Thursday, August 27, 2009

Hafalan Shalat Delisa - sebuah perenungan

Salah satu kebiasaan buruk saya, adalah ke toko buku, beli beberapa buku sekaligus, dan tidak membacanya. Kadang-kadang malah saya lupa pernah beli buku apa saja. Itu yang terjadi pada buku yang satu ini.


Hafalan Shalat Delisa. Dikarang oleh Tere-Liye (nama samaran si penulis yang artinya untukmu, dari bahasa India). Saya beli buku ini sudah agak lama. Waktu lihat judulnya, saya tertarik beli karena satu hal: ini cerita yang diangkat dari bencana tsunami di Aceh. Bencana yang besar untuk negeri ini, bahkan dunia. Dan saya memang selalu tertarik membaca cerita-cerita yang terkait dengan bencana. Saya pernah terobsesi dengan bencana Titanic, Pompei, Kratakau, Dieng. Selalu banyak kisah kemanusiaan dari bencana, dan saya selalu ingin tahu ada cerita apa disitu. Waktu saya lihat buku ini, saya ingin tahu ada kisah apa dengan anak kecil bernama Delisa yang jadi pusat ceritanya.

Tapi waktu sudah di rumah, saya tidak tega membacanya, takut nangis. Akhirnya, dia teronggok begitu saja di lemari buku. Dua hari yang lalu, karena kurang kerjaan, saya bongkar-bongkar lemari, dan saya temukan buku ini.

Saya baru selesai membacanya 2 hari yang lalu. Dan, saya tersentuh.


Ini adalah novel fiksi, berlatar belakang bencana tsunami di Lhok Nga, Aceh. Delisa adalah seorang anak perempuan berumur 6 tahun. Bungsu dari empat bersaudara. Abi, ayahnya, bekerja di kapal tanker, yang pulang 3 bulan sekali.

Saat tsunami menghempas Lhok Nga, Delisa sekaligus kehilangan Ummi dan ketiga kakaknya. Ia juga kehilangan kaki kanannya. Beruntung Abi masih menemukannya. Dan seperti banyak penduduk Aceh setelah tsunami, mereka tiba-tiba jadi sebatang kara.

Awalnya saya kecewa dengan bab pertama novel ini. Saya berharap menemukan banyak bahasa Aceh, dan bukan slang gaya Jakarta waktu novel ini cerita tentang interaksi Delisa dengan ketiga kakaknya. Tapi makin lama, novel ini jadi makin menarik.

Dia jadi sarat dengan pesan tentang memahami penderitaan, tentang kebahagiaan dalam kesederhaan, bahkan dalam ketiadaan – rumah, anak, istri, suami, ayah, ibu, harta benda. Kedengarannya sih tema-tema basi, tapi membayangkan ini dari kacamata anak umur 6 tahun, jadi bikin saya terharu. Misalnya, waktu Delisa berpikir: Orang dewasa itu rumit ya? Sering berpikiran yang aneh-aneh. Memandang matahari tenggelam yang indah ini saja, Abi kok menghela nafas panjang? (waktu Abi dan Delisa memandang sunset di pantai Lhok Nga, halaman 165).

Atau waktu Delisa dan ayahnya mendatangi kuburan massal, dan dia tanya dimana kuburan Ummi dan kakak-kakaknya. Abi-nya bilang tidak tahu, karena banyak orang yang dikuburkan disitu. Delisa malah bilang, ”Kalau sebanyak itu, berarti Kak Fatimah, Kak Zahra, dan Kak Aisyah tidak akan kesepian disana, Bi” (halaman 165).

Luar biasa, kalau melihat sesuatu dengan kepolosan anak-anak!.

Novel ini juga dipenuhi catatan-catatan kaki, perenungan si penulis tentang kejadian yang diceritakan. Menariknya, ini novel fiksi, tapi si penulis kelihatannya hanyut dengan ceritanya. Seperti sedang hanyut dengan kejadian nyata, merenunginya, dan menuangkannya jadi pelajaran buat pembaca. Catatan-catatan kaki itu, berisi pertanyaan-pertanyaan kepada Tuhan, tentang keniscayaan, penderitaan, pembalasan. Cukup bermakna. Walau ada beberapa yang saya kurang setuju. Saya selalu merasa terganggu kalau sebuah kejadian yang tidak menyenangkan ’dituduhkan’ pada Tuhan bahwa Dia sedang menghukum kita. Kalau Tuhan itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Dia kan juga tidak mungkin Maha Pemarah, kan?. Anyway...saya masih mencari jawaban buat yang satu itu.

Walaupun di beberapa bagian novel ini terkesan kedodoran, dan saya agak kecewa tidak menemukan satupun anekdot khas Aceh dalam banyak obrolan di buku ini, but it’s worth reading. Lumayan untuk melewatkan hari sambil belajar sesuatu dari penderitaan orang lain, walaupun itu fiksi.

Dan rasanya berguna juga disimpan untuk anak-anak. Biar mereka tahu pernah ada bencana besar melanda negeri ini. Dan biar mereka belajar dari anak yang lain tentang menghadapi kesulitan. Walaupun itu fiksi.

(RIRI)

No comments:

Post a Comment

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts