Wednesday, September 23, 2015

23 September 2015. Perjalanan menuju dasawarsa keduamu....



Hari ini. 11 tahun yang lalu. Nggak bisa tidur semalaman. Harus menghirup oksigen sejak tiba di rumah sakit walaupun nafas baik-baik saja, tapi detak jantung si jabang bayi di dalam sudah tak beraturan. Antara bahagia dan cemas. Will I see my baby alive?. Will she be OK?. Will WE be OK?.

Hari ini. 11 tahun kemudian. Melihat dia tumbuh. Berantem. Berdebat. Menangis saat dia menangis. Ketawa bareng. Bikin banyolan konyol bareng. Nyanyi bareng. Bikin cerita bareng. Ngomel. 

Dan hari ini, tiba-tiba saya sadar dia telah meninggalkan 1 dasawarsa pertamanya sebagai manusia yang dilahirkan di bumi dengan tujuan tertentu. Apa tujuan dia dilahirkan, hanya Allah semata yang tahu dan tugas dia untuk mencari tahu. Dan tugas saya, tugas kami, adalah menemaninya sepanjang perjalanan itu. 

Hari ini (eh sejak kemarin ding...), saya seperti disadarkan akan tugas yang akan menjadi lebih berat: menemaninya di dasawarsa keduanya, masa-masa yang sayapun tahu bukan masa-masa yang mudah saat saya tumbuh dulu. Dan suddenly I realised: I am not equipped for this. 

Kita selalu bilang: kita harus dekat dengan anak, harus bisa jadi 'teman' mereka, harus bisa terbuka. Kita selalu bilang jaman sudah berubah. Kitapun, harus berubah demi menemani anak-anak kita menjalani jaman yang makin tak beraturan. 

Well, hello, we are not equipped for that!. I was not brought up that way, so how am I supposed to know how to be like that?. 

Banyaaaak sekali saat-saat yang saya sesali. Saat-saat dimana tanpa saya sengaja (ataupun mungkin, sebetulnya secara sadar....), saya membentak dia. Saat-saat dimana saya sebetulnya ingin bilang, “Please Tara, don’t argue with me, please, not this time, just listen to me and shut up”. Saat-saat dimana dia menangis karena kami bertengkar. Saat-saat yang lalu membuat hati saya sakit. Yang membuat saya memeluknya dan meminta maaf. Tapi saat-saat seperti itu selalu terjadi dan terjadi lagi bagaimanapun kuatnya saya berusaha melawan untuk tidak melakukannya. 

Jadi orang tua memang tidak ada sekolahnya. Iya, saya tahu itu. Karena itu saya menundanya sampai 30 tahun lebih. Karena saya takut. Saya takut tidak bisa jadi orang tua yang baik bagi anak-anak saya. Saya tahu watak saya, dan saya tidak yakin apakah dengan watak dan kepribadian saya, anak-anak saya akan jadi orang-orang yang lebih baik dibanding saya sekarang. 

Dibesarkan di jaman dimana kata orang tua adalah sesuatu yang tidak bisa dilawan, tiba-tiba saya jadi gagap. Saya gagap untuk memulai diskusi dengan anak saya yang beranjak remaja ini. Yang kadang moody-nya melebihi saya kalau sedang PMS. Yang punya kepala sekeras batu tapi sangat cepat bilang, “Aku nggak bisa”, yang sering bikin darah saya spontan naik ke kepala. Yang sangat takut gagal no matter seberapa seringnyapun kami bilang, “It’s OK to fail, that’s how you’ll learn so much”. 

Sangat ingin saya memulai perbincangan panjang dengannya tentang menjadi perempuan, perempuan yang kuat dan bisa menjadi pilar kelak. Bukan karena saya menganggap laki-laki tidak penting, tapi karena perempuan juga harus bisa berdiri tegak, setegak dan setegap laki-laki.  Tapi saya tidak tahu bagaimana cara memulainya. Jaman sudah berubah. Apa yang menurut saya tegar, mungkin bagi dia tidak. Saya tidak tahu... It’s a topsy turvy world and I think so many things have changed, that I don’t even know how to understand them myself. 

Sejak kemarin, saya tersentak. 9 tahun ke depan mungkin akan jadi masa-masa yang sulit buat kami berdua. Sulit untuk saya menerima perubahannya menjadi perempuan yang beranjak remaja, lalu dewasa. Dan mungkin juga sulit bagi dia untuk menerima bahwa akan ada banyak hal yang bunda tidak akan ijinkan only because she is scared for her. 

Mungkin akan sulit buat saya untuk menahan diri mengatakan, “Tidak”, atau, “Jangan”, atas nama perubahan – bahwa bagaimanapun juga saya enggan, saya harus membiarkan dia mencoba hal-hal yang mungkin buat saya menakutkan. 

Mungkin saya akan paham kelak, apa perasaan Ibu saya, saat saya bilang saya mau belajar silat padahal beliau ingin saya jadi perempuan yang lebih ‘manis’. Bagaimana ketakutan beliau waktu saya bilang saya mau belajar diving, dan pergi diving 2 – 3 hari tanpa kabar karena belum ada teknologi telepon genggam. Mungkin saya satu saat juga akan sadar betapa sulit untuk Ibu saya melepas saya untuk tinggal di negeri orang, tanpa ada siapapun yang saya kenal. 

Saya mulai paham pelan-pelan apa makna: every generation has its flaws, and those flaws, are only seen by the generation before that. Ibu saya mungkin juga dulu merasakan semua yang saya rasakan sekarang, walaupun beliau juga sering bilang, “Jaman sekarang kelihatannya lebih berat”. 

Oh well. Sekali lagi, hanya doa yang bisa saya panjatkan pada Yang Maha Memberi dan Menolong. Saya telah diijinkan melahirkan seorang bayi perempuan manis 11 tahun lalu. Pasti Allah juga punya segenap amunisi untuk saya asal saya mau meminta dan menunduk di hadapanNya mengakui semua kelemahan saya. 


Happy birthday, my love. Maybe one day you’ll read this and think that your mother is super duper silly willy and a little bit nuts. Maybe one day we’ll fight so hard and you’ll think your mother is just too much. Your mother is just a woman filled with hopes and fears for you, but sometimes she forgets that to fulfill those hopes and to conquer those fears, she will need to face herself first and finish her own battle. 


Writing this while listening to the same song again and again. A song that has a line that I feel encapsulates all that I feel for you, your father, and your sister... 

Hanyalah dirimu mampu membuatku jatuh dan mencinta, kau bukan hanya sekedar indah, kau tak akan terganti...



(R I R  I. Kegalauan ini, hanya Engkau yang mengerti ya Allah...dan hanya padaMu aku berserah diri...)

No comments:

Post a Comment

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts