Monday, October 16, 2017

Mikir, yuk



Sebagai yang kerjanya berusaha memahami perilaku konsumen lewat metode penelitian kualitatif, saya seriiing pake banget ditanya ini, “Emang cukup ya sampelnya cuma segitu?”.

Atau pertanyaannya dibalik, “Sampelnya harus berapa ya supaya datanya valid?”.

Penelitian kualitatif memang nggak seperti partnernya, penelitian kuantitatif, yang keluarannya angka dan persentase sehingga relatif lebih mudah untuk dipahami dan membuat orang merasa ‘aman’ dengan hasilnya. Penelitian kualitatif nggak bersandar pada banyaknya sampel dan pengolahan statistik.

Dulu waktu pertama kali saya kerja di bidang ini, salah satu banyolan yang selalu diarahkan pada kami tim kualitatif adalah, “Ah anak kual kan kerjanya cuma ngobrol sama ngelamun, terus tahu-tahu keluar deh reportnya”.

To some extent mungkin bisa terlihat demikian.

Kerjaan kami menemui responden, lewat diskusi atau wawancara- yang kelihatannya emang cuma ngobrol aja. Lalu dengan metode pengolahan data yang namanya analisa isi (atau kerennya content analysis), kami bikin reportnya - yang bisa juga kelihatannya lagi ngelamun. Analisa isi ini sebetulnya adalah memahami konteks dan makna dari setiap narasi, atau sederhananya cerita tentang sebuah perilaku, yang kami dapat dari responden.

Sepertinya mudah, padahal, kalau tidak sensitif pada hal-hal yang tersirat, hasil penelitian kualitatif ini mudah sekali jadi cuma sekedar subjective judgment dari si penganalisa.

Demikian juga kalau tidak memahami konteks atau situasi dan bahkan juga faktor sosial budaya dan ekonomi yang melingkupi kehidupan responden yang diajak ngobrol. Analisa juga bisa ngelantur entah kemana.

Untuk menghindari hal-hal seperti itulah maka dalam setiap penelitian yang menggunakan metode kualitatif, ada beberapa pakem yang tetap harus dijaga supaya hasilnya baik.

Misalnya, tetap saja ada jumlah sampel minimal yang harus diambil. Walaupun hasil akhirnya adalah pemahaman narasi, tapi dasar bagaimana pemahaman itu dibentuk harus ajeg. Dan harus jelas ada benang merah atau keterkaitan antara narasi satu responden dengan responden lainnya. Benang merah itu yang dalam kualitatif, jadi pegangan peneliti bahwa data yang didapat, memang cukup dapat dipertanggungjawabkan.

Jadi misalnya, untuk wawancara, minimum sampelnya adalah 3 untuk setiap target responden yang sama. Misalnya kalau mau tahu kenapa orang suka sekali beli KFC, ya minimal harus ada 3 konsumen yang dalam seminggu minimal beli KFC dua kali.

Kenapa harus 3? – karena kalau kita mewawancara 2 orang lalu menemukan perbedaan atau persamaan narasi, belum tentu bisa dipertanggungjawabkan bahwa memang kedua orang itu sama atau berbeda karena bisa saja itu adalah kebetulan. Adanya responden ke-3, akan bisa mendukung perbedaan atau persamaan itu dengan lebih baik karena ada pembanding.

Makin banyak responden tentunya makin baik. Tapi tidak seperti penelitian kuantitatif yang mencari keluasan data, kualitatif mencari kedalaman data buat menjelaskan sebuah gejala. Jadi yaaa memang ndak perlu banyak-banyak sampai ratusan sih respondennya. Asal, prinsip dasar adanya benang merah di paling sedikit 3 responden kalau wawancara, atau 2 kelompok kalau diskusi kelompok, terjadi.

Terus kenapa tahu-tahu saya ngomongin ini?.

Tergelitik dengan sebuah deskripsi perilaku orang tua yang secara rutin membawa anaknya ke salon sekali sebulan, yang lalu dianalisa panjang lebar oleh seorang psikolog senior, yang cukup bikin saya bengong.

Sebetulnya sih bukan masalah perilaku apa yang beliau bahas. Sah-sah saja kok kalau mau beropini tentang sesuatu. Tapi yang membuat saya jadi mengerenyitkan kening (padahal kening ini sudah tidak butuh kerutan tambahan), adalah bagaimana beliau membuat kesimpulan.

Berdasarkan pada wawancara singkatnya dengan petugas salon yang mengurus rambut 2 orang anak, beliau bisa menjabarkan sebuah perilaku dengan semua konsekuensinya. Ini bicara tentang pola asuh juga, lho.

Lalu keluarlah analisa (buat saya sih itu sesederhana pendapat pribadi ya, bukan analisa) bahwa membawa anak ke salon sama artinya dengan mengajarkan gaya hidup hura-hura padahal hidup tidak selalu indah dan berduit. Ke salon dan membuat si anak mematut diri di depan cermin salon adalah mengajarkan pemujaan terhadap kecantikan fisik padahal di usia tersebut (6 – 8 tahun kalau tidak salah), penting juga mengajarkan sisi kecantikan lain.

Itu sebagai hasil dari wawancara dengan petugas salon dan observasi singkat terhadap 2 orang anak. Tanpa ada orang tua satupun yang melakukan hal tersebut, yang diajak ngobrol.  

Saya sebagai praktisi penelitian jelas jadi melotot. Hello, what were you trying to do, mam?.

Yes true bahwa beliau tidak sedang melakukan penelitian. Tapi, yang sangat mengganggu di mata saya adalah karena beliau public figure. Dan profesi beliau adalah seorang praktisi psikologi.

Dalam profesi tersebut ‘penelitian’ adalah satu hal yang mau tidak mau terlekatkan. Melakukan penelitian tentang gejala yang dihadapi adalah tanggung jawab profesi sebelum bisa melontarkan sebuah pendapat, atau dalam konteks konseling, untuk bisa memberikan terapi.  

Saya masih ingat salah satu ajaran yang selalu ditekankan saat kami mulai menghadapi klien: jangan berasumsi, jangan menggunakan personal judgment sebelum terkumpul data yang lengkap.

Saya ingat betul betapa saya dulu harus bolak balik menghadap dosen karena dianggap data yang saya dapat belum menyeluruh karena belum tercakup semua yang harusnya saya ajak bicara untuk dapat kedalaman data yang baik. Itu dulu baru untuk kuliah praktek konseling lho, belum konseling beneran.

Jadi sebagai praktisi yang sudah dikenal publik, beliau justru harusnya jauh lebih sadar untuk tidak jumped into conclusion hanya berdasar pada observasi sesaat. Bicara tentang pola asuh tanpa ngobrol dengan beberapa orang tua untuk memahami motivasi mereka. Itu sudah salah pake banget. Pun jika mungkin benar perilaku itu terjadi di masyarakat, tapi rasanya pengutaraan pendapatnya harusnya bisa jauh lebih berkualitas dengan berdasarkan pada beberapa contoh kasus yang juga melibatkan orang tua yang diajak ngobrol.

Di mata saya, tulisan beliau itu jadi tidak ada bedanya dengan mendengarkan tetangga saya ngegosipin tentang gimana tetangga lainnya merawat anaknya.

Yang lebih membuat saya kuatir adalah, tulisan-tulisan seperti itu beresiko menjadikan masyarakat jadi lebih pintar menyudutkan orang lain tanpa berpikir kritis. Apalagi kemudian implikasi dari tulisan beliau, menurut saya juga tidak main-main karena isinya cukup keras, dengan unsur pembahasan keimanan segala. Padahal, ada kesalahan membangun pendapat yang sangat mendasar di tulisan itu: it was not based on enough NEUTRAL facts.  

 Kata kuncinya itu: fakta yang netral, bukan yang berselimutkan emosi seorang ibu-ibu. Sebagai seorang psikolog, sejatinya beliau harusnya sadar bahwa pengutaraan pendapat beliau tidak bisa dilepaskan dari profesi tersebut. Artinya juga bahwa beliau harusnya menjaga kenetralan dalam mengutarakan sesuatu dan tidak melibatkan emosinya.

Saya sedih melihat gejala demikian, yang pastinya memang bukan hanya dilakukan oleh beliau seorang tapi oleh begitu banyak public figure. Orang-orang yang harusnya punya tanggung jawab, atau at least MERASA PUNYA tanggung jawab yang jauh lebih besar dari orang awam, untuk menegakkan kejernihan berpikir yang baik dan berlogika yang benar.

Opini pribadi is one thing, tapi saat opini itu punya resiko menjadi viral, harusnya bukannya si penulis lebih berhati-hati membangun argumennya?. Apalagi jika si penulis punya embel-embel profesi yang bersentuhan sangat dekat dengan pembangunan kejiwaan, yang sebetulnya sangat dibutuhkan oleh banyak lini di negeri ini.

Ah tapi mungkin ya saya saja yang aneh, ya. Karena toh kenyataannya, pengikutnya banyak.

Ya semoga saja sih mereka yang mengikuti beliau juga bisa menyaring mana yang baik untuk diaplikasikan karena merupakan nilai universal kejiwaan yang dibutuhkan buat membesarkan anak, dan mana yang opini pribadi berselimut emosi. Karena yang terakhir, kalau saya amati, ujungnya cuma bikin panik tanpa solusi. Rasanya kok kita nggak butuh lagi yang begitu. There are enough panic reactions di negara ini. Yang ujungnya cuma bikin pertentangan gak berguna. Enough.

Saya juga nggak berharap semua jadi peneliti. Tapi saya kok ya juga yakin, berpikir kritis itu kan harusnya terjadi setiap saat ya, apapun profesi anda.

Mari, belajar bersama.





No comments:

Post a Comment

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts