka bisa apa saat menghadapi kesulitan dalam pernikahan?. Not to mention pertaruhan nyawa saat melahirkan anak di usia dini. Udahlah, kepala gue sakit mikirnya...

Sementara cerita di urban, beda lagi. Terutama perempuan, yang udah berumur 25 tahun apalagi lebih, dan masih single, pasti sering ditanya, “Kapan nikah?”. By the way, jombloers, siap-siap. Bentar lagi musim halal bihalal. Udah punya jawaban belom?.

Dan gue juga lihat di sisi lain, ada gejala banyak juga di urban yang menikah sesegera mungkin setelah lulus kuliah (atau pas masih kuliah). Itu adalah sesuatu yang ada di checklist (macam gue bikin checklist belanjaan. Atau kerjaan yang harus dikelarin sebelum jam 5 sore).

Gue gak tahu juga alasan sebenarnya apa. Tapi yang pernah gue denger sendiri adalah ini: biar nanti kalau anaknya udah gede dia juga masih cantik. Atau bisa jadi mahmud yang masih bisa tampil walaupun udah punya anak.

Itu dikemukakan dengan raut muka serius, by the way. Dan mungkin gue yang udah terlalu tua dan emang udah ngalamin generation gap dengan generasi ini, di kepala gue langsung, “Seriously?. Really?. Are these girls mad or was that really seriously an expectation of life?”.

Nah, kemaren gue baca tulisan ini https://linimasa.com/2018/05/24/biru-yang-membilu/. Tentang mempertahankan pernikahan.

Di tulisan itu, ada cerita ini:

Seorang teman yang sudah menikah cukup lama, pernah berujar seperti ini saat kami bertemu:
I still don’t get it, kenapa orang-orang kita, terutama keluarga besar, suka sekali menyuruh orang untuk menikah. Tapi nggak ada sama sekali satu pun dari mereka yang pernah bilang bahwa mempertahankan pernikahan itu beratnya luar biasa! Nggak ada sama sekali yang pernah kasih tips how to survive marriage and keep it last, bisanya cuman nyuruh doang. Kesel kan gue?! Apa jangan-jangan mereka cari temen seperjuangan yang sama-sama menderita ya? Jadi pas tau kita struggle to keep the marriage afloat, jangan-jangan mereka teriak dalam hati, “Welcome to the club!””

Gue nyengir baca bagian itu. Karena dulu gue juga sering mikir gitu tuuuuh.

Gue masih asik-asik aja dengan diri gue sendiri sampai lulus S2. Lalu balik ke tanah air, kerja. Dan ya emang gue yang mau kalo sampe umur 29 gue belom juga nikah?. Iya sih dalam hati selalu ada pertanyaan: elo udah kelar beloom sama kemauan loe?. Tapi ada satu lagi: belom kunjung dipertemukan sama yang bisa bikin gue yakin bahwa tantangan apapun dalam pernikahan, gue bisa jalanin nih sama orang ini. Jadi yaaa…udah lah ya.. Mau bilang apa kan?.

Nah dalam masa-masa itu dulu ada aja entah tante atau sepupu yang bilang, “Apa lagi sih yang ditunggu. Kapan mau nikah?”. Dan berbagai versi lainnya tapi ya miriplah ujungnya.

Dalam hati gue suka membatin: elo lagi cari temen susah ya?. Lah kehidupan elo contoh tuh buat gue betapa susahnya nikah apalagi sama orang yang salah!, malah nyuruh-nyuruh gue nikah (dan yang paling bikin gue manyun kalo ada embel-embel demikian: gak usah pilih-pilih tebu banget lah…et dah…elus dada aja deh dulu). Sopo sing gendheng. Tapi yaaaa itu cuma tersebut di hati, gak pernah gue keluarin. Segila-gilanya Riri, gue masih cukup waras buat ngejaga nama emak gue di keluarga.

Tapi ya bener banget itu kan, kenapa sih masyarakat kita demen banget ya mikir nikah secepatnya itu baik. Yang ngejalanin juga bukan dia, lho.

Dan baca that specific part of the article, gue juga jadi mikir: berapa banyak sebetulnya mereka yang berpikir, dan sadar sesadar-sadarnya, bahwa pernikahan itu adalah tantangan, dan pekerjaan baru lho!, sebelum mereka mutusin akan menikah. It’s not a walk in the park. Urusannya panjang pake banget. A walk in the park aja gak semudah kelihatannya, lah kalo tahu-tahu keinjek pup anjing, emang enak? (opo sih Riii....).

Jadi setelah baca itu, gue tersadar ada dua hal yang harusnya kita sadari. Pertama, udah deh berhenti nanya-nanya para jombloers kapan nikah. Siapa tahu mereka amat sangat waras, ngerti tantangannya apa and hence pengen yakin seyakin-yakinnya bahwa orang yang dipilih adalah yang bisa diajak susah bareng. We never know their struggle inside lho. 

Dan gue juga pernah baca ini: it's better being single than being with the wrong person. Nah. Tuh. 

Dan kedua, we have to educate our children dengan narasi bahwa menikah dan semua ‘transaksi’ yang ada di antara kedua orang yang menikah itu gak mudah dijalani. Butuh kedewasaan emosional. Butuh kepala dingin. Butuh kelegaan hati. Dan butuh kompromi disana sini. 

Dan bahwa ngebayangin yang susah-susah dulu itu pentiiiing bingits. Bikin skenario dan diomongin berdua itu penting. Mau sampe berantem ya malah bagus (haha...ups...ketahuan deh gue dulu gimana), karena kan jadi tahu ini orang gimana kalo harus ngadepin yang gak asik gak asik. 

Berhentilah creating stories in your head, and others’, bahwa it’s gonna be happy ever after. Kecuali kalo elo hidup di dalam sebuah buku cerita.

Tulisan itu menyadarkan gue, bahwa itu adalah PR kita sebagai orang tua.

Ih. Makin banyak aja ya PR.

Selamat hari Jumat. Gak usah mikirin PR dulu kali ya. Besok weekend. 

This is NOT a fairy tale. At least, not to me...

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts