Tuesday, August 28, 2018

Perjalanan mengikhlaskan, dan mensyukurinya


Ikhlas. Temennya sabar. Yang susah banget buat dipraktekkan tapi paling sering diucapkan kalau ada suatu kejadian. Yaaaa termasuk saya, sih.

Padahal tahuuuu banget bagaimana susahnya bisa ikhlas.

Ikhlas, buat saya punya banyak sekali elemen.

Ada elemen berserah diri pada keadaan yang sudah terjadi, karena memang tidak bisa diubah. Ada juga elemen mensyukuri yang sudah terjadi, apapun itu, seberapa sulitnyapun melihat sesuatu yang bisa disyukuri dari yang sudah terjadi, karena bisa saja kita mengalami yang lebih buruk. Ada juga elemen hening, menenangkan diri, tidak melawan tapi melihat ke dalam, mengenali apa yang dirasa, lalu menerima semuanya.

Susaaah banget semua itu.

Perjalanan ikhlas yang paling susah yang pernah saya tempuh adalah saat saya harus kehilangan Papa yang mendadak. Tanpa sakit, tanpa tanda apapun, beliau pergi begitu saja.

Cuma 2 hari setelah saya terakhir ngobrol dengan beliau lewat telepon, tahu-tahu telepon berikut yang saya terima adalah berita bahwa beliau sudah dipanggil. Saya beratus ribu kilometer jauhnya dari rumah, sehingga buat melihat jenazah beliau terakhir kali saja saya tidak bisa. Keputusan yang saya ambil sendiri, karena itulah bakti terakhir saya buat beliau, dengan tidak meminta beliau menunggu saya untuk pulang saat beliau bisa pulang ke rumah terakhirnya.

Di hari beliau dimakamkan, saat saya tiba di rumah setelah menghabiskan airmata saya di pusara beliau yang masih merah, saya jadi sadar bahwa hidup tidak akan sama tanpa beliau. Dan itulah titik pertama saya tahu betapa sulitnya mengikhlaskan kepergian beliau. Tiba-tiba saya dihadapkan pada ruang hampa yang mendadak hadir.

Mengikhlaskan rumah kami tanpa beliau yang sering tidur siang di sofa. Mengikhlaskan Chevrolet Luv penuh kenangan, satu-satunya mobil yang pernah beliau beli dari showroom, untuk kami jual karena kami tidak sanggup merawatnya. Mengikhlaskan saya tidak akan pernah lagi terima surat dari beliau selama 1,5 tahun yang masih harus saya jalani di negeri orang saat itu. Mengikhlaskan bahwa beliau tidak akan ada di meja akad nikah, melepas saya ke jenjang kehidupan berikutnya.

Pokoknya tiba-tiba ada beberapa hal yang berarti, yang harus diikhlaskan untuk tiada. Dan itu berat sekali rasanya (Dilan, kamu tidak tahu kalau masih ada yang lebih berat dari rindu….).

Sekarang, 20 tahun kemudian, saya masih nggak tahu apakah saya sudah betul-betul ikhlas atau belum. Jujur saya juga nggak tahu ukuran ikhlas itu apa sih. Tapi kalau ditanya apakah saya masih sedih kehilangan beliau, maka jawabannya adalah tidak.

Karena dunia sudah jadi sesuatu yang amat berbeda dibanding dulu saat beliau masih hidup. Saya rasanya tidak ingin juga beliau melihat seperti apa dunia sekarang, apalagi Indonesia dengan segala hiruk pikuk politiknya karena saya tahu betapa cinta beliau pada negeri ini. Dan rasanya saya juga tidak akan tega melihat beliau merenta, menua, makin rapuh sementara saya tahu betapa beliau mencintai kelayapan kesana kemari, dan tahu beliau pasti tidak akan tahan sakit…hehe…

Jadi sekarang saya bisa bilang bahwa beliau pergi di saat yang tepat. Dan jika itu adalah ukuran ikhlas, maka yaaa….saya sudah disitu.

Dan sekarang, saya rasanya sedang diletakkan dalam perjalanan mengikhlaskan selanjutnya.

Mama, sudah berusia 81 tahun. Perempuan kuat yang jarang mengeluh, yang sudah menempa saya buat paham bahwa jadi perempuan bukan berarti menunduk pada kehendak sosial untuk selalu mengalah. Beliau adalah pejuang di mata saya.

Dalam setahun terakhir, fisik beliau makin lemah. Beliau memang tidak punya penyakit serius. Suara dan tawa beliau masih tetap gegap gempita. Mata beliau yang sudah sulit untuk melihat masih bersinar berapi-api jika diajak ngobrol soal politik. Tapi tulang-tulang tua beliau makin lama makin harus menyerah pada serangan sang waktu.

Puncaknya 2 bulan lalu dimana akhirnya sampai sekarang, beliau harus menjalani berbagai terapi fisik untuk mengurangi kesakitan di salah satu bagian tulang punggungnya.

Saya yang selalu mengantar beliau ke dokter, dan ke sebagian besar sesi terapinya, harus mendengar semua penjelasan para praktisi kesehatan itu.

Satu hal yang membuat saya tiba-tiba tersadar bahwa ini rasanya adalah cara Tuhan untuk bikin saya mengikhlaskan, adalah ucapan salah satu dokter, “Tugas kami para dokter adalah memastikan kondisi Ibu tidak makin menurun, jadi bukan menyembuhkan karena ini ada unsur usia, tapi yang penting adalah Ibu bisa nyaman bergerak dan kondisinya tidak makin buruk”.

Saya seperti disadarkan bahwa ini jangan-jangan adalah cara Tuhan membuat saya ikhlas jika satu saat nanti beliau dipanggilNya untuk pulang. Jika dulu Papa dipanggil tiba-tiba dan perjalanan mengikhlaskan itu saya jalani dengan tertatih-tatih, sekarang, rasanya saya justru sedang dituntun pelan-pelan untuk bisa melepas dengan legowo satu hari nanti.

Saya tidak tega melihat Mama kesakitan hampir setiap kali beliau berjalan. Saya tidak tega melihat beliau harus menghentikan beberapa rutinitasnya karena gerakannya yang makin terbatas. Sepaham-pahamnya saya dengan apa yang dinyatakan dokter, saya juga tahu apa yang tersirat dari situ, bahwa semua ini harus diterima sebagai bagian dari perjalanan menua, meluruh, menyerah. 

Dan semua ketidaktegaan itu akhirnya bermuara pada satu hal: saya tahu bahwa kepulangan yang terakhir akan melepaskan beliau dari semua penderitaan itu, dan karenanya, saya ikhlas melepas beliau, kapanpun.

Dan jujur saja, menyadari itu, melegakan buat saya. Paling tidak, saya tahu bahwa saya tidak lagi harus melewati jalan panjang kesedihan dan beratnya hati mengikhlaskan ketiadaan. Atau yah paling tidak, saya tahu bahwa perjalanan itu sepertinya tidak akan seberat apa yang harus saya jalani saat kehilangan itu terjadi dengan mendadak tanpa ada tanda apapun.

Tidak akan pernah mudah untuk menerima dan menghadapi ketiadaan. Tapi paling tidak, sekarang saya lebih punya ruang untuk menerimanya dengan legowo.

Dan untuk itu, saya bersyukur. Bersyukur pernah mengalami keduanya: ketiadaan yang dengan terpaksa saya harus terima tanpa daya, dan merasa 'disiapkan' untuk menerima ketiadaan itu kelak. 



No comments:

Post a Comment

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts