Sunday, May 8, 2016

Membunuh kemanjaan, piknikin hati



Saya tidak dibesarkan dalam keluarga yang kalau melakukan perjalanan selalu menginap di hotel. In fact, selalu di rumah saudara, atau di losmen-losmen kecil. Kadang bahkan, di mobil, atau menggelar tikar di tepi pantai, dan membentang plastik di atas kepala yang diikatkan ke batang pohon dan mobil. Mandi? – ada jerigen air di mobil, dan ada sarung untuk menutup badan saat mandi. 

Ada beberapa perabotan standard yang selalu ada di mobil setiap perjalanan: jerigen untuk air tawar, termos air panas, gelas-gelas plastik, kopi, teh, susu bubuk dan gula (waktu itu belum ada semua produk sasetan, dan nggak ada minimarket padahal almarhum Papa sering sekali ajak kami ke daerah-daerah yang ketlisut entah dimana di peta), selimut dan bantal. Rempong?. Dulu rasanya sih biasa aja.  

Saya baru mengenal nginap di hotel yang pakai bintang-bintang itu waktu kerja. Umur saya sudah 24 tahun. Pertama kali dikirim kerja ke Surabaya. Pengalaman pertama juga naik pesawat sendirian. Sumpah waktu itu persis orang bego karena saya nggak tahu apa yang harus dilakukan waktu check in ke hotel. 

Seiring berjalannya waktu, saya makin banyak melakukan perjalanan. Dan tanpa saya sadar, sepertinya saya mulai kehilangan sisi dimana saya bisa bilang pada diri sendiri, “Ah gitu aja mah gue sanggup”. 

--

Tahun lalu saya sudah memutuskan tahun ini saya harus melakukan sebuah perjalanan yang akan menantang diri saya sendiri. Lompat dari satu pulau ke pulau lainnya. Expect the unexpected. Meluaskan lagi kapasitas otak saya untuk melakukan hal yang baru diluar hal-hal rutin.


Tadinya, destinasi itu bernama Togean. Sebuah kepulauan di wilayah Sulawesi Tengah. Kenapa Togean? – saya baca, tempat itu indah. Di jaman Soeharto dia terkenal dengan pertanian mutiara. Tapi lalu entah bagaimana terlupakan. Dan baru-baru ini saja namanya terangkat kembali.

Dan kenapa Togean? – karena susah menjangkaunya!. Dari Jakarta saya harus ke Luwuk. Dari sana naik mobil dulu ke pelabuhan, lalu naik kapal ke salah satu pulau di Togean yang lamanya sekitar 4 – 5 jam. Baru lompat dari satu pulau ke pulau lainnya dengan perahu yang ada disana (yang, sejauh yang saya cari dengan bantuan mbah Google, kelihatannya tergantung pada nasib baik dan koneksi dengan nelayan setempat saja).

Buat saya itu menantang sekali. Entah kenapa, mungkin faktor usia, rasanya saya ingin menaklukkan angka 45. Merdeka! #eh 

Tapi rencana saya itu harus diubah karena titah suami. Sebandel-bandelnya saya, saya seorang istri yang harus dengar kata suami juga selama yang dia bilang itu masuk akal. Lagipula, daripada saya bikin dia khawatir karena perjalanan yang jauh itu, lebih baik saya nurut. 

Dia mengajukan alternatif lain: Wakatobi. Sebuah taman nasional yang sudah lama juga saya dengar namanya dan dalam kepala saya, lebih terkenal dibanding Togean. 

Karena Wakatobi sepertinya sudah dikenal lebih lama, lalu punya sebuah bandara, di pikiran saya harusnya tempat ini jauh lebih berkembang dibanding Togean yang kedengarannya lebih ‘wild’.
Lalu saya putuskan cari teman saja – lebih karena terpikir 8 hari di jalan, kalau malam saya ngobrol sama siapa nanti?. Dan untungnya ada yang mau ikut. So off I went. 

Ternyata...oh ternyata...8 hari yang menarik sekali. 

--


Ekspektasi saya begini:

  • Pulau-pulau di Wakatobi kurang lebih sudah seperti pulau Seribu. Artinya, listrik sudah ada, penginapan walaupun jenisnya bisa saja homestay tapi paling tidak ada kipas angin (sukur-sukur, AC)
  • Koneksi antar pulau, walaupun bisa aja tetap pakai kapal kayu rakyat, tapi sudah kurang lebih ‘rapi’
  • Salah satu pulau yang saya memang tertarik sekali untuk sambangi, pulau Hoga – yang hanya sekitar 15 – 20 menit naik kapal dari Kaledupa, adalah pusat penginapan para mahasiswa peneliti dari Yayasan Walacea. Jadi, fasilitas pulau ini, sepertinya juga akan sudah berkembang dengan baik
Ternyata satu persatu ekspektasi saya itu gugur dengan sukses.

Listrik, ternyata adalah tantangan terbesar dari pulau-pulau ini. 

Saya memang pernah menginap di Liukang, sebuah pulau kecil 5 menit dari pantai Bira, Sulawesi Selatan. Disana, listrik baru menyala jam 6 sore sampai jam 6 pagi.

Tapi itu stabil – setiap hari jadwalnya seperti itu. 

Naaahhh nggak gitu di Wakatobi. 

Di pulau tempat kami menginap pertama kali untuk 4 hari, Tomia, listrik sudah setahun byarpet. Ada giliran pemadaman, tapi ya kalau apes bisa aja dia mati seenak udel. Jadilah selama 4 hari, kami alami byarpet setiap hari. Masih untung karena di penginapan kami ada genset, lumayan menolong karena masih bisa nyalakan kipas angin karena 2 hari terakhir terutama, udara luar biasa panas.  Tapi begitu ada matahari ya jelas genset tidak dinyalakan. Jadi kami harus pakai lilin untuk di kamar mandi kalau sudah begitu, karena kamar mandinya tertutup dan gelap.


Pulau dengan perkampungan yang cantik

Masih ada rumah-rumah panggung dengan langgam khas Buton disana sini

Mereka ini banyak sekali keliaran sana sini


Dari Tomia, kami pindah ke Hoga. Ini pulau yang saya kira fasilitasnya lebih OK karena selalu jadi pusat tinggalnya mahasiswa penelitian dari luar negeri. Ternyata: listrik belum ada di pulau itu. Setiap penginapan yang ada disitu, harus mengupayakan listrik mereka sendiri dengan mesin mereka sendiri. Jadilah di penginapan kami, listrik hanya nyala dari jam 6 sore sampai 11 malam. 

Tempat Hoga Dive Resort, tempat kami menginap. Don't let the name fool you :) Kamarnya biasa kok...Fasilitas juga minim di tempat ini. Dan kalau anda kesini tidak buat menyelam, kemungkinan besar tidak diterima nginap sini juga, katanya

Tapi memang pantainya cantiiiik sekali

Dan sunset yang menawan bahkan saat berawan


Asiknya, penginapan ini terletak di bawah pepohonan rimbun, dan di belakang penginapan ini masih bersemak. Kebayang nggak, nyamuk dan serangganya?. Seru deh kami bertengkar dengan mereka semua itu begitu sore datang. Plus, tidak ada kipas angin di kamar padahal karena dilingkupi pepohonan, tidak ada angin berhembus ke dalam kamar kami. Asiknya juga, kamar mandi terpisah di belakang kamar. Artinya, begitu lampu mati, yaaa...gelap-gelapan deh jalan ke kamar mandi. Bodohnya kami juga lupa minta senter atau lilin padahal di hari berikutnya kami harus siap-siap jam 4.30 – dimana karena tempat yang tertutup rapat dengan pohon, ya masih gelap gulita. Seru abis!.

Karena kami sudah agak lelah menghadapi kegelapan, kami berharap begitu pindah ke Wangi Wangi yang merupakan pulau paling besar dimana terletak Wanci, ibukota kabupaten Wakatobi, listrik lebih stabil. 

So much for hoping...haha. Walaupun tidak separah di pulau-pulau lainnya tapi tetap ada beberapa kali mati lampu.  

Itu baru soal menghadapi lampu byarpet. 

Yang seru juga waktu kami harus pindah dari satu pulau ke pulau lainnya. Perjalanan dari Wangi Wangi ke Tomia yang kami tempuh dalam waktu 3 jam masih OK lah. 

