Tuesday, June 23, 2015

Di bawah naungan masjid



Saya tidak datang dari keluarga yang sangat religius. Ibu saya memang selalu mengingatkan kami untuk berbuat baik pada orang lain, jujur, dan jangan terbuai cara-cara praktis untuk mendapatkan uang karena Allah tidak menyukai cara-cara itu. Tapi terlepas dari itu, orang tua saya tidak pernah sangat menekankan pengajaran agama di rumah. 

Waktu lulus SMP, Mama mendaftarkan saya ke sebuah SMA Islam swasta di Jakarta. Alasan beliau ‘sederhana’ (kalau bisa dikatakan sederhana. Setelah jadi orang tua, saya jadi sadar tidak pernah ada niat yang sederhana dalam mendidik anak): beliau ingin saya (dan kakak saya yang sudah duluan sekolah disitu sejak SMP), mendapat pengajaran agama yang beliau mungkin tidak bisa berikan di rumah. Padahal waktu itu saya sudah diterima tanpa tes di SMAN 8. Saya masih inget banget guru-guru di SMP saya kebakaran jenggot ada yang ‘membuang’ kesempatan itu begitu saja dan sayapun kena marah sampai dipanggil Kepala Sekolah...sampai lalu mereka ketemu ibu saya. Matek kon diceramahi :D

Saya waktu itu sih senang-senang saja karena saya juga tidak terlalu ingin masuk SMA Negeri gara-gara pertimbangan super praktis: saya nggak mau selama kelas 1, masuk siang pulang sore yang artinya saya akan kehilangan kesempatan tidur siang selama setahun!. Saya tahu sih diterima di SMAN 8, tanpa tes pula!, itu bergengsi sekali. Tapi yaaaa buat saya kesempatan tidur siang jauh lebih penting daripada gengsi.

Tapi mau tidak mau saya deg degan juga. Karena dari melihat kakak saya yang waktu itu naik kelas 3 SMA, di SMA Islam ini ada pelajaran Bahasa Arab, yang kabarnya susah pake banget walaupun gurunya katanya juga baik pake banget. Tapi ya seperti biasa, saya dengan kebiasaan ‘lihat aja nanti lah’, melenggang masuk ke SMA ini.

Masa-masa SMA yang indahpun saya lalui. Iya lho indah. Merencanakan kabur bareng. Bikin surat palsu supaya lolos dari satpam yang jaga pintu sekolah. Ngumpet di aula sekolah karena dicari-cari guru. Sampai bikin kebetan untuk ulangan pelajaran Al-Quran yang kebetannya diselipin di Al-Quran (gila ya. Adalah suatu keajaiban dan murah hatinya Allah SWT saya masih hidup sampai detik ini setelah melakukan kejahatan super kayak gitu...astaghfirullah...). Kenangan-kenangan manis yang saya tidak bisa lupa sampai detik ini.

Tapi, begitu saya dewasa (gak mau bilang tua. Karena menurut definisi WHO yang terbaru, usia 18 – 65 tahun itu adalah PEMUDA. Terlepas dari uban yang bertebaran), saya baru sadar ada kenangan manis lain yang muncul pelan-pelan dari alam bawah sadar saya. Kenangan yang lalu menjelma jadi sebuah kerinduan yang hilang timbul.


Jejak ingatan dan kerinduan

SMA ini berada di kompleks salah satu masjid besar di Jakarta Selatan. Dan layaknya berada di lingkungan masjid, selalu ada lantunan merdu orang membaca Al-Quran sebelum azan yang jadi penanda bahwa waktu belajar sudah berakhir dan kami harus ke masjid untuk shalat dzuhur berjamaah sebelum pulang, atau sebelum kegiatan ekskul atau praktikum waktu sudah kelas 3.

Di hari Jumat, ini juga adalah penanda bahwa kami harus ikut ke masjid. Dan buat saya dan teman-teman ‘se-gang’ yang semuanya perempuan, itu juga artinya saat buat cekikikan cerita saat Pak Ustad ceramah. Untung tidak pernah ada ulangan: ceritakan kembali isi ceramah hari Jumat lalu. Bisa nggak lulus SMA saya.

Kami, mau tidak mau, jadi dekat dengan suasana masjid.

Bahkan dengan segala kelakuan kacau kami (atau, saya tepatnya...menurut teman-teman se-gang, saya yang paling ‘free will’ kalau soal beribadah...hehehe...bener banget sih), kami menikmati berada dalam masjid.

Pasti semua umat muslim (atau bahkan yang non-muslim seperti yang beberapa teman non-muslim saya cerita dari pengalaman mereka masuk masjid), merasakan ada ketenangan berada dalam masjid. Masjid buat kami juga adalah tempat yang mengingatkan bahwa bagaimanapun kelakuan kami, tapi panggilan Allah adalah sesuatu yang harus kami jaga teguh (walaupun ya kenyataannya saya juga bukan orang yang shalatnya selalu terjaga. Lebih baik ngaku daripada nggak, kan?).

Dan dengan rumah yang berada dekat sebuah masjid kecil yang jujur saja bahkan sampai sekarang tidak pernah membuat saya simpati pada usaha mereka untuk syiar Islam, untung juga saya pernah sekolah di lingkungan masjid lain yang masih mengingatkan saya pada keindahan Islam dan menjadi muslim. Dan tanpa saya sadari, ada jejak-jejak indah tentang kedamaian masjid dari 3 tahun saya sekolah disitu.


Kedamaian yang mengundang 

Dalam bulan Ramadhan dimana kegiatan masjid dimana-mana jadi semarak, selalu ada kerinduan untuk berada di dalamnya dan bertafakur. Atau bahkan hanya diam mendengarkan gema orang-orang yang berbincang lirih dalam masjid, atau yang membaca Al-Quran dengan suara pelan.

Sayangnya, walaupun saya tinggal dekat masjid, saya tidak pernah bisa mengasosiasikan perasaan damai itu dengan masjid dekat rumah. Dan hasilnya adalah saya tidak pernah bisa melangkahkan kaki saya kesana bahkan di bulan Ramadhan (atau, APALAGI di bulan Ramadhan dimana kebisingan dari pengeras suara jadi makin heboh).

Ingatan dan perasaan saya, selalu kembali ke masjid besar itu. Masjid yang buat saya adalah representasi yang benar dari keindahan dan ketenangan beribadah, keindahan syiar agama tanpa menganggu orang lain, dan kedamaian yang apa adanya.

Untungnya bukan hanya masjid yang dekat bekas sekolah saya itu yang menawarkan kedamaian itu. Saya menemukan masjid-masjid lain yang memberikan hal yang sama. Sayangnya memang tidak dekat dengan rumah. Tapi itu masih lebih baik daripada tidak menemukannya sama sekali.

Semalam saya ajak Tara ke masjid besar lain di kawasan Menteng. Salah satu favorit saya juga karena penceramahnya yang bagus-bagus. Ini pertama kalinya saya ajak Tara ke masjid besar untuk tarawih. Yes, seperti yang sudah saya bilang saya memang ‘free will’ banget soal ibadah. Shalat tarawih, kalau saya ingat (which is jarang banget. Tuh, saya mah mendingan jujur aja kalau ibadah saya emang ngaco), biasanya saya lakukan di rumah saja.

Di perjalanan pulang, saya tanya apakah dia menikmati shalat dan ceramah tadi. Tara menjawab dengan mata berbinar-binar, “Suka banget bunda. Kesini lagi ya besok”.

Saya lalu cerita pada dia kenapa saya ajak dia ke masjid malam ini, dan kenapa sekarang dan bukan beberapa tahun yang lalu misalnya. Saya cerita tentang masjid besar dekat sekolah. Saya bilang pada dia, “Semoga kamu juga bisa ngerasain ketenangan yang bunda rasain kalau ada dalam masjid. Kamu udah mau masuk remaja, kamu udah bisa lihat perbedaan dan bisa ngerti dengan lebih baik. Masjid nggak semuanya seperti yang di belakang rumah” (karena jujur saja saya takut asosiasi Tara semua masjid adalah yang berisik tanpa toleransi karena sejak bayi seperti itulah yang dia hadapi sehari-hari).

Dan benar saja, Tara komentar azan dan suara pak Ustad yang ceramah tadi enak didengar di telinganya. “Merdu dan nggak teriak-teriak”, komentar dia.

Alhamdulillah. Masih ada harapan untuk anak-anak mengenal Islam yang sesungguhnya... Dan masih ada masjid yang menawarkan kerinduan untuk kembali. 

Mungkin kalau saya tidak pernah kenal dengan masjid ini, saya tidak pernah punya kerinduan untuk menemukan kembali kedamaian itu dan mengenalkannya pada anak-anak... Tidak pernah ada kebetulan, selalu ada rencana Allah yang terjalin dalam setiap cerita kehidupan. And for that, I am forever grateful

(R I R I)

No comments:

Post a Comment

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts