Thursday, February 17, 2011

You and I, we can conquer the world

(ditulis di akhir tahun 2009)


Kemarin, kepala saya rasanya mumet. Jarang-jarang saya minum Panadol di kantor, dan bukan gara-gara saya terserang gejala flu. Tapi kemarin, saya harus minum obat karena pusing yang tidak hilang-hilang sejak malam sebelumnya. Mungkin gara-gara kebanyakan minum kopi, mungkin karena hal lain. But anyway, saya menulis ini bukan mau cerita tentang penyebab pusing.

Setengah hari di kantor, saya meluncur ke tempat lain. Menikmati nyetir sendirian, menikmati fasilitas kantor suami (sampai sekarang saya masih mendoakan siapapun yang menciptakan automatic transmission, God bless them!), menikmati musik di tengah deru mobil dan motor di Jakarta tengah hari. Saya menikmati salah satu album lama Stevie Wonder (ketahuan kan umurnya, yeah so what, saya bangga kok hampir punya umur berkepala 4. Jangan bangga karena masih muda, soalnya, masih panjang perjalanan untuk di-abuse oleh kehidupan!).

Lalu, ada lagu itu, You and I. Favorit saya sejak SMP. Dan saya paling suka dengan kalimat yang satu itu. You and I, we can conquer the world.

Lagu ini sebetulnya cerita tentang menemukan seseorang. Seseorang yang menjadi jangkar. Yang memberikan kekuatan. Yang memberikan cahaya. Iya, lagu cinta, apa lagi. Tapi, mungkin karena pusing saya yang hilang itu berganti jadi energi lain, lagu ini malah membuat saya melihat ke belakang. 12 bulan di belakang.

Pikir-pikir, jangan-jangan saya punya siklus dua tahunan untuk menjalani perubahan drastis dalam hidup. Lihat saja.

2005. Baru melahirkan. Masih kebingungan, tapi juga harus mengurusi ‘balita’ lain yang lebih bikin pusing dibanding mengurus bayi betulan.

2007. Si balita sudah seusia anak SD, tapi tiba-tiba jatuh menggelinding jauh ke kaki bukit. Dan selama setahun para anggota keluarga sama-sama pusing menarik si anak ini supaya bangkit lagi. Mengobati lukanya, dan supaya ia berdiri dengan kaki yang lebih kokoh. Sakit tauk, jatuh sejauh itu!.

2009. Ada yang mengadopsi si anak kecil itu. Dan saya memilih untuk berhenti menjadi care taker-nya, karena aturan dan budaya di perusahaan pengadopsi bikin saya pusing tujuh keliling. Daripada pusing sepanjang tahun, saya memilih tempat lain yang, juga bisa bikin saya pusing, tapi paling tidak cuma sehari.

Saya mengingat-ingat semua itu kemarin. Dan yes, kalimat itu, you and I, we can conquer the world. Itu berdentam lagi di kepala saya.

Di setiap kejadian, selalu ada orang-orang di sekitar saya yang menguatkan. Selalu ada orang yang membuat saya merasa, ah ini kan belum seberapa. Atau membuat saya berpikir tentang jalan keluar yang lain. Intinya, saya tidak pernah sendiri.

Pernahkah teman-teman berpikir, bahwa keberadaan orang di sekitar teman-teman itu sebetulnya adalah sumber kekuatan?. Siapapun dia. Tapi seberapa sering kita, pada saat sudah berhasil, mengingat bahwa di dalam pencapaian itu, ada sumbangan orang lain disitu?. Biasanya kita ingat ’sumbangan’ pasangan kita, atau orang tua, atau anak. Tapi seberapa sering kita mengingat sumbangan orang lain, si pak satpam, office boy, supir yang tiap hari menyupiri mobil di tengah kemacetan, bahkan pembantu di rumah yang biasanya hanya diingat betapa mereka bikin kita kesal kalau sedang berulah.

Saya ingat salah satu obrolan dengan supir saya. Waktu itu saya sedang pusing menimbang-nimbang, haruskah saya meninggalkan si anak usia SD itu, atau tetap menjadi care taker-nya.

Saya tanya, ”Pak, kalau Bapak nggak jadi pegawai kantor lagi, nggak ada asuransi dan tunjangan kesehatan lagi, juga harus terima gaji yang lebih kecil, gimana?”. Si supir, tanpa pikir panjang, menjawab, ”Ya nggak apa-apa Bu, kan itu namanya bukan rejeki saya. Saya jadi supir keluarga Ibu senang, saya ikhlas terima apa adanya saja Bu”.

Glek. Saya terdiam. Ini dia yang saya cari, kebesaran hati. Padahal, keputusan saya akan lumayan banyak mengubah hidupnya. Tapi tetap dengan senyum, dia menjawab seperti itu. Kalau ada yang melihat kejadian ini dengan sinis dan bilang, ya iya dia pasti bilang seperti itu, cari pekerjaan sekarang kan susah, saya akan jitak orang itu. Buat saya semua harus dilihat dari sisi positif. Di momen itu, saya juga merasa Tuhan sedang mengajari saya untuk ikhlas. Untuk belajar menerima keadaan yang tidak bisa saya ubah, dan mengubah apa yang bisa saya ubah.

Itu cuma secuil kejadian di antara banyak sekali hasil belajar saya, tahun ini, dengan banyak orang. Teman, saudara, supir taxi, asisten toko di ITC, responden, pengasuh anak, pembantu, pengrajin batik, petugas museum....dan daftarnya jadi panjang sekali, kalau saya ingat-ingat semuanya.

Ya, You and I, we CAN conquer the world. Kita hanya perlu berdiri sejajar, dan sadar bahwa tidak ada satupun manusia yang bisa menyelesaikan masalahnya, sendiri. Kita cuma perlu membuang kesombongan, supaya kita bisa belajar bahkan dari mereka yang kita pandang punya kehidupan yang ‘kurang’ dibanding kita.

Dan satu lagi, dengan cinta. Buat apa kita memelihara kebencian, kalau dengan mencintai orang lain kita bisa punya kehidupan yang lebih nyaman.

Seperti kata Stevie Wonder di refrain lagu ini…

And in my mind

We can conquer the world

In love

You and I, You and I, You and I


(R I R I)

No comments:

Post a Comment

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts