Thursday, January 18, 2018

Teknologi mencegah pikun



“Lila tadi main piano langsung didenger ayahnya?”, tanya ibu saya. 

“Iya, kan kalau lewat Whatsapp ada fungsi yang bisa langsung kirim audio”, saya jawab.

 “Ayahnya bisa langsung denger?”. 

“Iya, itu kan tinggal kirim aja. Disana ayahnya tinggal klik aja langsung bisa dengerin. Tadi juga kirim video Lila main piano”. 

Ibu saya geleng-geleng kepala, “Hebat ya teknologi jaman sekarang. Dunia udah jadi kecil aja rasanya”. 

“Tadinya malah mau video call, tapi Cip tadi masih di ruang meeting jadi ya udah kirim suara sama video aja”. 

Geleng-geleng kepala lagi beliau.

She is 80 now. Pensiunan sebuah bank.

Beliau sudah berusia 40 plus waktu dulu saat masih kerja tiba-tiba jaman berubah dan beliau harus belajar menggunakan komputer. Bukan cuma itu, beliau lalu harus mengepalai sebuah tim yang pekerjaannya justru berurusan dengan data management. Padahal, latar belakang beliau adalah sarjana muda Pendidikan Anak dari IKIP Jakarta. Beliau tidak punya latar belakang teknologi informasi sama sekali.

Beliau pernah keranjingan Pacman, game yang ngehits di tahun 80an. Kadang bisa main sampai jam 12 malam. Sepulang kerja, makan malam, sekitar jam 7 atau 8 biasanya beliau akan mengusir saya dari meja tempat komputer kami, karena beliau ingin main game itu.

Dunia lalu berputar begitu cepat. Perputaran teknologipun lama kelamaan semakin sulit untuk beliau ikuti.

Sampai sekarang beliau tidak punya telpon genggam. Pernah saya belikan, tapi lalu beliau sendiri yang menyerah dan memutuskan untuk tidak mau berurusan lagi dengan telpon genggam. “Bingung ah. Lagian kalau pergi kan Mama pasti sama yang punya handphone. Nomer telpon kamu aja Mama bawa nanti kalau butuh Mama kasih ke siapa ajalah yang punya handphone”. 

Jadi, sekarang ini saya pastikan semua orang dengan siapa beliau sering pergi, punya nomor telpon genggam saya.

Itulah interaksi ibu saya dengan teknologi.

Saya, punya cerita yang berbeda dengan beliau.

Saya pernah harus les komputer karena belajar sendiri cuma bikin saya ngomel. Lalu belakangan saya belajar program yang baru dengan teman ibu saya.  

Saya generasi yang kenal dengan floppy disk. Mengalami mencetak tugas kuliah dan skripsi menggunakan printer dot matrix, yang kalau sedang mencetak, bunyinya dijamin bisa mengalahkan suara yang paling cempreng. Di tahun terakhir kuliah, saya juga kerja. Jadi skripsi selalu harus saya kerjakan setelah saya pulang kerja, dan selalu berlanjut sampai dini hari. Saya masih ingat kalau saya harus kejar waktu ketemu dosen pembimbing skripsi di pagi harinya, saya harus mencetak draft skripsi di tengah malam atau dini hari, saya harus tutup printer itu dengan tumpukan bantal supaya bunyinya tidak bikin seisi rumah bangun dari tidur lelap.

Lalu saya masuk dunia kerja ‘beneran’, dan saya harus kenalan dengan sejumlah program lain. Saya sempat tertatih-tatih belajar dengan seorang sekretaris yang baik hati luar biasa mau mengajari saya di jam makan siang. Saya juga kenalan dengan yang namanya e-mail, dan mesin fax.

Belakangan, saya juga kenalan dengan yang namanya laptop atau notebook computer, lalu telpon genggam yang jenisnya masih feature phone. Lalu Blackberry. Lalu smartphone.

Di rumah tangga, lalu saya kenal dengan microwave, food processor, dan dalam bentuk yang paling sederhana, timbangan kue digital.

Saya punya anak, dan sekarang, anak saya yang tertua sering mengenalkan saya pada aplikasi yang sedang nge-hits di kalangan teman-temannya. Kadang saya juga harus menginstall beberapa apps gara-gara hobi, atau karena pekerjaan.

--

Teknologi, memang luar biasa.

Dia menjadikan dunia jadi terasa lebih kecil dan memudahkan komunikasi. Teknologi juga membuat hidup lebih mudah, dalam banyak hal.

Tapi begitu saya tadi ngobrol dengan ibu saya, tiba-tiba saya terpikir satu hal lagi: bahwa teknologi juga mencegah kita jadi cepat pikun.

Bagaimana tidak. Gara-gara teknologi, kita dipaksa belajar banyak hal. Atau kadang juga tidak perlu dipaksa, kita sendiri yang dengan senang hati jadi ingin belajar tentang apa yang ditawarkan teknologi.

Seperti percakapan dengan ibu saya tadi misalnya. Pasti ada yang terangsang di otak beliau saat saya cerita tentang bagaimana anak saya berkomunikasi dengan ayahnya saat ayahnya berada di benua yang berbeda. Mungkin ada yang tergetar di kumpulan sel abu-abu beliau, yang entah bagaimana akan membuat otak beliau aktif. Dan katanya kan, aktifitas sel otak itulah yang akan mencegah pikun.

Atau juga apa yang harus beliau lakukan dulu saat di usia 40 lebih. Saat beliau ‘terpaksa’ belajar tentang komputer dan data management padahal beliau tidak tahu apa-apa tentang teknologi informasi. That must have done something to her brain. Dan jangan-jangan ya itu juga yang membuat beliau masih punya daya pikir, yang menurut saya, masih sangat cemerlang di usia beliau yang sudah 80. Ditambah juga memang beliau tidak pernah berhenti membaca hingga saat ini.

Dan begitu juga generasi saya, yang sampai di usia yang tergolong pemuda sekarang ini (definisi WHO lho, sampai 60 tahun masih pemuda), tidak punya pilihan selain beradaptasi dengan teknologi.

Kami padahal bukan generasi yang begitu melek, sudah berhadapan dengan teknologi yang sedemikian cepatnya. Kami dibesarkan di era analog. Baru belakangan kami mengenal digital.

Tapi jangan-jangan itu yang akan membuat generasi ini dan selanjutnya, nanti tidak cepat pikun. Karena keharusan untuk tetap relevan dengan waktu, dan keharusan supaya tetap produktif, membuat kita tidak punya pilihan lain selain terus belajar tentang atau dengan selimut teknologi yang berubah sedemikian cepatnya.

Jadi ya alih-alih menganggap teknologi adalah sebuah gangguan - apalagi para pelaku bisnis yang suka baper pada perusahaan start up, memang rasanya kita harus menggandengnya.

Cuma rasanya kita tetap harus eling, supaya kita tetap menjadi majikannya teknologi, dan bukan sebaliknya. Karena kalau tidak, bisa jadi yang diceritakan di banyak film science fiction akan terjadi. Dimana teknologi merampas begitu banyak aspek kehidupan sehingga kita lupa menjadi manusia yang dianugerahi begitu banyak fakultas fisik dan mental yang membuat kita sebenarnya adalah spesies yang terkuat di bumi.

Lalu itu menimbulkan pertanyaan lain di benak saya: siapkah kita untuk jadi majikan dan bukan malah jadi budaknya teknologi?.

Hmmmm…..let’s see.



No comments:

Post a Comment

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts