Wednesday, July 27, 2016

Berdamai dengan kehilangan



Waktu saya kelas 2 SMP, saya baru tahu apa rasanya kehilangan. 

Ya sebelumnya sih saya pernah kehilangan nenek saya. Saya baru kelas 2 atau 3 SD kalau nggak salah. Tapi walaupun saya dekat dengan nenek, tapi mungkin karena saya waktu itu baru 7 tahun, saya nggak gitu paham apa artinya kehilangan beliau.

Kehilangan berikutnya yang cukup bikin saya tertampar. Teremas-remas. Dan baru itu saya ngerasain ada tempat yang kosong di hati yang sampai sekarang nggak pernah terisi lagi karena saya nggak ingin ada yang ganti mengisi tempat itu.

--

Suatu siang. Saya masih kelas 4 SD. Papa pulang kantor dan bilang, “Ri, ada yang harus diambil tuh, di mobil”. Saya dengan girang lari ke mobil beliau. 2 hari sebelumnya saya ulang tahun, jadi saya pikir tumben nih Papa kasih saya kado.

Buka pintu mobil, celingak celinguk, nggak ketemu apa barang yang harus saya ambil. Saya nggak lihat satu barangpun di kursi. Saya balik ke dalam, “Apaan Pa, nggak ada apa-apa di mobil”. “Lihat di kolong kursi”.

Saya melongok susah payah. And there it was.

A very cute fur ball. Anak anjing. Mungil. Menggigil ketakutan. Mendengkingpun tidak. Tapi saya tahu, saya sudah jatuh cinta.

Saya kasih dia nama Coki. Seperti nama pelukis serba bisa, favorit saya di majalah Hai.

Menentang keinginan Mama, saya biarkan Coki tidur di kamar saya dalam kardus. Awalnya, karena dia keturunan anjing pendek, dia gak berdaya dimasukkan dalam kardus yang cukup besar. Tapi makin lama dia makin besar, dan suatu malam, dia berhasil menumbangkan kardus dan berusaha naik ke tempat tidur saya.

Saya diserahi tanggung jawab penuh pelihara Coki. Papa ajarkan saya kasih vitaminnya, mandiin, nyisirin tiap minggu. Coki punya sabun dan handuknya sendiri. Sisirnya sendiri.

Coki jadi anjing saya. Sebelumnya, semua anjing yang kami pelihara adalah ‘anjing Papa’ atau ya anjing kami. Tapi Coki, anjingnya Riri. 

To cut a long story short, suatu hari, Coki sakit. Dokter sudah bilang dia tidak bisa sembuh. Jadi satu-satunya jalan adalah membuat dia nyaman.

Di suatu pagi, saya sudah nggak inget itu hari ke berapa Coki sakit. Saya kasih dia obatnya, dan saya lihat matanya. Saya pamit mau ke sekolah, tapi Coki mengais-ngais tangan saya dengan lemah sambil merintih. Saya bilang nanti pulang sekolah saya temenin lagi. Tapi dia tetap merintih-rintih sambil terus mengais-ngais tangan saya. Saya lalu minta ijin Papa dan Mama supaya saya boleh nggak sekolah hari itu. Tapi nggak diijinin.

Pulang sekolah, itu adalah kali kesekian kami nggak punya pembantu jadi saya bawa kunci pagar dan rumah, saya langsung lari ke belakang tempat Coki tidur. Dan saya temukan dia sudah kaku.

Saya inget banget saya menjerit. Nangis. Lalu telpon Papa di kantornya. Sambil nangis sesenggukan saya bilang, “Coki mati Pa”. Papa terdiam lama sebelum akhirnya bilang, “Papa pulang”.

Lalu kami berdua menguburkan Coki. Lama saya duduk nangis di kuburannya.

Setelahnya, saya berkabung. Dan setelahnya, saya tahu nggak ada anjing yang bisa gantikan Coki. 

--
Dari kejadian itu saya belajar tentang apa arti kehilangan sesuatu untuk selamanya. Mungkin buat sebagian orang, itu nggak ada artinya karena ‘cuma’ seekor anjing. Tapi buat saya, Coki lebih dari seekor anjing. 

Terlebih lagi ini: dia adalah kado ulang tahun dari Papa...lelaki pertama dalam hidup saya yang mengerti apa mau saya dan apa yang saya butuhkan. And till now, that was probably one of the best birthday presents I’ve ever received.  

Bertahun-tahun setelahnya, saya nggak nyangka bahwa orang yang memberikan Coki, juga akan meninggalkan saya dengan cara yang sama: tanpa pesan, hanya tanda kecil bahwa dia sedang mengingat saya sebelum dia pergi selamanya. Dan, saat kami jauh dari masing-masing.

--
Saya masih inget 2 hari sebelum datangnya kiamat kecil itu di hidup saya. Rabu, 19 Agustus 1998.

Papa telpon ke Melbourne. “Tumben”, batin saya. Biasanya yang nelpon Mama – yang lebih jujur kalau dia kangen. Beliau bertanya saya sedang apa. Saya bilang sedang ngerjain corporate finance yang bikin kepala saya pening. Beliau bilang, “Lari aja keliling flat. Dulu kalau Papa pusing ngerjain tugas, Papa lari keliling kampus”. Papa dan saya memang persis sama: olahraga adalah penawar banyak hal buat kami.

Saya ketawa, “Dingiiin Paaa...bukannya seger malah sakiiiit”. Papa cuma ketawa.

Have I known that would be the last of his laughter that I’d ever listen to, I would  have kept him talking for hours.

Jumat, 21 Agustus 1998. 

Sejak pagi saya gelisah hari itu. Melbourne mendung, angin dingin, bikin bete dan males. Saya mutusin untuk main ke rumah pacar (boleh dong punya pacar...hahaha. Ya sekarang mantan dwong. Dia tinggal di rumah dengan central heating - beda banget dengan flat saya yang dingin melulu karena kelewat miskin untuk selalu nyalain heater yang bikin tagihan listrik melejit).

Entah kenapa saya merasa harus membalas surat Papa yang sudah saya cuekin seminggu. Akhirnya saya tulis surat itu, lalu pulang ke flat untuk sekalian ambil buku karena kami akan ngerjain tugas di kampus.

And then it came, a phone call. A call that I never imagined would happen. 

Kakak saya tersendat bilang, “Ri, lo bisa pulang nggak?”. Saya sambil ketawa bilang, “Lo gila?, gue kan lagi kuliah”. “Tapi lo harus pulang Ri", diam sebentar, "Papa udah nggak ada”. Lalu dia nangis. 

Saya nggak inget lagi apa yang terjadi sesudah saya tutup telpon. Saya cuma inget flatmate saya keluar dari kamarnya (apa jangan-jangan saya menjerit ya...nggak inget...), memeluk saya.

Selebihnya saya mati rasa. Tapi saya masih inget satu: Papa harus dimakamkan tanpa menunggu saya.

Dengan tangan gemetar saya telpon ke rumah, minta bicara dengan Mama, dan cuma minta tolong Papa dimakamkan segera, dengan taburan sekeranjang melati di atas jenazahnya, teriring doa dari saya.

Dan...saya nggak tahu kenapa. Malam itu saya berusaha baca surat Yaasiin buat beliau. Tapi semua huruf itu nggak ‘bicara’ pada saya. Saya cuma bisa menatap nanar Al-Quran di tangan saya. Nggak terbaca satu hurufpun. Apa itu ya yang namanya reaksi shock. Mbuh. 

Saya baru bisa berangkat ke Jakarta jam 7 pagi esok harinya. That night was a nightmare. A real one. Horor. Conjuring mah lewaaaattt.

Jam-jam di pesawat terasa seperti mimpi. Berkali-kali saya cubit tangan saya, meyakinkan kalau ini beneran. Saya di pesawat, harus pulang, untuk melihat pusara Papa. Surat yang saya akan kirimkan buat beliau, tersimpan di tas. Surat terakhir, yang akhirnya ditanam di pusara beliau diiringi tangisan yang tidak bisa saya hentikan begitu melihat pusara dengan tanah yang masih merah.

--
Saya nggak pernah nyangka ada luka yang nggak bisa sembuh. Lha wong saya putus cinta aja lukanya cuma sebulan. Ini kok bertahun-tahun nggak sembuh-sembuh..

Harusnya, saya belajar dari kehilangan Coki. Ternyata, nggak. Sepertinya, buat sebuah luka yang tertinggal karena kehilangan untuk selamanya, tidak ada kehilangan lain yang bisa menyiapkan batin kita.

Mungkin ada yang bilang kok kurang ajar banget nyamain kehilangan anjing dengan kehilangan orang tua. Wah...kalau ada yang berpikir demikian, anda belum tahu betapa kesetiaan dan kasih sayang seekor anjing bisa menembus hati yang paling keras sekalipun. Bahwa punya seekor anjing yang setia, sama rasanya dengan menerima unconditional love dari orang tua.

--

Saya nulis ini sebagiannya karena ingin berdamai dengan luka, dan ingin memberi tahu pada semesta bahwa saya takut. Sampai detik ini, kehilangan Coki dan Papa saat kami berjauhan,  meninggalkan ketakutan yang dalam. Saya tidak ingin lagi ada kejadian itu: ditinggal pergi saat terpisah jarak. Perihnya terasa terlalu dalam, dan terlalu sakit.

Mungkin Tuhan memang menganggap saya cukup kuat untuk menghadapi itu. Tapiiii...kan Tuhan juga tahu kalau saya sebetulnya cemen.

Jadiii yaaah...tulisan ini sebetulnya saya bikin untuk berdamai dengan diri sendiri. Bahwa luka itu akan harus saya bawa seumur hidup, walaupun dia akan selalu berdarah. Dan semoga dengan menuliskan ketakutan saya, semesta akan bersepakat, bahwa tidak seharusnya saya menghadapi lagi luka yang sama. Aamiiiin.    

Coki waktu baru 2 tahun. Selalu diajak kemana-mana. Nemenin saya ke banyak tempat
 (R I R I)

No comments:

Post a Comment

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts