Monday, March 23, 2015

Sensor dan Alarm



Saya besar di tahun 70 – 80an. Seperti banyak anak, saya kenal dengan macam-macam jajanan. 

Ada kue cubit, dan pastinya salah satu favorit saya sebetulnya adalah yang setengah matang. Ada martabak mini. Siomay yang bentuknya pipih yang saya yakin sebagian besarnya cuma tepung (kecuali yang dulu saya makan di Gedung Wanita di Jln. Diponegoro, sekarang jadi Gedung Pramuka, yang bisa saya nikmati tiap saya les nari Bali, karena selalu diantar Ibu saya jadi bisa beli yang lebih mahal. Dan ini enaknya luar biasa buat lidah Riri kecil). Es lilin yang dulu masih dibuat dengan ‘perahu’nya itu. Es serut dengan sirup warna warni. Es potong. Permen rokok. Permen asem yang bulat-bulat. Permen telur cicak.  Dan kalau saya lanjutkan daftarnya pasti panjang banget. 

Saya tidak ingat apakah Ibu saya sering melarang saya untuk jajan, seperti yang selalu diakui para ibu-ibu di grup-grup diskusi yang tentunya selalu berlawanan dengan kenyataan. Yang saya ingat, dulu dengan uang jajan yang terbatas, larangan memang jadi tidak penting karena kemampuan membeli juga terbatas. 

Jadi saya punya kebebasan dalam keterbatasan kemampuan membeli saya dulu. Dan pernah ada periode kami punya asisten rumah tangga, yang kerjaannya adalah ngejajanin saya tiap pulang sekolah. Apakah itu bakso, es dung dung yang lewat di depan rumah, atau permen-permen yang sekarang kalau saya pikir-pikir ajaib banget sih bisa saya suka wong rasanya nggak jelas. Tapi dulu, itu rasanya nikmat pake banget. 

Sekarang, saya punya anak dua. 

Sampai 4 bulan belakangan ini, Tara tidak mengenal uang jajan. Kami baru berikan dia uang bulanan mulai 4 bulan lalu. Alasan kami sederhana: supaya dia berhenti merengek kalau kami sedang pergi dan pakai uangnya sendiri kalau dia ingin ini itu. Kami juga ingin dia belajar untuk lebih menghargai uang. 

Dan saya juga merasa aman memberikan Tara uang jajan karena di kantin sekolahnya jajanan dimonitor kualitasnya oleh pihak sekolah. Dan cara anak-anak jajanpun dimonitor: mereka hanya boleh jajan dengan menggunakan kupon. Jadi saya tahu berapa kupon yang Tara beli dan pakai. Dan untuk beli apa saja. 

Iya, rasa aman. Padahal, pikir-pikir, jaman saya kecil, jajanan saya rasanya jauuuuhhh dari yang bisa memberikan rasa aman itu. 

--

Hari Minggu kemarin, kami ke Kota Tua. Tempat yang sekarang bikin kami senang karena AKHIRNYA, jadi destinasi wisata, walaupun kalau meminjam kata-kata Cip, “Nggak seperti yang kita bayangkan sih, jadi rapi, teratur. Ini masih chaotic”. Still, lebih baiklah dibanding Kota Tua dulu, yang serem dan kumuh sehingga sulit sekali bagi kebanyakan orang melihat kecantikan gedung-gedung tua di kawasan ini. 

Kami ke Musium Bank Indonesia (MBI) dan rencananya dari situ kami ke Musium Wayang lalu ke Stasiun Kota. Waktu jalan dari MBI ke Musium Wayang, tentunya kami harus melalui kerumunan orang-orang plus para PKL. Dari tukang tato sampai tukang es semua ada disitu. Lengkap tumpah di satu kawasan. 

Tiba-tiba, Tara, “Aku pengen es potong”. Es potong. Salah satu jajanan saya masa kecil. 

Dan tiba-tiba saja ada alarm yang seperti diaktifkan di otak saya. Dan reaksi saya adalah, “Nanti aja ya kita beli es krim di kafe situ. Kita kan nggak tahu si abang itu airnya dari mana, ntar kamu sakit”. 

Saya nggak tahu apakah dulu di kepala Ibu saya juga seperti itu kalau beliau tahu betapa seringnya saya beli es lilin, es dung dung, es potong dan semacamnya. Yang jelas saya tahu kalau sekarang ini variasi jajanan Tara jauh lebih miskin dibanding saya dulu. Dan itu semua gara-gara sensor dan alarm yang ada di otak saya. 

Saya sebetulnya merasa bersalah tidak memberikan Tara ruang untuk mencoba si es potong itu siang kemarin. Karena bisa saja dia tidak apa-apa. Dan kalaupun dia jadi sakit perut, paling tidak saya tahu persis apa penyebabnya. Tapi ada tuas-tuas otomatis di otak saya yang tiba-tiba saja menutup pagar-pagar yang dulu, waktu saya kecil, terbuka sangat lebar. Sulit sekali buat saya untuk menon-aktifkan tuas-tuas itu. 

Saya masih mengijinkan, bahkan sering juga membelikan anak-anak jajanan pinggir jalan. Seperti kue ape, kue cubit (tapi yang matang), kue pancong, mie ayam dan semacamnya. Tapi tetap saja ada sensor, misalnya: tukangnya jualannya bukan di pinggir jalan berdebu, atau gerobak dagangannya lumayan tertutup jadi kemungkinan debunya kecil, atau abangnya kelihatannya bersih. Pokoknya selalu ada parameter yang saya pakai untuk memastikan jajanan itu ‘aman’ buat anak-anak. Parameter yang kalau dipikir-pikir ya konyol juga karena mana saya tahu di abang itu tadinya dari mana, tangannya tadinya pegang apa and so on and so forth. 

Tapi sensor itu tetap saya butuhkan dan pertahankan supaya saya tetap merasa aman. Cuma kadang saya mau tidak mau bertanya juga pada diri sendiri: am I restricting my children’s experiences by doing so?. 

--

Memang sih ini cuma soal jajanan, tapi kadang saya juga takut apakah akan ada hal-hal lain yang saya batasi, lalu malah jadi pembatas pengalaman hidup anak-anak saya?. 

Kelihatannya sepele mikirin hal seperti ini. Tapi dampaknya jangan-jangan besar kalau saya nggak mikirin dan membuat diri saya sadar 100% bahwa ada sensor dan alarm itu di kepala saya. Semua orang tua pasti punya. Pertanyaannya adalah: seberapa jauh dan ketat kita akan aktifkan tanpa membuat anak-anak jadi miskin pengalaman?. 

Saya nggak tahu jawabannya. Mungkin sama saja seperti hidup dan menjadi orang tua yang nggak ada sekolahnya ini: trial dan error saja. Nanti kita juga tahu. 

Semoga ‘nanti’ itu tidak terlalu terlambat untuk bisa kita koreksi dampaknya. Aamiiiin. 


(R I R I)

No comments:

Post a Comment

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts