Kenapa tiba-tiba gue nulis panjang lebar tentang berdamai dengan dosa?. Karena
gue sudah muak dengan betapa mudahnya sekarang ini kita ‘menasehati’ orang lain
tapi di balik itu sudah tertera sebuah penilaian tentang dosa orang lain.
Berdamai dengan dosa, bagi gue, bukan berarti kita tidak peduli apa yang
kita lakukan. Bukan berarti kita asik-asik aja berbuat segala yang dilarang Tuhan.
Bukan itu.
Berdamai dengan dosa, adalah tentang menyadari bahwa memang ada perilaku
yang seharusnya tidak kita lakukan, dan itu dosa. Merenunglah. Minta maaflah. Dan
sadarlah bahwa perbuatan itu bisa menghasilkan karat di hati kita.
Tapi ya itu: sadarilah untuk diri sendiri saja dulu.
Dalam salah satu buku berjudul Iqro’, karangan Ustadz (yang juga
ganteng) bernama Pardamean Harahap yang secara nggak sengaja gue ikuti
kajiannya beberapa kali, dibahas tentang kesadaran. Atau bahasa keren yang
sekarang sering sekali digunakan: mindfulness.
Bahwa dalam menjalani kehidupan, yang berarti dan bermakna adalah dimana
kita saat itu. Sadarlah apa yang kita rasakan di saat itu. Apa yang kita pikirkan.
Fokuskan di saat itu. Dan saat kita melakukannya, maka masa lalu dan masa depan
akan mengikuti kesadaran kita di titik tersebut. Dan jika selalu berusaha untuk
sadar tentang apa yang kita sedang rasakan, pikirkan, kita juga tidak akan
sibuk dengan memikirkan bagaimana orang lain.
Bukan berarti kita jadi tidak peduli dengan orang lain, tapi kita sadari
dulu diri kita bagaimana, dan dengan kesadaran itu kita membangun hubungan
dengan orang lain. Kesadaran ini membuat kita tidak sibuk memikirkan orang lain
melakukan apa, tapi lebih pada apa yang kita bisa lakukan supaya kita dulu yang
menjadi baik sehingga yang kita lakukan dengan orang lainpun jadi baik.
Dan buat gue itu pula cara untuk berdamai dengan dosa – kita sendiri dan
orang lain. Berdamai dengan dosa kita sendiri – dengan menyadari semuanya dan
menyadari apa rasanya semua itu di hati.
Dan berdamai dengan dosa orang lain: bahwa itu bukan urusan kita karena
kitapun masih punya banyak urusan dengan kesadaran akan dosa kita sendiri.
Karena pada kenyataannya, kita sering sekali dalam keadaan tidak sadar. Berapa banyak
waktu yang kita habiskan, sebetulnya, untuk sekedar berlalu dalam hidup.
We think
we are conscious, but in actual fact, we don’t. We are actually never present. We
are always busy either to think of the future, or dwell over the past, but we
often never really spend time to be conscious of our present.
Dan kadang dengan dalih amar ma’ruf nahi munkar, kita sibuk mengurusi kemungkinan
dosa orang lain. Dan gue seringkali melihatnya sebagai pelanggaran privasi. Nothing
wrong dengan menyeru pada kebaikan, tapi rasanya, ada baiknya kita berdamai
dengan membiarkan orang lain melakukan dosanya karena kitapun jangan-jangan
masih perlu diserukan untuk berjalan di jalan kebaikan.
Mungkin kedengarannya jadi egois. Tapi sejujurnya, ada terlalu banyak
seruan tanpa contoh kebaikan yang gue lihat seliweran di masyarakat saat ini,
sehingga gue sering merasa semuanya cuma pepesan kosong. Dan itu, melelahkan.
Jalan menuju damai memang sulit dan panjang. I am also still learning. Entah
apakah kita akan pernah ada di titik dimana kita tidak selalu merasa perlu
mengkoreksi orang lain supaya mereka tidak berdosa, karena kita terlebih dulu
sadar kita ada dimana. Semoga saja kita semua bisa ketemu di titik itu kelak.
Aamiiin.
|
||||
No comments:
Post a Comment