Tahun lalu, saya pernah cerita kalau tahu-tahu saya
menemukan benjolan di payudara kiri saya, dan setelah dicek kelihatannya tidak
berbahaya. Dokter waktu itu menyarankan saya cek 3 bulan lagi, karena yang
‘kelihatannya tidak berbahaya’ itu bisa saja tahu-tahu melucu dan jadi
berbahaya.
Beberapa minggu lalu, saya cek lagi. Dan, cerita yang sama
berulang: hasil USG sepertinya tidak berbahaya. Tapi juga tidak bisa dipastikan
karena letak si benjolan yang di daerah lemak sehingga hasilnyapun tidak
terlalu jelas. Dokter Radiologi sempat bilang, “Kalau saya sih ya Bu, saya akan
milih buang aja. Ini jelas tumor kalau dari bentuknya. Sepertinya benign. Tapi,
karena tidak jelas begini, daripada beresiko ke depannya, lebih baik dibuang.
Tapi ya nanti gimana diagnosa dokter onkologinya ya Bu. Saya tidak punya
wewenang untuk memutuskan”.
Dengan ketidakpastian itu, sekali lagi, saya ketemu dengan
dokter onkologi. Jujur saja saya sebetulnya sudah cenderung untuk memutuskan
dibuang saja. Karena ini sudah saya simpan setahun. Untungnya tidak makin besar
walaupun juga tidak mengecil. Artinya dia diam-diam saja disitu. Tapi rasanya
kok ya seperti menyimpan musuh dalam selimut kalau saya diamkan.
Anyway, dokter onkologi pun AKHIRNYA dengan tegas
menyarankan supaya dibuang saja benjolan ini. “Mumpung ini baru 1 senti. Bisa aja
kita biarin karena ini memang kelihatannya benign. Ibu jaga makan, jaga stres. Dan
cek tiap tiga bulan. Tapi kalau kita tahu sejak dini itu bisa dibuang supaya
tidak berkembang, ya kenapa harus dibiarin toh?”.
Dan dokter menjelaskan ini hanya operasi kecil, sehari
sesudahnya saya boleh pulang. Dan saya pribadi, mengingat ini akan jadi kali ke-9
saya dioperasi (iya...rekor dalam keluarga memang, tiap kali saya harus masuk
rumah sakit pasti gara-gara harus dioperasi...entah kenapa...), PD aja lah. Sounded
easier daripada operasi yang sudah-sudah yang biasanya makan waktu 3 hari di
rumah sakit.
So be it. Akhirnya hari operasi ditentukan. 27 Januari. Sepertinya ini kado ulang tahun yang terlambat dari hidup yang saya nggak tahu berapa panjang atau pendek ini...haha.
Tapi ada sesuatu yang mungkin saat dijelaskan, informasi itu
saya simpan jauuuuuuhhhh di belakang kepala saya.
Dokter juga menjelaskan bahwa segera setelah benjolan
dikeluarkan, akan dilakukan serangkaian tes patologi untuk cek apakah itu jinak
atau ganas. Jika ganas, maka setelah operasi, akan ditentukan tindakan
selanjutnya yang bisa saja berupa radiotherapy atau chemotherapy tergantung
stadium keganasannya.
Saya dengar penjelasan itu. Jelas. Terang. Tapi entah
gimana, saya nggak simpan di kepala. Atau mungkin juga entah gimana, ada
sesuatu dalam hati dan kepala saya yang bilang, “You’ll be just fine. This will
be over soon. Kan hasil-hasil tes lain udah jelas nunjukin nggak ada apa-apa”. Dengan
itu, saya santai.
Tapi sepertinya saya terlalu santai.
--
Operasi jam 2 siang. Sekitar jam 5 saya kembali ke ruang
rawat inap.
Saya bangun, Cip di sebelah saya. Saya heran lihat gimana
Cip memandang saya lama sebelum cerita apa hasil operasinya. Ternyata ada 3
benjolan. Yang jelas tumor hanya 1. 2 lagi cuma lemak yang mengeras. Dokter juga
menelusuri sampai ke kelenjar di ketiak untuk memastikan tidak ada jejak-jejak
apapun disitu. Dan hasilnya clear. All clear. Hasil patologi juga memastikan tumornya
jinak.
Cip ceritakan semua itu dengan runut dan tenang. Tapi saya
tahu matanya. Saya kenal ada apa di mata itu. Hampir 15 tahun menikah dengan
orang yang nggak banyak omong ini bikin saya cukup kenal dengan air muka dan
isi matanya. Ada kelegaan luar biasa disitu. Sesuatu yang saya lihat pertama
kali hampir 12 tahun yang lalu setelah saya selesai dioperasi cesar saat
melahirkan Tara.
Bukan cuma kelegaan bahwa operasi sudah berakhir. Tapi bahwa
saya baik-baik saja. Bahwa (insya Allah) cerita tidak akan ada sambungannya dan
kami akan baik-baik saja.
Disitu saya baru sadar. Eh buset, implikasi operasi ini
kelihatannya saya anggap enteng banget. Saya pun lupa ada orang-orang terkasih
yang justru lebih stres daripada saya nunggu hasilnya. Dan saya juga lupa bahwa
tanpa mereka, nggak mungkin saya juga bisa sesantai itu menjalani operasi.
--
Hidup itu penuh dengan kejutan. Ada yang manis, ada yang
sedikit kecut, ada yang kecut banget, ada yang super pahit.
Pulang dari rumah sakit, Cip bilang, “Kita beruntung. Kalau masih
ada kelanjutan dari operasi ini, it’s a totally different ball game. Aku nggak
tahu akan sekuat apa kita. Aku nggak tahu gimana harus ngadepinnya”.
And that’s
very true. Nggak ada yang pernah bisa memprediksi sekuat apa kita sebetulnya
menghadapi peperangan. Peperangan melawan ketakutan dalam diri sendiri. Because
at the end of the day it’s always a fight with yourself. Dan itu adalah kejutan
yang paling nggak menyenangkan, menurut saya. Super pahit.
Alhamdulillah Tuhan juga berjanji bahwa Dia tidak akan
menimpakan sesuatu yang tidak akan sanggup kita pikul. So I guess, Tuhan sekali
lagi menunjukkan kasih sayangnya dengan memberikan kejutan yang masih bisa kami
hadapi bersama.
Entah apa lagi kejutan yang akan harus kami hadapi di depan.
One thing for sure, selalu ada jaring-jaring kasih sayang yang menguatkan. Dari
Tuhan, dan dari orang-orang terkasih sekeliling kita. I am forever grateful for
their existence..
R I R I
(kejutan lain yang nggak penting adalah ‘operasi kecil’ ini
meninggalkan 3 bekas jahitan, dan berhari-hari tidak bisa mandi di udara yang
sumuk ini. OK sip. Rasanya saya juga belajar untuk menerima kejutan dari setiap
operasi, sekecil apapun dia. Karena badan nggak bisa diatur :D)
No comments:
Post a Comment