Interior kapal dari Wanci ke Tomia

Dari pulau ke pulau di Wakatobi kurang lebih seperti ini kapalnya

Menikmati pagi di atas kapal asik juga - dari Tomia ke Hoga, jam 6.30

Yang menarik, saat kami pindah dari Hoga ke Wangi Wangi. Tadinya saya kira kapal akan membawa kami ke Kaledupa dulu, baru dari sana kami naik kapal menuju Wangi Wangi. Ternyata kapal tidak bisa mendarat ke dermaga Kaledupa karena air terlalu surut. Jadilah kami ‘menyetop’ kapal ke Wangi Wangi di tengah lautan di antara pulau Hoga dan Kaledupa – we practically jumped to the other boat, di tengah lautan. Seru banget!. 


Sebagai lompatan terakhir, dari Wangi Wangi kami menuju Baubau. Naik kapal kayu angkutan rakyat reguler yang berangkat jam 9 malam dari Wanci dan tiba di Baubau jam 6 atau 7 pagi tergantung kondisi laut. Saya memang sudah baca bahwa naik kapal ini artinya adalah kami harus tidur di geladak yang ‘disulap’ jadi semacam pelataran dimana orang bisa berbaring. 

Ini di kapal dari Hoga menuju Wanci. Tapi ya kurang lebih seperti inilah geladak kapal dari Wanci ke Baubau


Jadi kurang lebih saya sudah siapkan mental untuk tidur dengan bau mesin, bau kaki orang, bau keringet orang, dan angin laut malam hari. Eh tapi ternyata, menurut operator tur lokal yang membantu kami mengatur perjalanan ini, sebetulnya ada kabin yang bisa disewa. Wah ya alhamdulillah toh?. Jadilah kami iyakan saat mereka nawarin mau disewakan kabin atau tidak. 

Dan ya namanya nggak pernah naik kapal kayak gitu, culture shock adalah saat lihat tempat tidurnya. Dengan banyak kotoran entah serangga entah cicak entah tikus, dan seprai yang warnanya yaaa gitu deeeh – seperti tidak diganti setelah ditiduri beberapa orang sebelumnya, kami sempat berpandang-pandangan sejenak. Tapi untung masing-masing kami bawa kain jadi ya kami tebarkan di atas tempat tidur itu dan voila, we slept through the night. 

Ini kapal yang kami tumpangi dari Wanci ke Baubau

Tampang pasrah sebelum berangkat
 --


And now, here I am, back in the Big Durian. 

Saya nulis semua di atas itu bukan untuk mengeluh. Bahkan, saya rasanya malu pada saudara-saudara kita disana. Iyaaa memang pasti kita sudah banyak dengar cerita-cerita macam itu. Tapi mengalaminya sendiri, was totally different. It really kicks you in the butt – at least for me. 

Selama 8 hari ini saya tiba-tiba tersadar betapa sudah lama saya terbuai dengan yang namanya stabilitas dan kenyamanan. Betapa saya ternyata sudah demikian renta untuk menghadapi setiap kejutan. Ada hari-hari, terutama setelah hari kelima, dimana saya merindukan stabilitas itu. Sekedar bisa mengalami hari yang mulus tanpa listrik yang byarpet. 

Lalu saya merutuki diri sendiri, “Gila loe Ri, manja banget sekarang”. 

Apakah itu buruk?. Ya nggak juga sih. Kalau kata teman jalan saya kali ini, “Kan kita benernya nggak minta aneh-aneh juga. Standard kita juga nggak tinggi”. Hehehe...iya ada benarnya itu. 

Still, at the same time, saya ingin tetap cukup agile to rough it up. Sekedar untuk mengingatkan diri untuk tidak terbuai dengan kenyamanan yang bisa bikin manja. Karena itu ada bahayanya: kita jadi lupa bahwa di atas semua stabilitas dan kenyamanan yang kita dapatkan, jangan-jangan ada mereka yang terkorbankan secara tidak sengaja. Entah iya begitu atau tidak, tapi mungkin ada baiknya berpikir demikian. 

And the best thing is to experience it yourself, once in a while, cause then it gets stuck somewhere in your mind, and your heart. Bukan buat dibilang jago jadi backpacker, biasa merana, tapi biar hatinya lebih piknik. 

(R I R I)

No comments:

Post a Comment

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts