Wednesday, August 12, 2009

Melayani orang lain = melayani diri sendiri

"Maaf ya bu", kata pramugari sebuah budget airline waktu saya berjalan keluar pesawat. "That's not good enough, jeng", kata saya dalam hati, dengan muka masam, masih jengkel.

Tiga bulan lalu, ke Kuala Lumpur, pulang pergi, naik budget airline (tebak sendiri airline apa, saya tidak mau bernasib seperti Ibu Prita). Dalam penerbangan pulang, anak saya minta Milo. Saya tunggu trolley penjualan makanan dan minuman.


Trolley berhenti di dua kursi di belakang kami, dikawal dua pramugari. Anak saya mulai colek-colek tangan saya,
"Bundaa, mana Milo-nya". Lalu trolley maju lagi. Berhenti agak lama di satu kursi di belakang kami, sudah dekat, pikir saya lega karena colekan tangan Tara yang makin rajin. Hahahihi pramugari - oh, bule ganteng di alley minta sesuatu. Salah satu pramugari ke belakang. Tiba-tiba, zuuuiiiing....trolley laju ke depan tanpa berhenti di deretan kami.

Tentunya anak saya menjerit,
"Minta Milo Bundaa!". Saya bilang, "Nanti ya, tunggu lewat lagi". Dan, setelah sebuah panggilan lampu pramugari yang sia-sia, sebuah lambaian tangan, dan akhirnya pengumuman persiapan mendarat, pramugari kembali ke tempat kami, dan berkata, "Oh maaf Milo kami habis". Begitu juga kesabaran saya, dan beraksilah sepasang bibir ini. Si pramugari minta maaf berulang kali.

Tadi sore, saya membeli tiket pesawat di sebuah travel agent di Radio Dalam.


Saya dilayani dengan baik. Sampai, saya mulai curiga: si mbak bertanya ke temannya,
"Malang kodenya apa sih?". Lalu, 10 menit hanya untuk sebuah kwitansi sederhana. 30 menit untuk usaha mencetak tiket, yang akhirnya dikerjakan oleh temannya setelah si mbak ini bertanya ketiga kalinya, "Ini maksudnya apa?". Dan 15 menit untuk usaha menggesek kartu kredit. Sebuah Teh Botol disuguhkan. Saya makin merengut. OK, it's been a long day and I didn't need it to be even longer.

Akhirnya saya ngomel juga. Setelah hampir sejam duduk manis, dan terpaksa membiarkan anak saya yang baru saja sembuh, capek menunggu di mobil. Teh Botol? Murah
banget waktu tunggu saya bagi mereka, ya.


Putting yourself in other people’s shoes

Saya cinta negeri ini. Sungguh. Tapi kejadian-kejadian tidak enak yang menyangkut pelayanan, sering membuat saya berharap sedang berada di tempat lain. Cip kadang-kadang menganggap saya galak. Tapi, kalau harus menunggu hampir sepanjang penerbangan Kuala Lumpur – Jakarta hanya untuk diberitahu barang yang saya minta, habis, apa iya saya kurang sabar?.


Memang tidak semua penyedia jasa seperti itu. Dan rasanya saya cukup toleran tidak mengharapkan semua sama, semua cepat. Yang sering membuat saya jengkel: membuat konsumen menunggu tanpa kejelasan. Buat saya itu dosa besar pedagang, apapun yang didagangkan. Dan makin besar dosanya di mata saya kalau yang didagangkan adalah jasa.


Si pramugari, menganggap senyum manisnya itu cukup untuk membayar kesalahannya. Iya bisa jadi cukup kalau saya lelaki, mungkin. Tapi saya waktu itu membatin. Coba dia yang duduk di tempat saya, bersama anak yang sangat doyan Milo, dicolek-colek berulang kali sambil bilang,
”Bunda mau Milo”, dan setelah segala usaha menarik perhatian pramugari, menunggu, cuma buat mendapatkan kata-kata, ”Milonya habis”.

Saya kadang heran. Sering mereka yang melayani orang lain, dalam bentuk apapun, tidak sadar bahwa apa yang mereka lakukan, bisa dialami oleh mereka sendiri. Mungkin tidak dalam bentuk yang persis sama, tapi miriplah.


Saya ingat salah satu pelatihan service excellence yang pernah saya ikuti. Salah satu ’menu’ training itu adalah, setiap kelompok yang dibentuk, harus melayani kelompok-kelompok lain pada saat makan. Dan pengalaman itu menarik sekali buat saya. Intinya adalah, kalau kita ingin dihargai, maka hargailah orang lain. Kalau kita tidak ingin dicuekin, maka rasakanlah apa rasanya kalau dicuekin.
Put yourself in other people’s shoes. Atau kata kerennya, yang saya dapat dari jaman kuliah, berempatilah.

Saya tidak tahu berapa banyak perusahaan jasa memberikan pencerahan semacam itu pada pegawainya. Dan rasanya tidak perlu pakai sebuah lembaga pelatihan yang keren. Toh kita sendiri pasti mengalami dilayani.


Coba saja, berapa sering kita ngomel tentang pelayanan di bank. Atau, pelayanan di warung atau restoran. Lama sedikit, kita sudah teriak. Lalu, kenapa kok masih bisa tidak mengacuhkan perasaan orang lain saat kita sendiri melayani mereka. Masih bisa kita mencari-cari alasan, pada saat kita tidak bisa memberikan sesuatu yang dijanjikan dalam kontrak jasa kita dengan pelanggan. Coba kalau kita yang mengalami itu, pasti, ngomel. Atau paling minim, merengut.


Anyway, si travel agent masih lebih baik performanya di mata saya. Karena kemudian, mereka menawarkan mengambil pembayaran tiket ke rumah saya, setelah saya menolak diminta menunggu untuk percobaan penggesekan kartu di toko sebelah. Bolehlah usaha mereka. Yang satu lagi – sejak hari itu, saya bersumpah tidak akan lagi naik budget airline itu. Nah, worth it-kah itu untuk perusahaan?. Ya bisa saja bilang, ah cuma satu. Tapi bayangkan, 30 hari dalam sebulan, tiap hari ada satu pelanggan yang memutuskan seperti saya. Dan terjadi pula dalam setahun, bertahun-tahun.


Dan ada pula sebuah wabah yang namanya
word of mouth. Saya bisa bercerita tentang pengalaman saya kepada teman. Lalu teman itu, ke teman yang lain. Begitu terus. Nah, apakah worth it untuk citra perusahaan?.

Jadi, mari, kalau teman-teman merasa masih harus melayani orang lain dalam bekerja, cobalah ingat-ingat diri sendiri. Apakah teman-teman mau diperlakukan demikian?. Kalau jawabannya tidak, jangan lakukan. Kalau jawabannya iya, maka patut dicoba, dan lihatlah hasilnya.


Yuk, kita sama-sama terus belajar menjadi pelayan yang baik. Mudah-mudahan itu juga akan membawa pada Indonesia yang lebih baik.

(RIRI)

No comments:

Post a Comment

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts