(Bagian satu disini. Bagian dua disini. Bagian tiga disini)
Di suatu hari, yang gue udah lupa waktu itu cerah atau tidak, Mama mengikrarkan
diri bahwa beliau meyakini Syiah. Gue sudah lupa sih tepatnya bagaimana beliau
mengutarakannya, kami sedang apa, yang gue ingat cuma, “Mama sekarang Syiah”.
Gue cuma bilang, OK. Ya harus bilang apa?.
Pertama, bagi gue, that was actually none of my business. Selama beliau
masih percaya adanya Tuhan dan bahwa hanya Tuhanlah yang patut dijadikan
sandaran hidup, dan tidak mengajarkan bahwa darah mereka yang berbeda halal
untuk dibunuh, yo ben, monggo saja memilih aliran apa.
Kedua, balik ke perjalanan gue memahami apa artinya beragama dan
ber-Tuhan, bahwa masing-masing dari kita akan bertanggung jawab pada Tuhan tentang
jalan yang kita pilih untuk menuju padaNya. Siapalah gue menilai apakah jalan
itu benar atau tidak. Lah gue saja masih belum tahu apakah jalan gue benar atau
tidak.
Tapi belakangan, gue terbentur-bentur pada beberapa hal. Tapi semuanya
bermuara pada dua pertanyaan (dan seringkali bikin gue meradang dalam hati): (1)
why do so many people think they (1) have the right to claim that they are
right, and (2) they have the right to question how others do what they believe
they should do to reach God?.
--
Di pertengahan 2000-an, Syiah mulai menampakkan wajahnya dengan lebih
berani di bumi pertiwi ini. Dan sumpah ya gue sampai sekarang tidak pernah
mengerti kenapa hal itu lalu menjadikan banyak sekali orang meradang.
Padahal kalau saja orang mau belajar sejarah penyebaran Islam, dan apa
saja ajaran-ajaran dan perayaan-perayaan Islam yang ada di berbagai daerah di
nusantara ini, banyaaaaaakkkk sekali jejak Syiah di negeri ini lhoooooo. Tapi selalu
tidak mau diakui, atau tidak ada yang paham, atau tidak mau paham karena kadung
menganggap itu sesat. Nggemesi toh?.
Dan bukan cuma sekali gue ditanya baik oleh teman maupun saudara, tentang
apa yang dijalankan oleh Mama. Pertanyaan-pertanyaan seperti: benar atau tidak
sih bahwa dalam Syiah tidak ada kalimat syahadat, benar atau tidak sih
sholatnya cuma tiga waktu, benar atau tidak sih Syiah tidak mengakui Rasulullah
SAW, emang iya katanya Syiah kitabnya beda?. And so on and so forth.
And you know what, setiap kali itu terjadi, sejujurnya gue ingin sekali
bilang, “That’s none of my business, none of yours. Beresin aja deh ibadah dan
keadaan hati loe. Ngapain sih ngeributin gimana emak gue beribadah?. Loe udah
bener?”.
Tapi atas nama menjaga tali silaturahmi, biasanya gue cuma menarik napas
panjang sebelum menjawab, “Gimana kalau loe tanya aja langsung deh sama nyokap
gue. Gue nggak pernah nanya-nanya. Sepengetahuan gue, beliau masih percaya
Allah dan Rasulullah bahkan mengagungkan sampai ke cucu-cucu Rasulullah, beliau
masih ngucap syahadat. Kalo sholatnya gue nggak pernah nanya dan nggak pernah
lihat lha sholat gue aja masih kacau ngapain gue nanyain sholatnya nyokap?”.
Biasanya sih lumayan ampuh bikin lawan bicara gue diam.
Dan bukan cuma sekali pula ada yang bilang kalau itu aliran yang tidak
benar, dosa, tidak sesuai dengan Al-Quran dan hadits dan seterusnya. Jawaban
gue cuma, “Kita siapa sih?, emang Tuhan sampai kita tahu itu dosa nanti masuk neraka?.
Yakin banget kalau itu salah dan kita yang bener”. Oh ya tentunya dengan nada
ketus.
Gue saat itu bukan sedang membela Mama, tapi membela hak tiap orang untuk
menempuh apa yang menurut HATInya benar. Yang menurut hatinya memudahkannya
menghadirkan Tuhan disitu. Terus kenapa harus dibuat ribut sih?.
Dan walaupun ada prinsip-prinsip Syiah yang membuat gue tidak bisa
mengikuti jalan ini (gue tidak akan pernah bahas apa saja itu, itu daerah
privasi gue yang tidak seorangpun berhak untuk bertanya), tapi gue juga melihat
mereka ini sebetulnya hanya berusaha untuk menegakkan cara beribadah yang
menurut mereka patut dijalankan.
Dalam Islam ada hablumminallah dan hablumminannas – menjaga hubungan
dengan Allah dan dengan sesama.
Dengan Allah – ya siapalah kita untuk tahu bagaimana tiap pribadi
melakukannya?, ye kan?. Apa pula hak kita untuk menilai apa yang dilakukan tiap
pribadi untuk mencapainya?. Tapi yang gue lihat justru ini yang seriiiiiiiiiiiiiiiiiiiing
pakai bangeeeeeeeeeeeeet untuk dibahas dan dipertanyakan. Ya itu,
pertanyaan-pertanyaan di atas itu. Padahal, ya ampun, kalaupun itu yang mereka
lakukan, dan ternyata salah dan jadi dosa, ya tanggung jawab pribadi dengan Allah,
bukan?.
Dalam hal menjaga hubungan dengan sesama. Nah buat gue, ini yang lebih
penting. Dan bolehlah dibilang ini mungkin ranahnya manusia untuk bisa menilai.
Ini menilai akhlak dan perilaku, yang sejatinya juga adalah cerminan dari apa yang
dijalankan dan disimpan dalam hati. Makna dari beragama yang benar, menurut
gue, ya ini.
And in my eyes, tidak ada yang salah dengan bagaimana kaum Syiah ini
menjaga hubungan mereka dengan sesama.
Tidak pernah gue lihat mereka menutup diri. Tidak pernah gue dengar
mereka secara agresif memaksa orang lain mengikuti ajarannya. Tidak pernah gue
dengar ada Ustadz mereka yang agresif dalam ajarannya (gue tahu karena Mama
mengadakan pengajian di rumah kami. Tadinya sebulan sekali, lalu ‘beranak’ jadi
dua kali sebulan). Dan gue kenal beberapa ustadz yang dekat dengan Mama,
semuanya lemah lembut. Tidak pernah ceramah teriak-teriak bikin kaget anak bayi
yang sedang tidur.
Tidak pernah gue dengar mereka mencaci pemimpin – baik pemimpinnya
sendiri maupun pemimpin negara. Tidak pernah gue dengar mereka mencaci kaum minoritas
lainnya. Kalau yang terakhir ini ya bisa saja ada yang mengajukan argumen
bagaimana mereka mau mencaci lha wong mereka juga minoritas. Ah. Alasan selalu
bisa dicari, tapi mari berbaik sangka bahwa itulah akhlak yang tertampil saat
seseorang beragama dengan baik, gimana? #senyummanis.
Jadi apa yang harus dibenci dan dibilang salah?. Malah sampai ada ancaman
akan dibunuh segala. Gue mengalami suatu masa dimana gue takut ada apa-apa
setiap kali Mama pergi ke tempat pemeluk Syiah berkumpul, karena semua
ancaman-ancaman yang ada saat itu.
--
Tantangannya bukan cuma dari luar.
Ada satu masa dimana hubungan kami, anak dan menantu, dengan Mama pun
jadi tegang karena menurut Mama, apa yang kami jalani, tidak benar menurut
dalil yang beliau pelajari. Ada masa dimana kami sering diceramahi, tentang
bagaimana Syiah dan apa yang benar menurut Syiah. Dan sebaliknya apa yang salah
dalam Sunni.
Nah ini runyam, yes?.
Tapi gue kembali ke pengalaman masa kecil gue saat gue sering diomeli
karena sholat yang tambal sulam. All that she wanted to do was to protect me
from sins, karena dosa adalah penderitaan. Dan ibu mana yang bisa membayangkan
anaknya mengalami penderitaan, bahkan saat itu adalah ‘baru cerita’ tentang
bayaran di neraka akibat tidak sholat.
Jadi, disitu ada proses psikologis yang gue bisa pahami kenapa beliau
seperti itu. Tapi ya tetap saja, pendekatan gue ke beliaupun sama saja: this is
my way, my responsibility, I deal with it later when I have to.
Butuh waktu sampai akhirnya beliau berhenti menceramahi kami. Mungkin karena tahu tidak didengar. Gue tahu
mungkin menyakitkan buat beliau bahwa semua anak dan menantunya tidak ada yang
mendengarkan dan mengikuti apa yang dia mau, dan dia sudah yakini benar. But, I guess that’s what we all have to deal
with: dosa orang lain itu bukan urusan kita. Titik.
--
Penggalan perjalanan menerima perbedaan di bawah atap rumah sendiri
dengan semua dinamikanya, gue percaya itupun isyarat dari Allah.
Isyarat untuk tidak mengurusi hubungan orang lain dengan Tuhan. Untuk tidak
mengomentari cara orang menuju Tuhan. Itu adalah perjalanan yang teramat
pribadi, dan bukan sesuatu yang mudah untuk dicerna oleh mereka yang tidak
menjalaninya.
Dan jika gue percaya Allah bersemayam di hati, dan Dia pula yang mengijinkan
semua perbedaan untuk ada di bumi ini, maka gue juga harus terus belajar untuk
menerima perbedaan sebagai salah satu cara menjaga kebersihan hati. Hanya dengan
itu maka gue akan selalu menyediakan tempat bagi Allah di hati ini.
Jadi menjaga hati bukan melulu tentang tidak melakukan sesuatu yang
bukan dosa, tapi juga belajar menerima keniscayaan hidup. Sebab hanya karena
Allah-lah semua keniscayaan itu ada.
(Bersambung)