Monday, May 25, 2009

"Jadi ingat kenapa dulu aku menikahi kamu"

Itu penggalan kecil dari pesan yang lumayan panjang di telepon genggam saya, dari suami tercinta, di sebuah siang bolong, saat kepala saya sedang lelah-lelahnya berpikir. Tentunya pesan itu made my day very much. Lucunya, tak lama setelah itu, ada pesan lanjutan yang bunyinya, ”Jangan salah sangka ya, bukannya aku pernah lupa, tapi aku baru lihat sesuatu yang mengingatkanku lagi”.

Saya tidak pernah terlalu memikirkan apakah Cip akan selalu ingat dengan alasannya menikahi saya, atau tidak. Fakta bahwa dia dengan setia mendukung setiap langkah saya dan membiarkan saya menjadi diri saya sendiri, itu sudah lebih dari cukup. Dan buat saya, lupa itu manusiawi, seperti halnya lapar, haus, lelah dan sebagainya. Jadi kalaupun satu saat dia lupa, saya juga tidak akan marah. Tapi kedua pesan tersebut membuat saya sempat berpikir, apa iya, bahwa satu saat kita bisa melupakan alasan kita mencintai seseorang? Lupa kenapa kita di suatu hari memutuskan untuk menikah dan menghabiskan jam demi jam, selama bertahun-tahun dengan orang yang sama.

Saya jadi berpikir apa ya hal-hal yang demikian hebat, yang dapat membuat sepasang kekasih, atau salah satunya, lupa kenapa mereka memilih untuk berdiri bersama menantang hidup, dan bukannya sendirian saja?.

Baru-baru ini seorang sahabat bercerita tentang keprihatinannya. Betapa banyak temannya yang sudah menikah – sebagian besar baru menikah dengan hitungan tahun yang masih satu angka – tapi mereka begitu tidak bahagia. Sahabat saya ini kebetulan belum menikah. Cerita teman-temannya membuat dia merasa, bahwa memang ada benarnya Tuhan belum mempertemukan dia dengan sang jodoh, karena rasanya, dia tidak akan sanggup menghadapi segala tantangan pernikahan.

Dia berceritalah tentang temannya yang merasa sudah ’berkorban’ untuk pernikahan itu dengan menghanguskan mimpinya demi mengikuti keinginan sang suami. Adalagi yang merasa jadi orang asing dalam pernikahan – dan mengatakan pada sahabat saya bahwa merasa sendirian pada saat single, jauh lebih baik daripada merasa sendirian dalam pernikahan (saya merinding mendengar yang satu ini – tragis). Adapula yang memilih berpisah – karena merasa tidak punya kesamaan lagi untuk dipertahankan.

Saya tidak tahu apakah mereka pernah berusaha mengingat-ingat kembali kenapa mereka menikahi pasangan mereka. Tapi gara-gara sepenggal pesan dari suami saya itu, saya jadi terpikir bahwa memang ada gunanya kita sekali-sekali walk down the memory lane. Paling tidak, itu akan membuat kita tersadar akan hal-hal kecil yang kita cintai dari pasangan kita, dan mungkin bisa membantu kita melupakan segala hal yang mengesalkan. Daripada kita berlarut-larut mengasihani diri sendiri yang sudah kehilangan mimpi pribadi, atau mencaci maki nasib yang tidak sesuai dengan harapan, apa tidak lebih baik kita ingat-ingat apa yang dulu membuat kita mengatakan, ”Iya, saya mau menikah denganmu”.

Kalau saya meminjam kata-kata dari Hercule Poirot, detektif luar biasa yang jadi favorit saya: “…with the passage of time, the mind retains a hold of the essentials and rejects superficial matters”. Mungkin kita sudah melupakan segala rayuan gombal pada saat PDKT, mungkin kita juga sudah melupakan saat-saat kita bertengkar di jaman pacaran, bahkan mungkin kita sudah melupakan film-film yang pernah kita tonton bersama-sama sambil makan popcorn berdua atau berpegangan tangan seolah ada lem maha lengket di antara tangan kita. Tapi memaknai kata-kata Poirot, harusnya, pikiran dan hati kita digunakan untuk menyimpan jejak-jejak ingatan yang paling esensial, dan membuang semua ‘sampah’ yang tidak penting. Dan rasanya tidak mungkin bahwa yang esensial itu adalah hal-hal yang buruk. Kalau itu adalah hal-hal yang buruk, mana mungkin kita memutuskan menikahi pasangan kita, dulu? Itu logika naif saya.

Untuk suami saya, memori itu mengambil bentuk sebuah foto. Buat saya, ada jejak-jejak ingatan tentang kami, banyak diantaranya kuat menancap. Ada kenangan tentang kepenatan berbelanja pernak pernik seserahan dan membuat kami bersumpah anak kami tidak akan kami buat susah dengan tradisi, atau kenangan tentang jadi turis miskin mengelana di sebagian Eropa Barat, atau kenangan tentang Ciptadi mengajak anak kami berjalan-jalan di taman Suropati saat saya sedang bermil-mil jauhnya dari Jakarta. Ada segudang SMS dari Cip saat saya hamil dan ia tidak di sisi saya, dan banyak lagi. Nah, bagaimana dengan teman-teman?. Mungkin ada gunanya teman-teman membongkar kembali album foto, atau potongan-potongan surat cinta, atau sekedar memejamkan mata dan membiarkan pikiran menerawang ke masa lalu. Asal kemudian tidak dibiarkan liar mengingat hal-hal yang harusnya dilupakan. Jangan-jangan teman-teman akan menemukan kejutan di sel-sel kelabu itu, seperti ketika Ciptadi menemukan kejutannya waktu membongkar lemari foto kami.

Hari itu, saya menanyakan ke Cip, foto yang ia lihat itu mengingatkannya pada apa. Jawaban yang ia berikan, masih via SMS, membuat saya meleleh…
“That u r irresistible. Ada foto kamu yg luar biasa bgt showing ur quality. I wonder knp dulu aku gak punya saingan. Dos guys were really blind n stupid…hehe..."

Apapun itu, yuk kita saling mengingatkan pasangan tentang apa yang membuat kita bersedia melangkah bersama. Dan sebuah pesan singkat di siang bolong, rasanya selalu bisa membuat siapa saja tersenyum di tengah kepenatan, dan membuat rasa cinta itu selalu hidup.


(ditulis tanggal 19 Februari 2009, saat saya menikmati malam yang sepi dan tersenyum-senyum sendiri melihat-lihat lagi semua SMS yang pernah Ciptadi kirimkan pada saya. I love this man…. Dan sekarang, hal-hal sederhana seperti torehan pada pasir pantai Tamban Indah, Malang, ini jadi bagian jejak ingatan saya tentang Ciptadi - a loving father to our daughter)

(RIRI)

No comments:

Post a Comment

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts