Thursday, August 27, 2009

Kalau Proklamasi Diserahkan Pada Soekarno – Hatta..



Kalau proklamasi diserahkan Pada Soekarno-Hatta, tentu tanggalnya bukan 17 Agustus. Dan bisa jadi bukan di tahun keramat itu, bukan 1945. Orang tua akan cenderung hati-hati dan mengatur nafas, saat melihat kekacauan yang serba mendadak. Seperti rontoknya petualangan militer Jepang di Pasifik. Republik compang-camping ini, dengan segala kekisruhannya waktu itu, mana bisa menopang kemerdekaan yang membutuhkan disiplin dan komando?

Hatta dan Soekarno mempercayai perjuangan gradual, persiapan kemerdekaan secara bertahap. Para administrator dan birokrat dilatih pelan-pelan, tentara didisiplinkan, dan kemerdekaan diakui melalui meja perundingan. Apalagi beberapa hari sebelumnya, komandan militer tertinggi Jepang telah menitahkan: Indonesia akan memperoleh kemerdekaan (dari Jepang) tak lama lagi. Titah itu dikeluarkan di Dalat, Vietnam, dan Soekarno-Hatta berada di sana.

Lalu, mengapa harus menempuh resiko, dan bertualang dengan melakukan manuver proklamasi? Bisa-bisa memancing reaksi berdarah yang tak perlu, bukan? Make sense. Rasional. Dan jangan salah, bagaimanapun keduanya besar dalam pendidikan Belanda dan Jepang.

Butuh beberapa orang gila, dan biasanya mereka anak-anak muda, untuk meyakinkan pemimpin yang cenderung berpikir serba hati-hati dan kalkulatif -- macam Soekarno-Hatta -- bahwa proklamasi harus dibacakan secepatnya, seberapapun biayanya! Bagi anak-anak muda ini, kemerdekaan bukanlah tanda-tangan yang lahir dari diskusi-diskusi rasional di ruang sidang. Kemerdekaan adalah luapan jiwa. Kemerdekaan adalah pernyataan kesadaran. Kemerdekaan adalah partisipasi rakyat jelata!

Kemerdekaan juga masalah momentum. Power vacuum yang tercipta oleh kekalahan Jepang, dan keterlambatan Sekutu mendarat di Jawa, hanya akan terjadi dalam hitungan hari. Kalkulasinya sangat sederhana: bertindak cepat, atau sejarah tak akan berpihak lagi.





Anak-anak gila itu bekerja dengan serba cepat. Beberapa orang memutuskan menyekap Soekarno dan Hatta di Rengas Dengklok. Menerbangkannya secara tergesa-gesa di pagi-pagi buta 16 Aug, termasuk mengangkut keluarga mereka. Beberapa anak muda lain menanti disana: menantang debat jagoan-jagoan tua ini. Isi kepala mereka tuntas: merdeka sekarang, dan tidak menanti!

Yang lain melakukan lobi-lobi serentak. Termasuk mendekati beberapa tokoh kunci Jepang yang cenderung mendukung kemerdekaan, ketimbang menyerahkan kembali ke Sekutu. Belakangan mereka mendapati seorang marsekal simpatik yang mensuplai mereka dengan tempat yang aman dari endusan Kempetai dan update terakhir perang Pasifik Raya. Kediamannya nanti akan menjadi bagian sejarah: tempat koordinasi teknis terakhir proklamasi. Living room-nya, menjadi saksi pengetikan naskah proklamasi.

Kelompok ketiga menyisir pulau Jawa, mengabarkan rencana proklamasi yang niatnya hendak dibacakan di Jakarta. Mereka membayangkan, maklumat ini akan diikuti oleh pengambilalihan kekuasaan (dari Jepang) dan pengibaran bendera secara serentak di kota-kota utama pulau Jawa. Ketika mereka meninggalkan Jakarta 14-Aug, mereka tak memiliki kepastian: apakah teman-teman mereka di Jakarta berhasil melobi Soekarno Hatta atau gagal samasekali.
Tapi target mereka bulat dan tunggal: pengibaran bendera dan upacara proklamasi secara serentak di Indonesia, tanggal 16 Agustus. Bukan 17 Agustus..

Sayangnya, tak mudah juga meyakinkan orang tua. Apalagi jika orang-orangnya secerdas Soekarno dan Hatta. Meski kedua jenius ini akhirnya bertekuk lutut pada kegilaan junior-junior-nya, proklamasi tetap terlambat satu hari dari yang semula direncanakan. Bukannya 16 Agustus. Proklamasi baru bisa dibacakan pada keesekokan harinya, jam 10 pagi, di sebuah bangunan sederhana di Jalan Pegangsaan.

Lucunya, beberapa kota, misalnya Cirebon dan Pekalongan, gagal menerima update keterlambatan ini. Pengibaran bendera dan upacara kemerdekaan tetap dilangsungkan sehari sebelumnya, 16 Agustus.



[...]


Saya dan beberapa teman dekat saya, dalam hati selalu merayakan dan menganggap proklamasi terjadi pada tanggal 16 Aug. Dan bukan di tanggal formal yang keramat itu: 17. Ini adalah semacam penghormatan pada peranan kaum muda di tahun-tahun paling menentukan bagi Repoeblik ini: 1945-1949. Sebuah peranan yang banyak dikesampingkan, dan bahkan dilupakan. Tenggelam dibawah dominasi satu dua nama besar..

Kecuali Soekarni, Adam Malik, Chaerul Saleh, dan beberapa yang lain, Anda mungkin tidak akan pernah mengenal puluhan pemuda-pemuda sinting ini, seandainya nama mereka disebutkan di buku-buku sejarah. A band of rascals, yang ketajaman dan keberaniannya membuat mereka merencanakan dan mengeksekusi salah satu persekongkolan paling penting bagi Indonesia. Yakni kemerdekaannya sendiri.

Sampai sekarang saya bersyukur, merekalah arsitek proklamasi, dan bukan dua nama besar yang sama-sama kita hormati itu. Dalam diri anak muda, memang ada kegilaan. Di saat yang sama, juga ada kejujuran dan keberanian, yang melahirkan sejenis kepekaan akut pada momentum.

Menyerahkannya pada Soekarno-Hatta, pengumuman Merdeka bisa saja baru akan terjadi dua bulan lagi, dua tahun lagi, atau malah sebagaimana versi Belanda: di tahun 1949, ketika Konferensi Meja Bundar berhasil disepakati.

Tapi alhamdulillah, sejarah menempuh jalan lain. Jalan yang diterabas oleh kaoem moeda.

16 Agustus.
Jayalah Repoeblik! Hidup anak muda! Merdeka!

---

Dicatat dengan penuh rasa, ditemani oleh ingatan yang kabur pada dua buku yang pernah amat mencekam masa-masa mahasiswa saya: “Java In A Time Of Revolution: Occupation and Resistance 1944-46” oleh Benedict Anderson, dan “Nationalism and Revolution in Indonesia” oleh George McTurnan Kahin.


(CIP - sebuah note di Facebook tanggal 16 Agustus 2009)

No comments:

Post a Comment

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts