Saya tidak dibesarkan dalam keluarga yang kalau melakukan
perjalanan selalu menginap di hotel. In fact, selalu di rumah saudara, atau di
losmen-losmen kecil. Kadang bahkan, di mobil, atau menggelar tikar di tepi
pantai, dan membentang plastik di atas kepala yang diikatkan ke batang pohon
dan mobil. Mandi? – ada jerigen air di mobil, dan ada sarung untuk menutup
badan saat mandi.
Ada beberapa perabotan standard yang selalu ada di mobil
setiap perjalanan: jerigen untuk air tawar, termos air panas, gelas-gelas
plastik, kopi, teh, susu bubuk dan gula (waktu itu belum ada semua produk
sasetan, dan nggak ada minimarket padahal almarhum Papa sering sekali ajak kami
ke daerah-daerah yang ketlisut entah dimana di peta), selimut dan bantal.
Rempong?. Dulu rasanya sih biasa aja.
Saya baru mengenal nginap di hotel yang pakai
bintang-bintang itu waktu kerja. Umur saya sudah 24 tahun. Pertama kali dikirim
kerja ke Surabaya. Pengalaman pertama juga naik pesawat sendirian. Sumpah waktu
itu persis orang bego karena saya nggak tahu apa yang harus dilakukan waktu
check in ke hotel.
Seiring berjalannya waktu, saya makin banyak melakukan
perjalanan. Dan tanpa saya sadar, sepertinya saya mulai kehilangan sisi dimana
saya bisa bilang pada diri sendiri, “Ah gitu aja mah gue sanggup”.
--
Tahun lalu saya sudah memutuskan tahun ini saya harus
melakukan sebuah perjalanan yang akan menantang diri saya sendiri. Lompat dari
satu pulau ke pulau lainnya. Expect the unexpected. Meluaskan lagi kapasitas
otak saya untuk melakukan hal yang baru diluar hal-hal rutin.
Tadinya, destinasi itu bernama Togean. Sebuah kepulauan di
wilayah Sulawesi Tengah. Kenapa Togean? – saya baca, tempat itu indah. Di jaman
Soeharto dia terkenal dengan pertanian mutiara. Tapi lalu entah bagaimana
terlupakan. Dan baru-baru ini saja namanya terangkat kembali.
Dan kenapa Togean? – karena susah menjangkaunya!. Dari
Jakarta saya harus ke Luwuk. Dari sana naik mobil dulu ke pelabuhan, lalu naik
kapal ke salah satu pulau di Togean yang lamanya sekitar 4 – 5 jam. Baru lompat
dari satu pulau ke pulau lainnya dengan perahu yang ada disana (yang, sejauh
yang saya cari dengan bantuan mbah Google, kelihatannya tergantung pada nasib
baik dan koneksi dengan nelayan setempat saja).
Buat saya itu menantang sekali. Entah kenapa, mungkin faktor
usia, rasanya saya ingin menaklukkan angka 45. Merdeka! #eh
Tapi rencana saya itu harus diubah karena titah suami.
Sebandel-bandelnya saya, saya seorang istri yang harus dengar kata suami juga
selama yang dia bilang itu masuk akal. Lagipula, daripada saya bikin dia
khawatir karena perjalanan yang jauh itu, lebih baik saya nurut.
Dia mengajukan alternatif lain: Wakatobi. Sebuah taman
nasional yang sudah lama juga saya dengar namanya dan dalam kepala saya, lebih
terkenal dibanding Togean.
Karena Wakatobi sepertinya sudah dikenal lebih lama, lalu
punya sebuah bandara, di pikiran saya harusnya tempat ini jauh lebih berkembang
dibanding Togean yang kedengarannya lebih ‘wild’.
Lalu saya putuskan cari teman saja – lebih karena terpikir 8
hari di jalan, kalau malam saya ngobrol sama siapa nanti?. Dan untungnya ada
yang mau ikut. So off I went.
Ternyata...oh ternyata...8 hari yang menarik sekali.
--
Ekspektasi saya begini:
- Pulau-pulau di Wakatobi kurang lebih sudah seperti pulau Seribu. Artinya, listrik sudah ada, penginapan walaupun jenisnya bisa saja homestay tapi paling tidak ada kipas angin (sukur-sukur, AC)
- Koneksi antar pulau, walaupun bisa aja tetap pakai kapal kayu rakyat, tapi sudah kurang lebih ‘rapi’
- Salah satu pulau yang saya memang tertarik sekali untuk sambangi, pulau Hoga – yang hanya sekitar 15 – 20 menit naik kapal dari Kaledupa, adalah pusat penginapan para mahasiswa peneliti dari Yayasan Walacea. Jadi, fasilitas pulau ini, sepertinya juga akan sudah berkembang dengan baik
Ternyata satu persatu ekspektasi saya itu gugur dengan
sukses.
Listrik, ternyata adalah tantangan terbesar dari pulau-pulau
ini.
Saya memang pernah menginap di Liukang, sebuah pulau kecil 5
menit dari pantai Bira, Sulawesi Selatan. Disana, listrik baru menyala jam 6
sore sampai jam 6 pagi.
Tapi itu stabil – setiap hari jadwalnya seperti itu.
Naaahhh nggak gitu di Wakatobi.
Di pulau tempat kami menginap pertama kali untuk 4 hari,
Tomia, listrik sudah setahun byarpet. Ada giliran pemadaman, tapi ya kalau apes
bisa aja dia mati seenak udel. Jadilah selama 4 hari, kami alami byarpet setiap
hari. Masih untung karena di penginapan kami ada genset, lumayan menolong
karena masih bisa nyalakan kipas angin karena 2 hari terakhir terutama, udara
luar biasa panas. Tapi begitu ada
matahari ya jelas genset tidak dinyalakan. Jadi kami harus pakai lilin untuk di
kamar mandi kalau sudah begitu, karena kamar mandinya tertutup dan gelap.
Pulau dengan perkampungan yang cantik |
Masih ada rumah-rumah panggung dengan langgam khas Buton disana sini |
Mereka ini banyak sekali keliaran sana sini |
Dari Tomia, kami pindah ke Hoga. Ini pulau yang saya kira
fasilitasnya lebih OK karena selalu jadi pusat tinggalnya mahasiswa penelitian
dari luar negeri. Ternyata: listrik belum ada di pulau itu. Setiap penginapan
yang ada disitu, harus mengupayakan listrik mereka sendiri dengan mesin mereka
sendiri. Jadilah di penginapan kami, listrik hanya nyala dari jam 6 sore sampai
11 malam.
Tapi memang pantainya cantiiiik sekali |
Dan sunset yang menawan bahkan saat berawan |
Asiknya, penginapan ini terletak di bawah pepohonan rimbun,
dan di belakang penginapan ini masih bersemak. Kebayang nggak, nyamuk dan
serangganya?. Seru deh kami bertengkar dengan mereka semua itu begitu sore
datang. Plus, tidak ada kipas angin di kamar padahal karena dilingkupi
pepohonan, tidak ada angin berhembus ke dalam kamar kami. Asiknya juga, kamar
mandi terpisah di belakang kamar. Artinya, begitu lampu mati,
yaaa...gelap-gelapan deh jalan ke kamar mandi. Bodohnya kami juga lupa minta
senter atau lilin padahal di hari berikutnya kami harus siap-siap jam 4.30 –
dimana karena tempat yang tertutup rapat dengan pohon, ya masih gelap gulita.
Seru abis!.
Karena kami sudah agak lelah menghadapi kegelapan, kami
berharap begitu pindah ke Wangi Wangi yang merupakan pulau paling besar dimana
terletak Wanci, ibukota kabupaten Wakatobi, listrik lebih stabil.
So much for hoping...haha. Walaupun tidak separah di
pulau-pulau lainnya tapi tetap ada beberapa kali mati lampu.
Itu baru soal menghadapi lampu byarpet.
Yang seru juga waktu kami harus pindah dari satu pulau ke
pulau lainnya. Perjalanan dari Wangi Wangi ke Tomia yang kami tempuh dalam
waktu 3 jam masih OK lah.
Interior kapal dari Wanci ke Tomia |
Dari pulau ke pulau di Wakatobi kurang lebih seperti ini kapalnya |
Menikmati pagi di atas kapal asik juga - dari Tomia ke Hoga, jam 6.30 |
Yang menarik, saat kami pindah dari Hoga ke Wangi Wangi.
Tadinya saya kira kapal akan membawa kami ke Kaledupa dulu, baru dari sana kami
naik kapal menuju Wangi Wangi. Ternyata kapal tidak bisa mendarat ke dermaga
Kaledupa karena air terlalu surut. Jadilah kami ‘menyetop’ kapal ke Wangi Wangi
di tengah lautan di antara pulau Hoga dan Kaledupa – we practically jumped to
the other boat, di tengah lautan. Seru banget!.
Sebagai lompatan terakhir, dari Wangi Wangi kami menuju
Baubau. Naik kapal kayu angkutan rakyat reguler yang berangkat jam 9 malam dari
Wanci dan tiba di Baubau jam 6 atau 7 pagi tergantung kondisi laut. Saya memang
sudah baca bahwa naik kapal ini artinya adalah kami harus tidur di geladak yang
‘disulap’ jadi semacam pelataran dimana orang bisa berbaring.
Ini di kapal dari Hoga menuju Wanci. Tapi ya kurang lebih seperti inilah geladak kapal dari Wanci ke Baubau |
Jadi kurang lebih saya sudah siapkan mental untuk tidur
dengan bau mesin, bau kaki orang, bau keringet orang, dan angin laut malam
hari. Eh tapi ternyata, menurut operator tur lokal yang membantu kami mengatur
perjalanan ini, sebetulnya ada kabin yang bisa disewa. Wah ya alhamdulillah
toh?. Jadilah kami iyakan saat mereka nawarin mau disewakan kabin atau tidak.
Dan ya namanya nggak pernah naik kapal kayak gitu, culture
shock adalah saat lihat tempat tidurnya. Dengan banyak kotoran entah serangga
entah cicak entah tikus, dan seprai yang warnanya yaaa gitu deeeh – seperti
tidak diganti setelah ditiduri beberapa orang sebelumnya, kami sempat
berpandang-pandangan sejenak. Tapi untung masing-masing kami bawa kain jadi ya
kami tebarkan di atas tempat tidur itu dan voila, we slept through the night.
Ini kapal yang kami tumpangi dari Wanci ke Baubau |
Tampang pasrah sebelum berangkat |
--
And now, here I am, back in the Big Durian.
Saya nulis semua di atas itu bukan untuk mengeluh. Bahkan,
saya rasanya malu pada saudara-saudara kita disana. Iyaaa memang pasti kita
sudah banyak dengar cerita-cerita macam itu. Tapi mengalaminya sendiri, was
totally different. It really kicks you in the butt – at least for me.
Selama 8 hari ini saya tiba-tiba tersadar betapa sudah lama
saya terbuai dengan yang namanya stabilitas dan kenyamanan. Betapa saya
ternyata sudah demikian renta untuk menghadapi setiap kejutan. Ada hari-hari,
terutama setelah hari kelima, dimana saya merindukan stabilitas itu. Sekedar
bisa mengalami hari yang mulus tanpa listrik yang byarpet.
Lalu saya merutuki diri sendiri, “Gila loe Ri, manja banget
sekarang”.
Apakah itu buruk?. Ya nggak juga sih. Kalau kata teman jalan
saya kali ini, “Kan kita benernya nggak minta aneh-aneh juga. Standard kita
juga nggak tinggi”. Hehehe...iya ada benarnya itu.
Still, at the same time, saya ingin tetap cukup agile to
rough it up. Sekedar untuk mengingatkan diri untuk tidak terbuai dengan
kenyamanan yang bisa bikin manja. Karena itu ada bahayanya: kita jadi lupa
bahwa di atas semua stabilitas dan kenyamanan yang kita dapatkan, jangan-jangan
ada mereka yang terkorbankan secara tidak sengaja. Entah iya begitu atau tidak,
tapi mungkin ada baiknya berpikir demikian.
And the best thing is to experience it yourself, once in a
while, cause then it gets stuck somewhere in your mind, and your heart. Bukan
buat dibilang jago jadi backpacker, biasa merana, tapi biar hatinya lebih
piknik.
(R I R I)
No comments:
Post a Comment