Monday, May 11, 2009

Apa yang Anda Harapkan Dengan Usia 68 Tahun?


Apa yang Anda harapkan dari seseorang berusia 68 tahun? Mungkin tak banyak. Paling-paling seperti ini: bersantai, meluangkan waktu lebih untuk agama, sebaiknya belum terlalu pelupa, dan kalau bisa, tak banyak mengeluh. Anda mungkin akan menggunakan kata “tidak neko-neko”. Kurang lebih sebuah pengharapan halus bagi mereka agar tak banyak merepotkan Anda yang masih bugar dan penuh dengan rencana..

Ada apa dengan usia 68?
Ini semua gara-gara tirani waktu bernama ulang tahun. Kejadiannya berlangsung mulai Kamis sore minggu lalu, saat teman-teman baik saya mulai menyempatkan berpesan: “Selamat ulang warsa!” Whoaaaa, kedengarannya di telinga saya: “Hiii, Cip, saatmu akan segera tiba!”


Anjrit, saya makin tua..

Meski ada kemungkinan saya tak akan pernah sampai di sana, di usia 68, segala sesuatunya perlu dipersiapkan dari sekarang, bukan? Untungnya, meski kejam, masa depan datang satu hari saja setiap saat. Umumnya, masa depan tidak pernah seketika menyergap, kecuali kita bertahun-tahun lamanya melamun. Masa depan berjalan menghampiri kita dengan berjingkat pelan.

[…]

Jadi Jumat sore kemarin, niat saya adalah mencari inspirasi instan tentang “where to?” dan “what for?”. Menyengaja cuti setengah hari untuk ini, saya kabur kanginan di Orchard, sembari menggeret tas travel, dan memutuskan menanti Riri di HMV, di antara deretan rak-rak CD.

Nyaris sendirian di sana, tak sengaja saya menemukan rilisan album terakhir milik Ringo Starr, drummer The Beatles. Album ini berjudul Liverpool 8, penanda kode pos di sebuah distrik di Liverpool, tempat Ringo dibesarkan. Dari album pop ringan inilah -- dirilis pada tahun 2008, beberapa bulan menjelang ulang tahun Ringo ke-68 -- inspirasi kecil itu berasal.

Jika Anda penggemar Beatles, Anda tentu mengenal baik Ringo. Drummer happy-go-lucky ini jelas tak setanding dengan genius seperti Lennon, McCartney, dan Harrison.
Menjawab quiz “berapa orang sih, anggota The Beatles?” Kita berseloroh dengan jawaban semacam ini: “Tiga orang! Dibantu oleh satu drummer, namanya Ringo!”


















Dari hampir 200 komposisi ciptaan Beatles, Ringo hanya menyumbang dua komposisi saja. Harrison menyumbang kurang dari sepersepuluhnya. Meski tak kerap, partisipasi penulisan lagu Harrison hampir selalu menghadirkan komposisi dengan kualitas yang menjulang. Coba putar kembali: Something, Inner Light, Here Comes The Sun, Tommorow Never Knows, dll. Sementara Ringo? Yah, Ringo adalah pelengkap yang manis.

Menyusul bubarnya Beatles, karir solo Ringo, boleh dibilang tak secemerlang teman-temannya. Ia sempat menghasilkan satu dua album yang menembus Billboard Top-20, dan menjadi bintang film serabutan setelahnya. Belakangan, sepuluh tahun terakhir, ia menyibukkan diri dengan live-show bersama Ringo & All Starr Band, sembari membuat studio album tiap tiga atau empat tahun.

Liverpool 8, album terakhirnya, istimewa dalam beberapa hal. Meski sarat dengan nostalgia dan lirik yang sepele, album ini jauh dari cengeng. Tidak ada ratapan. Ke-12 komposisinya menyiratkan semangat, optimisme, dan jauh dari kesan renta. Pada beberapa lagu ia bahkan kedengaran menghentak seperti Bryan Adams 10 tahun yang lalu.
Pada Liverpool 8, Ringo masih membiarkan dirinya playfull dengan mendulang inspirasi dari berbagai genre musik: country, jazz, pop, samba Spanyol, bahkan surrealisme ala Sgt. Peppers. Tak terbayangkan untuk seorang kakek yang mendekati usia 70-an.

Tapi yang paling penting dari Liverpool 8, adalah dedikasi Ringo yang melampaui ekspektasi semua orang, termasuk saya sendiri. Ini tentang seseorang kakek yang tak pernah dianggap serius oleh para pengkritik musik.

Bukannya pensiun, berleha-leha sembari menikmati royalti, pada usia amat senja, ia justru menelorkan album baru, menulis dan menyanyikan sendiri ke-12 lagu didalamnya. Tetap menggebuk drum dan perkusi, serta tak sungkan bermain-main dengan eksperimantasi. Di Liverpool 8, Ringo menggaet musisi progressive-pop seperti Dave Stewart (dari Eurythmics) untuk memoles musiknya, mencari suara-suara baru, dan rela meng-install satu ensembel kecil musik klasik untuk memperkuat beberapa lagu di album ini.
Terakhir, ia masih serius melakukan promosi, mengeluarkan beberapa format (unduhan dijital, USB, maupun CD) serta mendukung album ini dengan rangkain tur di Eropa sepanjang sisa tahun 2008.

Ringo tidak pernah brilyan. Ia tak juga pretensius. Namun Liverpool 8 membuktikan juga bahwa ia tidak setengah hati. Kakek slebor ini masih bisa membuat kejutan-kejutan, tanpa memaksakan diri untuk tetap relevan.

Jadi, dalam satu hal, Ringo dan album terakhirnya, adalah inspirasi saya. I guess, when Im 68, I still want to be able to celebrate life through work and the act of creation, no matter how irrelevant, no matter how small or insignificant. Pada saat itu, saya masih ingin bisa memberikan ‘kejutan manis’, sekali-sekali ‘melampaui ekspektasi’, kalaupun itu hanya terbatas pada orang-orang yang paling saya sayangi..

[…]

Lalu sekarang, saat saya berusia 36, apa yang perlu saya lakukan?

Teman karib saya, balik bertanya: “Bukankah sekarang saatnya untuk menginspirasi dunia?” Saya ketawa: “Ha ha ha, how kind of you! Kamu terlalu banyak baca buku. Lagian aku nggak mungkin se-keren itu”

Teman saya yang lain menulis sebuah pesan istimewa: “Jangan buang-buang waktu, lakukan perjalanan ke dalam. Temukan dirimu. Temukan tujuan Penciptaan..”
Kuduk saya meremang membaca gagasan yang menukik ke inti persoalan semacam ini. Berterimakasih, merasa sudah diingatkan, saya menjawab dalam hati: “Aaaw, the idea is just too lofty for me, mein freund!”

Keesokan paginya, saat sarapan, saya bertanya pada Riri: “Jadi apa, Ri? Aku harus ngapain?”
Dia bilang: “Aaah, birthday boy, I just want you to be happy..”
Matanya melirik pasangan tua di awal 60-an yang berbicara dengan aksen Amerika. Mereka duduk membelakangi kami, dan nampak masih amat sumringah dengan acara pelancongannya di Singapura. Sebelumnya -- mendapati kami sibuk men-set timer kamera dijital -- pasangan ini menawarkan bantuan mengambil gambar kami berdua..
Pagi itu, usai sarapan, kami meluncur ke IKEA. Melintasi Marina dan Tampines yang lengang, saya membiarkan pikiran saya melayang, merumuskan dengan santai, apa yang sejatinya saya inginkan.
Sejenak berikutnya saya merasa menemukan pegangan. Ternyata sesuatu yang amat sederhana, amat pribadi, dan jauh sekali dari gagah...

“Aaah, di usia 36 ini, saya hanya ingin lebih jujur pada diri sendiri. Saya hanya ingin lebih berani mengikuti apa yang terbisikkan oleh hati..”


(CIP)

No comments:

Post a Comment

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts