Wednesday, August 26, 2020

B O H O N G

Siapa yang tidak pernah bohong pada orang tua?.

Bohong tentang apa?.

Ya tentang berbagai hal. Dari hal kecil semisal harusnya belajar tapi malah main, sampai bohong soal uang misalnya.

Saya ya jelas sering bohong. Lha wong ndablek sejak kecil mana mungkin saya suci dari hal yang demikian.

Dari perkara harusnya belajar bareng teman, malah ngobrol. Ngakunya teman, padahal pacaran. Ngakunya mengerjakan tugas kelompok, malah jalan-jalan. Ah banyak lah.

Perkara uangpun, ya pernah. Dan ada satu kejadian yang jumlahnya lumayan besar.

--

Saya baru punya SIM waktu sudah kuliah semester 2. Lha wong memang waktu itulah umur saya baru cukup buat ambil SIM. Dan saya lupa di semester berapa, almarhum ayah saya membelikan mobil bekas.

Mobil itu jarang saya pakai kuliah. Alasannya satu: saya harus bayar bensin sendiri kalau mau pakai mobil tiap hari. Minta? – wuidih, cuma dilirik thoooookkk.

Uang saku saya saat itu, tahun 90 awal, Rp 150.000 dan harus cukup dalam sebulan. Itu juga bukan dari orang tua. Uang itu jatah bulanan dari Bank Indonesia, tempat kerja ibu saya waktu itu, bagi anak pegawai yang harus saya pertahankan dengan nyetor nilai IPK minimal 3 tiap semester.

Uang saku sejumlah itu lumayan cukup buat ongkos dan makan saya tiap hari di kampus. Tidak ada tambahan lagi dari orang tua kecuali kalau untuk beli buku. Yaaa kadang megap-megap juga sih, tapi untungnya, di fakultas Psikologi selalu saja ada yang bisa dikerjakan dari kakak-kakak kelas buat sekedar uang jajan.

Tapi kalau untuk uang bensin, tidak cukup layaw.

Jadi buat apa dong dibelikan mobil?.

Buat antar jemput ibu saya ke dan dari kantor. Buat antar ibu saya ke dan dari pasar setiap hari Minggu. Cerdas memang almarhum ayah saya. Buat beliau yang waktu itu sudah pensiun, memang terbayang sih malasnya harus bangun pagi-pagi, antar istri ke kantor, nanti jemput lagi sore-sore dengan Jakarta yang waktu itu sudah lumayan macet.

Saya sih senang-senang saja dilimpahi tugas itu. Karena, mengantar jemput ibu saya artinya adalah bensin diisi oleh beliau, full tank. Naaahhhh di antara waktu antar jemput, kan saya bisa pakai mobil itu. Jadi kalau sudah diisi full tank, biasanya saya sesekali pakai ke kampus apalagi kalau saya tahu pulangnya akan sore. Sekalian jemput dulu ibu saya di kantornya di Jalan Thamrin sana. Ceritanya anak berbakti (padahal mah akalnya bulus banget).

Singkat cerita, tibalah masa dimana saya membuat skripsi.

Sebelum ujian sarjana, skripsi harus difotokopi 10 kali. Dan waktu itu, kebetulan skripsi saya nyaris setebal Yellow Pages (yang sudah tidak tahu apakah benda ini, silakan cari di Google), dengan pendamping data yang tebalnya 2cm.



(Yang kiri skripsinya, kanan data pendukung. Entah apa yang merasukiku dulu kok ya bisa menulis skripsi setebal itu...)

Di saat yang sama, mobil kecil itu bannya sudah gundul. Sebetulnya saya waktu itu sudah kerja paruh waktu di sebuah tempat kursus Bahasa Inggris, dengan gaji bulanan yang lumayan jumlahnya. Saya sebetulnya bisa mengganti ban tersebut dengan uang saya sendiri, tapi entah kenapa, saya malah cari akal bagaimana caranya supaya ban itu diganti menggunakan uang ayah saya.

Minta? – jelas beliau tidak akan kasih. Pelit?. Tergantung darimana melihatnya. Saya yakin kalau ayah saya sebetulnya sedang mengajarkan nilai barang, dan bagaimana sulitnya memelihara sesuatu. Dan bahwa semua butuh biaya jadi sebaiknya kalau punya uang jangan dibelanjakan seenaknya. “Kalau mau pake uang tu mikir dulu”, begitu beliau dulu sering katakan pada kami.

Lagipula saya tahu jawaban beliau apa kalau saya minta, “Lho kamu kan udah kerja, beli sendiri dong”. Apalagi karena saya memang jadi sering harus mondar mandir ke kampus, lalu mengajar, lalu jemput ibu saya, ya memang saya jadi sering pakai mobil itu.

Tapi pokoknya waktu itu saya memang sedang ingin dibayari. Mungkin separuhnya karena saya merasa selama saya kuliah 6 tahun, 2 tahun terakhirnya saya tidak pernah meminta uang termasuk uang buku karena saya sudah punya gaji bulanan. Saya sudah bayar bensin sendiri. Pengerjaan skripsi termasuk semua biaya yang ada di dalamnya, saya tanggung sendiri. Beliau hanya bayar uang kuliah saya saja yang waktu itu cuma Rp 180.000 per semester.

Jadi fair, dong, kalau saya ingin beliau yang belikan ban baru. Tapi bagaimana cara memintanya tanpa ditolak ya.

Pilihan saya jatuh pada, berbohong.

Saya tunjukkan pada beliau skripsi saya yang tebal itu dan lampiran data yang juga tebal, dan saya bilang kalau saya harus fotokopi keduanya sebanyak 10 kali, dan skripsi harus hard cover (padahal sih tidak perlu). Dan untuk itu semua, saya butuh Rp 2.000.000.

Ayah saya, walaupun dengan sedikit mengerenyitkan dahi, memberikan saya uang yang saya minta (ya kan mintanya dengan tampang memelas tentunya….susaaaahhh banget gitu kayaknya).

Sebelum itu saya sudah mencari tempat fotokopi yang murah tapi bagus di daerah Depok, dan juga cek harga ban baru. Fotokopi kedua dokumen itu, sudah dengan hardcover untuk skripsinya saja, butuh Rp 800.000. Harga 4 ban baru, Rp 2.000.000.

Lho, tekor dong?. Hehehe….that’s not the point. Pokoknya waktu itu saya puas bisa beli 4 ban baru dengan uang dari ayah saya. Skripsi? – ya saya fotokopi dengan uang saya sendiri laaah. Wong gaji bulanan saya waktu itu lebih besar kok dari uang untuk fotokopi itu. Hehe…

Ngeselin?.

Well. Saya ceritakan itu semua pada ibu saya.

Di hari ban yang baru telah terpasang, saya jemput ibu saya ke kantor beliau, saya tunjukkan ban itu, dan saya ceritakan semuanya.

Reaksi beliau? – ngakak!. Padahal saya sudah takut dimarahi, dianggap anak tak tahu diri. Eh beliau malah siap bilang ban itu diganti oleh beliau, kalau ayah saya tanya-tanya. Padahal bukan itu maksud saya cerita pada beliau. Saya hanya ingin cerita saja, entah kenapa. Mungkin sebetulnya ingin mengurangi rasa bersalah. Dan, takut ndak lulus ujian sarjana karena kualat. Paling tidak kan saya jujur pada salah satu orang tua saya, walaupun tetap saja ayah saya tidak tahu kalau saya bohongi.

Entah karena jujur pada ibu saya, atau memang karena kebetulan penguji skripsi saya sudah kadung kagum sejak saya berikan skripsi saya yang nyaris setebal Yellow Pages itu, saya bisa lulus sarjana dengan nilai nyaris sempurna kalau saja tidak pernah dapat nilai D.

Sampai ayah saya meninggal, rahasia itu tersimpan rapi di antara saya dan ibu. Saya tidak tahu apakah kalau saya cerita, beliau akan memaafkan saya atau tidak. Yang jelas, sekarang kalau saya lihat skripsi yang ada di salah satu rak buku di rumah kami, saya kok ya malah ketawa. Parah yo.

--

Saya jadi bernostalgia tentang ini gara-gara tadi siang melihat postingan bapak Sutrisna Wibawa, Rektor UNY, tentang mahasiswa yang membohongi orang tuanya tentang biaya kuliah.



Apapun alasannya, harus diakui itu salah jika orang tua kita memang harus susah payah membiayai kita menempuh pendidikan yang layak. Mereka, pasti ingin hidup kita lebih baik, makanya banting tulang cari uang. Lha kok malah dibohongi.

Saya tidak bilang kelakuan saya dulu membohongi ayah saya benar hanya karena orang tua saya kebetulan bukan orang susah. Tetap saja sih, salah. Tapi saya tidak makin membuat hidup mereka susah karena saya tidak membuat ayah saya misalnya jadi usaha keraaasss untuk mengeluarkan uang itu. Justru karena saya tahu beliau punya uang, saya berani sebandel itu.

Tapi kalau untuk hidup sehari-hari saja sudah sulit, ditambah harus mencari uang sekuat tenaga demi membiayai sekolah kita, lalu malah dibohongi, lha njuk piye.

Kalau masih jadi mahasiswa saja sudah mental maling, mau jadi apa negeri ini kelak?. Bohong ya boleh, silakan, lha wong dosanya ditanggung sendiri kok. Tapi ya kalau pada orang tua sendiri ya bohongnya mbok pakai perasaan juga gitu lhooo. Dikira-kira. Gemes akutu.

Saya yakin satu hari nanti, anak-anak saya pasti berbohong juga pada kami. Atau ya mungkin malah sudah. Tapi saya berharap apapun kebohongan mereka kelak, itu bukan sesuatu yang massif, yang dilakukan karena kecacatan karakter, tapi semata karena keusilan berpikir anak terhadap orang tuanya. Karena kalau yang terakhir saya yakin, semua anak pernah melakukannya.

Kalau sudah membohongi institusi, lalu membohongi orang tua, secara tidak sadar itu memelihara bibit korupsi. Koruptor terbaik, adalah mereka yang tidak punya hati, bahkan terhadap orang tuanya sendiri. Dan membaca postingan bapak Sutrisna tadi siang, saya takut bibit-bibit itu sedang tumbuh subur. Semoga saja saya salah.

Tapi lalu masuk pesan WA dari kakak saya yang cerita ada temannya yang bekerja di UI mengelola dana untuk mahasiswa yang tidak mampu. Membaca ceritanya, kok ya saya sepertinya harus mengelola harapan saya.

Ah. Negeriku. Banyak sekali kepedihan yang harus kau tanggung.


No comments:

Post a Comment

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts