Sunday, October 23, 2016

Change, Challenge, and Courage



Change is the only constant in life. 

Sering banget denger itu ya. Dan sekarang ini, entah gara-gara kedekatan yang luar biasa dengan gadget yang namanya smartphone yang kadang-kadang sialnya mendekatkan kita pada berbagai berita dari seluruh penjuru dunia, atau memang bumi berputar lebih cepat; rasanya perubahan demi perubahan terjadi in a blink of an eye.

Tapi adakalanya juga, kita ngerasa, “Kok gue nggak berubah-berubah sih ya. Kok gue tetep aja rasanya sebloon dulu. Nggak melakukan sesuatu yang baru. Muter disitu-situ aja. Reinventing the wheel. Again and again and again”, dan lalu tiba-tiba merasa muak pada diri sendiri karena merasa stagnan.

Saya sedang tiba di titik itu. Sejak beberapa bulan yang lalu. Restless with myself. Feeling that I need to change something, anything, dalam bagaimana dan apa yang saya kerjakan. Di dunia yang sudah sekian tahun saya selami ini.

Bukannya malah merasa makin tahu saya merasa makin bodoh. Makin nggak tahu apa-apa. Dan, merasa nggak kunjung berubah di saat dunia tampaknya menuntut perubahan dalam gimana saya kerja dan menyelami pekerjaan saya.

Lalu saya mutusin saya harus belajar lagi dari sesama praktisi. Pergilah saya minggu lalu ke sebuah konferensi. 2 hari yang dipenuhi oleh sejumlah orang-orang keren yang mempresentasikan hasil kerjanya. Studi-studi kasus yang membuka mata saya, dan membuat saya belajar tentang hal-hal baru dan memberikan ide-ide yang segar.

Tapi bukan itu saja yang saya bawa pulang.  

--

Karena acara itu dilakukan di negeri jiran, saya menggunakan kesempatan itu buat ketemu teman-teman lama. Dan, dari merekalah, saya mendapatkan sesuatu yang lain.

Kami sudah lama nggak ketemu. Beberapa di antaranya malah sudah hampir hitungan 2 digit tahun. Lalu bertemulah kami di sebuah restoran – 9 of  us. Dan seorang teman berinisiatif supaya kami saling cerita apa saja kegiatan kami saat ini, and how life has been treating us.

Human stories, were then always interesting and impactful.

Ada yang mencoba jadi wirausaha, yang sangat berbeda dengan dunia korporat yang dulu dia geluti. Buka food stall di bandara Changi, karena dia suka masak dan punya resep andalan warisan ibunya. Tapi setelah setahun lebih, memutuskan untuk menghentikannya karena ada terlalu banyak tantangan dan beberapa di antaranya sulit untuk diatasi. Padahal, business was good. Keuntungan juga lumayan. Tapi dia memutuskan bahwa ada terlalu banyak hal yang harus dikorbankan, salah satunya adalah kedekatan dengan anak-anaknya.

Sekarang, teman ini sedang mencari pekerjaan lagi. Dengan uang tabungan yang sudah menipis karena digunakan untuk membuka usahanya. Dengan seorang istri dan dua orang anak.

Yang bikin saya sangat ingin memeluk dia saat dia cerita adalah ini: bagaimana wajahnya tetap berseri dan tersenyum saat cerita. Saya ingin memeluk dia dan bilang, “Thank you for STILL being the same person that I knew, the same person who is now sitting there making me ashamed at how much time I felt like giving up while my problems were nothing compared to yours!”.

Saya tetap menangkap dia yang sama yang saya kenal bertahun-tahun lalu sebagai seorang yang mumpuni di bidangnya di dunia korporat, yang selalu penuh kegembiraan. Malam itu kami duduk bersama, dia cerita tentang kehidupannya dengan senyum padahal dia juga tahu sekarang sulit untuk menemukan kembali pekerjaan yang sama dengan posisi yang sama dan pendapatan yang sama di usia yang tidak muda lagi.

Bagaimana tetap dengan senyum dan optimisme dia bilang, “I will take whatever job that I can get as long as I can learn about it and from it. Doesn’t matter if the pay is lower than what I usually got. But that will be a way to go somewhere. I will do it”.

Dalam hati saya, sambil ngeliatin dia setengah menahan air mata karena terharu melihat optimismenya, saya membatin, “If only more and more people think like him, then we will need no motivators” (ups...maaf...tapi jujur...kadang kita hanya butuh mendengarkan cerita orang lain untuk bisa belajar dari pengalaman orang lain, yes?, dan bukan cuma sejumlah kalimat penyemangat).

Lalu ada teman lain yang cerita bahwa dia harus mengubah gaya hidupnya, terutama dalam hal makanan, karena baru saja terbebas dari kanker payudara setahun (atau dua tahun...saya tidak ingat detilnya) yang lalu. Saya yang duduk di sebelahnya spontan merangkulnya – I know how scarry that must have been. She survived, thanks to deteksi dini dan dukungan dari keluarga, tentunya. Tapi sekali lagi saya melihat hal yang sama di wajahnya: keberanian merangkul hidup yang penuh tantangan ini, dengan segala ketidakpastiannya. Keberanian untuk bilang, “I survived. And now I have to make changes in my life to make sure I stay healthy”.

Lalu saya ketemu teman lain lagi di hari berbeda. Seseorang yang bertahun-tahun lalu selalu bikin saya melongo kalau lihat laporan yang dia buat. Yang dulu sering bikin saya berpikir, “Gue kemana aja ya, kok segini doang ilmu gue. Kapan bisa kayak dia”.

Baru punya anak di usia yang sama dengan saya. Berada di industri yang sekarang ini memang sedang nggak asik untuk perusahaan-perusahaan besar apalagi di Singapura. Sejumlah ketidakpastian sebagai pekerja asing. Ketidakpastian tentang apakah jika harus kembali ke negerinya sendiri keadaan akan lebih baik atau malah makin buruk. Dengan seorang anak lucu berusia 18 bulan.

Tapi yang dia bilang pada saya, “I don’t want to think about it. Just think about it when it happens. Worrying about it doesn’t do much now anyway”.

--

Perubahan selalu merangkul kita. Dan kita sendiri juga seringkali menginginkan perubahan dalam kehidupan kita sendiri kan, apapun itu. Tapi perubahan juga bukan sesuatu yang mudah dicapai atau dihadapi.

Yang saya bawa dari pertemuan dengan berbagai teman itu adalah: beranilah menghadapi perubahan itu. Atau bahkan juga beranilah mengubah sesuatu dalam hidup kita. It’s inevitable anyway, what choice do you have but to be brave?. What choice do you have other than embrace it and march on?.

Jatuh, bangun, merangkak di saat kita tadinya sudah bisa berlari. Berjalan perlahan, mungkin harus tertatih, tapi yang pasti, bergerak terus. Rasanya itu yang harus bisa dilakukan saat diterpa perubahan atau harus berubah – apapun itu.

Dan yang saya pelajari dari teman-teman saya itu adalah juga: don’t fuss about the future too much.

Saya diajarkan oleh orang tua saya untuk merencanakan hidup. Sampai sekarang saya percaya itu penting. Tapi rasanya ada satu yang saya lupakan: plan you may, but worry too much about whether your plans are going to happen or not, you may not. Itu, rasanya saya masih harus banyak belajar.

Mendengar cerita teman-teman saya itu, saya seperti dicubit, ditegur: Riri, slow down. Dont’ be too hard on yourself, you’re not doing too bad, in fact you’re OK and that’s OK!.

Hidup memang penuh tantangan. Dan sebentar lagi, tahun akan berganti (kemarin saya lewat Ecobar di Kemang – ini bar pasang penghitung hari di luar, mengarah ke jalan raya, menunjukkan berapa hari lagi dalam tahun itu tersisa, dan sakit perut saya lihat angka disitu: 59). Pasti akan ada lebih banyak perubahan, dan makin banyak dan beragam tantangan yang harus kita hadapi. Apakah kita akan mengkhawatirkannya, sekarang?.

Mungkin jawabannya adalah bukan khawatir, tapi, mencari keberanian macam apa yang harus kita bangun mulai hari ini supaya nggak loyo di tengah jalan.

Atau mungkin, mencari apa yang bisa kita jadikan mercusuar keberanian saat jalan yang harus dilalui terasa berat, dan kita hanya bisa berjalan lambat padahal ingin berlari.

Ada Tuhan, pasti. Tangan Tuhan selalu bekerja dengan cara yang misterius. Itu saya percaya banget. Tapi mungkin, selain itu, kita juga butuh yang kasat mata (tolong saya jangan dilempar ayat..), yang bisa ngingetin, “I am OK and going to be OK no matter what”. Entah siapa, mungkin pasangan kita, teman, guru, mentor, atau bahkan mungkin, anak! (iya, para orang tua, jangan egois, anak kita juga bisa jadi sumber keberanian).

Siapapun itu, ada baiknya keeping them in mind. Sebagai contoh hidup, bahwa whatever balls life may throw at you from whichever curve and angle, we will and shall survive.  

--

Mungkin hujan dan udara ngelangut ini yang bikin saya tiba-tiba jadi nulis yang semelankoli ini. Tapi yang pasti sih saya ngerasa cerita-cerita yang saya dapat minggu lalu terlalu berharga untuk saya simpan sendiri. Walaupun, mungkin, saya yakin kalau Anda sedang baca ini sekarang, Anda mungkin mikir: ah ini kan udah sering banget gue denger.

Doesn’t matter to me. Saya bahagia punya teman-teman yang punya keberanian yang bisa saya contoh. That when I feel like curling myself up and hide from this world, I will remember them and what they have gone through, and I march on taking their courage as my example.

Itu saja.

Not always easy to say be courageous. Jadi, kenapa tidak lihat orang lain yang sudah cukup berani mengambil resiko dalam hidupnya...and move on...and march on... Life was never meant to be easy anyway...

(R I R I)

No comments:

Post a Comment

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts