“Gimana rasanya mau punya bayi lagi di umur 40?”.
Masih nempel banget pertanyaan itu di kepala saya. Dari seorang
teman, waktu saya sedang hamil Lila di bulan ketiga atau keempat. Waktu
ditanya, saya bingung juga, apa ya rasanya. Ada senengnya, pasti. Ada bingungnya
juga. Jarak Tara bayi dengan kelahiran Lila itu 7 tahun. Banyak yang saya sudah
lupa, dan ingin lupakan...haha... Hayo udah deh jujur aja para ibu yang
menjalani menyusui – edisi bangun malem kalau boleh maunya lewat secepat kilat
kaaaannn..
Tapi mungkin a lingering question saat itu adalah: beda umur
saya dengan Lila 40 tahun!. Empat puluh tahun. How will I cope with her growing
up with me growing old?. Saya bukan orang yang takut menjadi tua. Tapi bagaimanapun
juga, menjadi tua itu secara alamiah akan berarti penurunan fungsi tubuh dalam
berbagai skalanya. Itu juga berarti akan ada hal-hal yang saya mau tidak mau
harus kompromikan dengan badan saya. Sementara, Lila yang sedang bertumbuh
pasti justru sedang butuh seseorang yang bisa aktif menemani dia.
Jadi pertanyaan itu menggelitik saya: how will I cope?.
--
Sekarang, 3 tahun 7 bulan kemudian, apa rasanya?.
Sekarang, kalau ditanya lagi, saya akan jawab dengan mantap,
“It’s one hell of a ride, my elixir of youth, my energy for rejuvenating
myself, a continuous reminder that we are here to keep on moving”.
Benar bahwa punya anak itu adalah keberkahan dan rejeki.
Tapi saya merasakan ada rejeki tambahan: punya 2 anak di tahap perkembangan
yang sangat berbeda, itu menyenangkan.
Tara sudah 10, sebentar lagi 11, tahun. Sudah ‘tiga perempat’
pre-teen. Dia sudah kurang lebih melihat dunia dengan cara yang mirip dengan
kita, orang dewasa. Kalaupun ada yang tidak dia pahami, dia sudah bisa mencari
informasi sendiri dan berinisiatif mengajak kami diskusi, kami tinggal
mengarahkan dan menjaga koridor dimana dia mencari informasi. Tara sudah bisa
menentukan sendiri pilihannya. Sudah bisa bilang, “Aku mau di rumah aja, nggak
mau ikut ayah bunda”, dan konsisten pada pilihan-pilihannya.
Dengan Tara, saya betul-betul jadi ‘orang dewasa’. Saya
harus bisa menunjukkan pada dia bahwa ada tanggung jawab yang harus dia pikul
kelak sebagai manusia, dan sebagai anggota masyarakat. Saya harus pelan-pelan
mulai sekarang mempersiapkan dia menghadapi kehidupan kelak. Misalnya saja, pertengkaran
kami yang paling sering adalah soal uang. Saya sering sekali minta dia untuk
berpikir ulang saat minta sesuatu dan dia sering menantang saya untuk
menjelaskan, “Kenapa?”. Dan saat Tara bertanya, “Kenapa?”, saya selalu tahu itu
artinya kami harus duduk bersama dengan wajah serius.
Dan sesuai dengan tahap perkembangannya, Tara sudah lebih
banyak bertanya tentang kehidupan, kadang juga, kematian.
Jujur walaupun saya menikmati itu juga, ada saat-saat dimana
saya kangen jadi anak kecil lagi bersama dia. Tapi hasilnya sekarang, walaupun
dia mengatakannya dengan suara sayang, dia sering sekali bilang, “Bunda nih
konyol”. Saya menyukainya. Tapi saya juga harus bisa menjaga supaya suara
sayangnya itu tidak lalu berubah menjadi suara kesal, nanti saat dia pre-teen
(OMG...how time flies).
Sementara itu Lila – dengan pertanyaan-pertanyaannya tentang
segala rupa di sekeliling dia, yang dia lontarkan secara sembarangan dan jujur.
Dia sedang membentuk pemahamannya tentang dunia, tentang orang-orang di
sekitarnya, bahkan tentang kami orang tuanya. Dia sedang belajar tentang banyak hal.
Dia mencintai air persis seperti
saya, tapi belum bisa berenang. Dia sangat sayang pada si kakak, tapi belum
bisa menahan diri untuk tidak merebut barang kakak. Dia menyayangi Omanya, tapi
kejujuran kanak-kanaknya masih saja membuat dia terdengar usil saat dia bilang,
“Oma baunya oma-oma jadi aku nggak mau cium”.
Nah. Dengan Lila-lah saya menemukan ‘anak kecil’ di dalam
diri saya sendiri. Anak kecil yang sedang belajar dan menganggap semua hal adalah baru dan menarik.
Saat saya malas menjadi orang dewasa, bersama Lila saya
jadi punya alasan untuk jadi anak kecil lagi. Untuk main pasir lagi, untuk
jerit-jerit saat diterpa ombak, untuk lari-lari mengejar burung, untuk
terpesona lihat ulat bulu sambil jerit-jerit saat ulat itu bergerak, untuk
tiduran telentang di atas rumput sambil berkhayal awan-awan itu adalah monster
yang sedang kejar-kejaran dan kami cekikikan sampai sakit perut.
Bersama Lila saya menemukan kenapa, pada akhirnya, umur
tidak perlu jadi alasan untuk saya menjadi khawatir. Oh yes of course saya
sering berkata pada diri sendiri, “Gue nggak mau sakit-sakitan saat Tara dan
Lila harus menikmati keindahan masa muda mereka di usia 20an dan gue udah umur
60an”. Itu kekhawatiran saya yang ada
kaitannya dengan menjadi tua dan segala yang berkaitan dengan penurunan fungsi fisik. But
then, dengan dia, saya merasa sehat!.
So to me, Lila is definitely my elixir of youth. Dia membuat
saya bisa merasakan, LITERALLY, that life DOES BEGIN AT 40!.
Saya tidak pernah
khawatir dengan pertambahan umur, dan uban, dan kerut. Saat saya ulang tahun
ke-40 (yang sudah 4 tahun lalu...haha...what a wonderful life...), saya tahu
bahwa ini adalah usia dimana saya punya legitimasi untuk tidak lagi menerima
any non-sense nor bullshit dari siapapun. Dengan kehadiran Lila, saya merasa
saya punya legitimasi tambahan, untuk berkata pada dunia, “Hey, look, 40 is the
new childhood!”.
Lila mengingatkan saya pada diri saya sendiri waktu kecil: nekat dan sedikit kurang perhitungan. Kakaknya mengingatkan saya bahwa kadang ada gunanya punya sedikit rasa takut :) |
Anak kecil ini memberikan saya banyak sekali alasan untuk melihat hidup dengan kacamata yang berbeda... Rencana Tuhan memang sempurna... |
(R I R I)
No comments:
Post a Comment