Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, dengan Jawa atau tepatnya Jakarta sebagai pusatnya.
Saat saya menulis ini, kami sekeluarga sudah menghabiskan sembilan
hari di luar Jakarta, delapan hari di pulau Bali.
Saat kami berangkat, angka kasus sedang merayap naik.
Saya sebetulnya sudah agak ragu untuk berangkat karena banyak
alasan selain keadaan pandemi. Tapi lalu saya berpikir juga: memang kalau saya
di Jakarta saja, saya bisa mencegah apa?. Dan saya butuh waktu untuk menjauh dari
Jakarta, dan mengumpulkan kembali energi mental.
Maka, berangkatlah kami, 25 Juni 2021. Another family road trip, from
Java to Bali.
Saat saya menulis ini, kami sedang di Padangbai. Tempat menginap
ketiga kami, setelah Taman Nasional Bali Barat dan Ubud. Kami masih akan melanjutkan
perjalanan ini ke Seminyak, sebelum kembali ke Jakarta tanggal 10 Juli nanti.
--
Ada banyak hal yang saya rasakan selama perjalanan ini.
Antara lega karena jauh dari Jakarta sebagai apa yang saya dan Cip
definisikan sebagai ‘pusat badai’, dan juga sedih karena setiap hari kami
menerima kabar teman yang terkena Covid.
Antara senang karena kami, terutama anak-anak, bisa menghirup udara
segar di alam Bali yang asri, dan sedih karena kehilangan seorang sahabat saat
perjalanan ini baru saja dimulai, juga sedih melihat bagaimana di banyak tempat
kami melihat puing-puing bisnis yang berguguran.
Antara senang melihat kepatuhan banyak orang di sebagian besar
tempat yang kami datangi, juga prihatin melihat mereka harus kena imbas dari
sesuatu yang sebetulnya bukan salah mereka.
Dan saya jadi banyak sekali bertanya dalam hati: apa maksud Tuhan
membuat bencana besar ini?. Mematikan sedemikian banyak manusia. Membuat kita
menjauh dari satu sama lain. Manusia jadi bahaya bagi manusia lainnya, tanpa
perlu jadi orang jahat. Membuat banyak sekali orang mengalami kesulitan hidup.
Saya tak tahu apa jawabnya.
Ya, ya, yaaaaaa pasti supaya kita belajar sabaaar, lebih tawakkal,
dan sebagainya dan seterusnya. Bukan itu yang saya cari, sih. Bukan jawaban
berdasar iman. Bukan saya tidak lagi percaya, tapi, entahlah. Saya rasa saya
hanya ingin ada jawaban lain, entah apa. Entah siapa yang bisa menjawab.
--
Saya sedang mempertanyakan hal yang sama saat memandang langit
bertabur bintang di atas Padangbai, saat lagu Imagine-nya John Lennon mengalun
dari speaker yang tersambung pada playlist di Spotify yang dibuat oleh salah
satu anak kami, yang isinya kompilasi sejumlah lagu kesukaan masing-masing dari
kami. Sengaja dibuat untuk menemani road trip kami kali ini.
Imagine
there's no heaven
It's easy if you try
No hell below us
Above us, only sky
Imagine
all the people
Livin' for today
Ah
Imagine
there's no countries
It isn't hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion, too
Imagine
all the people
Livin' life in peace
You
You
may say I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will be as one
Imagine
no possessions
I wonder if you can
No need for greed…
Mungkin Tuhan ingin kita membayangkan dunia seperti yang John
Lennon bayangkan. Dunia tanpa negara. Dunia tanpa pemisahan. Dia ciptakanlah
sebuah virus yang dihadapi oleh semua orang. One common enemy. Kita jadi lupa
buat saling berperang. Lupa buat saling membunuh. Kita hanya ingin mengalahkan
satu saja: virus sialan ini.
Eh tapi lalu saya ingat kalau: masih ada yang berebut susu (ya
Tuhan…susu!!!!!). Masih ada yang tidak bisa antri untuk vaksin padahal salah
satu yang harus dihindari adalah kerumunan. Masih ada yang tidak mau pakai
masker. Masih ada yang tidak mau divaksin dengan sejuta alasannya, dan memilih
dengan sadar untuk tidak percaya pada ilmu pengetahuan.
Lalu kita bingung kenapa selalu saja ada bencana yang dialami
seluruh dunia?. Katanya, setiap 100 tahun ada bencana yang rata dialami semua.
Apakah 100 tahun lagi, kejadian seperti sekarang akan berulang, karena kita
tidak pernah belajar?.
Saya sudah mati saat itu terjadi. Semoga saja sih, tidak terjadi
lagi. Kasihan generasi mendatang.
Imagine. A world in peace. Forever.
Matahari tadi pagi di Campuhan saat saya dan Cip jalan pagi. Tiap terbitnya matahari, adalah harapan baru. Tapi kadang saya takut berharap, karena saya tidak ingin kecewa... |
No comments:
Post a Comment