Thursday, September 7, 2017

Perempuan juga manusia



Kalau saya travel sendirian, saya pasti bawa bekal buku. Yaa walaupun saya tahu di tempat tujuan ada perpustakaan kecil, tapi saya tetap bawa sendiri just in case saya nggak nemu buku yang cukup menarik buat dibaca disana.

Kali ini saya bawa 2 buku karangan Oka Rusmini, perempuan Bali yang sudah menelorkan beberapa novel ciamik. Well, at least saya suka dengan tulisannya. 


Tulisan-tulisan Oka seringkali terasa menggugat. Kemarahan seorang perempuan terasa di banyak tulisannya. Seringkali tentang adat istiadat Bali, yang sepertinya dari sudut pandang dia sebagai orang Balipun dirasa sering tidak adil terhadap perempuan. Kadang juga terhadap Tuhan, yang seringkali dipertanyakannya apakah sebetulnya Tuhan juga laki-laki sehingga hidup sebagai perempuan sering terasa tidak adil.

Sebagai perempuan, setiap kali baca novel Oka, saya kadang membatin: what is wrong with society, yang seringkali membuat hidup sebagai perempuan memang terasa kurang menyenangkan?. Padahal, jadi perempuan itu sebetulnya adalah rahmat karena dari badan perempuanlah kehidupan baru dilahirkan. Itu adalah rahmat tertinggi yang diberikan Yang Kuasa.

But I have to agree with her, bahwa jadi perempuan, memang tidak mudah saat harus berhadapan dengan segala pembatasan yang dihasilkan oleh masyarakat. Bahkan saya juga sering bertanya: kenapa sih dunia takut sekali pada perempuan sehingga harus bikin banyak sekali aturan di seputar ‘jadi perempuan’.

Lalu, saya jadi ingat bagaimana orang tua saya mendidik saya sehingga untungnya, sampai detik ini, saya masih merasa bahwa walaupun saya perempuan, tapi rasanya saya masih bisa bergerak dengan bebas.

--

Tiap kali saya bilang pada ibu saya kalau saya akan traveling sendirian, apalagi kalau beliau tahu saya akan diving beberapa hari, beliau selalu komentar, “Kamu berani banget sih”. Saya cuma ketawa, dan balik bilang, “Lah, anaknya sapa bisa begini?”. Dan ibu saya nggak bisa bilang apa-apa.

Tapi saya ngomong begitu memang bukan tanpa alasan. Saya berterima kasih pada kedua orang tua saya yang telah membuat saya seperti sekarang.

Terutama almarhum Papa, yang saat saya tumbuh besar, sering sekali melakukan pembiaran-pembiaran. Dan saya tahu persis beliau melakukan pembiaran itu justru karena saya perempuan.

Sebagai sesama perempuan, wajar rasanya kalau saat saya tumbuh remaja, Mama cenderung membuat saya patuh pada beberapa pakem jadi perempuan. Pakai rok. Ngurusin rambut. Ngurusin kulit – dan berusahalah supaya jangan jadi (makin) keling. Jangan manjat-manjat. Belajar jalan yang rapi – terutama kalau pakai sepatu hak tinggi.

Dan dulu, saya sering sekali membangkang. Menurut saya, beberapa aturan itu cuma bikin saya repot. Pakai rok itu merepotkan beyond belief. Saya nggak bisa duduk seenaknya. Nggak bisa lari-lari dengan bebas. Pokoknya nggak asik lah.

Jaga kulit supaya nggak (makin) keling? (saya sudah keling sejak saya TK thanks to playing outside so much), walah….ini mah penjara namanya. Dan saya memang nggak pernah peduli, sampai sekarang, mau jadi warna apa kulit saya. Pokoknya selama nggak terbakar karena matahari, yang bikin kulit perihnya minta ampun itu, I’m happy.

Dalam segala perselisihan saya dengan Mama yang berusaha menjadikan saya ‘perempuan’ itulah hadir sosok Papa.

Yang membiarkan saya ikut lomba sepeda (malah beliau yang mengantarkan ke garis start).
Yang membela saya waktu saya ingin ikut silat waktu SMA dan Mama menentang habis-habisan.
Yang membiarkan saya manjat pohon manapun yang saya mau (walaupun habis itu saya pasti teriak minta tolong karena takut turunnya…).
Yang membiarkan saya main lumpur.
Yang selalu bilang pada Mama buat membelikan saya celana pendek – karena pakai rokpun saya tetap saja jijingkrakan.
Yang membelikan mobil bobrok sebagai mobil pertama saya di tahun terakhir kuliah, dan bikin Mama uring-uringan karena takut anak gadisnya stranded in the middle of nowhere kalau mobil itu mogok sementara saya sering pulang malam karena kuliah dan ngajar setelahnya. Dan beliau dengan tenang malah bilang, pakai mobil bobrok supaya saya ngalami kena mogok dan mikir sendiri gimana caranya benerin mobil atau paling nggak kemana harus minta tolong.
Yang ngajarin saya ganti ban mobil beliau dan bersihin semua bagian ‘kaki’ mobil dari sekrup sampai cakram rem. Padahal mobil beliau Chevrolet Luv yang bannya minta ampun besar dan beratnya.
Yang ngajarin saya bersihin aki mobil dengan air panas, dan bersihin mesin mobil pakai oli bekas. Beliau juga pernah ngajarin saya ganti oli mobil sendiri.

Dan banyaaak sekali hal-hal yang diajarkan Papa, atau Papa biarkan saya lakukan kalau saya mau, yang menurut saya sebetulnya bukan hal-hal yang mungkin lazim untuk dilakukan oleh anak perempuan. Dan saya tahu betul, ada beberapa hal yang oleh Mama ditentang, karena saya perempuan. But, he was adamant that I had to know how to do those.

Memang betul waktu dulu saya harus lakukan semua itu ada rasa kesal. Tapi bertahun-tahun kemudian saya apresiasi semua itu: he’s treated me as a human being, not as a female. Dan itu, liberating. Sejak SMP sampai SMA, beliaulah yang membuat saya merasa it’s OK to not stay within the rules of being a female, because you are a human being.

Beliau yang membuka mata saya bahwa jadi perempuan itu nggak melulu soal menjaga penampilan. Jadi perempuan itu JUSTRU nggak boleh cengeng karena itu cuma akan bikin kita jadi bulan-bulanan. Bahwa hidup, nggak bisa dihadapi dengan ‘saya kan perempuan jadi saya boleh tidak melakukan, atau boleh nggak tahu XYZ’. Hidup nggak akan milih kita ini laki atau perempuan saat memberikan sebuah tantangan.

--

Dan Tuhan, memang punya sense of humor yang luar biasa. DiberiNya saya 2 anak perempuan. Dan seringkali, sekarang terutama saat si sulung sudah gadis, saya harus bertanya pada diri saya sendiri: how will I raise her to be a strong woman, without forgetting that she is a human being not a female that is bound with so many (ridiculous, sometimes) rules and obligations?.

Entah apakah saya bisa membuat mereka melihat bahwa jadi perempuan itu bukan alasan buat mengalah pada garis-garis ketentuan sosial tentang bagaimana jadi perempuan. Tapi yang jelas, saya juga tahu, bahwa yang harusnya juga berperan banyak mengajarkan itu adalah ayah mereka. Seperti dulu almarhum Papa menggembleng saya justru karena saya perempuan.

Rasanya, setiap lelaki di dunia ini berhutang pada setiap perempuan untuk membuat dia merasa bahwa dia adalah manusia. Setiap lelaki punya tanggung jawab pada setiap perempuan untuk membuatnya melihat bahwa ada banyak hal yang bisa dicapai perempuan, karena dunia ini diciptakan untuk dibentuk bersama. 

Lelaki yang meletakkan perempuan pada posisi yang tradisional – yang ‘manis’, mengalah, submisif dan sebagainya, menurut saya sudah melakukan kejahatan kemanusiaan.

--

Jadi, kalau Anda adalah seorang ayah, dan punya anak perempuan, yang ingin saya katakan adalah ini: the greatest gift a father can give to his daughter, is to treat her like a human being, and make her flourish beyond the expected boundaries of a female. Make her see beyond the prejudices and judgement of being a female.

Dunia butuh itu. Saya pribadi sudah muak melihat masih saja perempuan kadang dijadikan objek. Dan ya memang kadang sesama perempuan juga yang tidak suportif pada sesamanya. Perempuan memang dilahirkan nyinyir, mungkin.

But as a start, let’s make our daughters strong enough to be whoever they want to be, regardless what the society thinks, as long as they can fend for themselves and do good for others.

(R I R I)

No comments:

Post a Comment

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts