Pagi ini iseng scrolling IG. Lalu melihat salah satu akun
yang saya ikuti, mem-post foto ini.
Saya baca dengan seksama. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Dan
saya tertegun.
Harus, ya, segitunya kita harus bereaksi karena adanya kasus
ini itu yang menyangkut anak-anak yang depresi lalu bunuh diri?.
Tolong dicatat dulu.
Saya bukan bilang bahwa kasus-kasus tersebut bisa diabaikan.
Tentu kita semua harus prihatin, dan refleksi diri: apa yang sudah (atau belum)
saya lakukan sebagai orang tua untuk memastikan anak-anak saya tidak mengalami
hal yang sama?. Apa yang sudah (atau belum) saya lakukan supaya anak-anak saya
bermental kuat apapun yang harus mereka hadapi, ada orang tuanya ataupun
tidak?. Sudahkah saya mempersiapkan anak-anak saya menghadapi berbagai
tantangan di luar sana?. Adakah dukungan yang cukup saat anak saya harus
menghadapi tantangan yang membuat perasaannya terganggu?.
Tapi tidak lalu bereaksi terhadap lagu, yang saya yakin
banyak sekali orang di Indonesia ini yang kenal, dan menyarankan mengubah
kata-katanya. Bagi saya, itu adalah reaksi kepanikan. Dan sebagaimana panik,
tidak pernah produktif dan tidak pernah menyelesaikan masalah.
Saya dan juga banyak sekali orang tua di Indonesia ini,
pasti dibesarkan dengan lagu itu juga. Pertanyaan saya: apakah saat ini saya,
atau anda, depresi atau jadi orang yang lembek terhadap tantangan hidup?. Jika
jawabannya iya, pertanyaan selanjutnya: apakah karena saya, atau anda, jadi
lembek karena dulu wkatu kecil menginternalisasi lagu tersebut sebagai 'kalau
ada kejadian yang tidak enak maka kita harus bersedih dengan kekacauan
perasaan'?.
Saya yakin jawabannya tidak.
Kita tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang kompleks.
Kita semua. Ada sekolah, ada rumah, ada tempat les dan sebagainya. Interaksi
antar manusia adalah salah satu hal yang paling kompleks di dunia ini. Penuh
dengan emosi, reaksi - aksi, bahasa dan sebagainya.
Ada pula berbagai hasil budaya, misalnya film, musik, tarian
dan sebagainya.
Semua itu, membawa dampak pada bagaimana kita terbentuk
sebagai manusia yang utuh. Apakah dampaknya baik atau tidak, tergantung lagi
pada bagaimana kita 'dibentuk' oleh orang tua di rumah. Iya. Saya selalu yakin
rumah, adalah sumber segala pendidikan.
Jadi mudah 'jatuh' atau tidak karena tantangan hidup, juga
dibentuk dari rumah. Apa yang dilatihkan oleh orang tua kita, siapapun orang tua itu (karena ada juga kan yang dirawat bukan oleh orang tua kandung), menggunakan stimulus apapun, akan berbekas di benak dan hati kita dan membuat siapa kita sekarang.
Dan dalam kadar yang berbeda ada pula para guru dan pendidik sekitar kita yang berperan menyumbangkan pecahan-pecahan ilmu akademis maupun hidup, yang menyatu dalam diri kita.
Kembali pada lagu tadi, saya malah melihat dalam karya aslinya, lagu itu bisa membantu anak mengetahui apa
perasaannya. Sesuatu yang juga harus diajarkan. Mengenali emosi, adalah juga
cara untuk mengajarkan anak belajar empati. "Apa yang kau rasakan kalau
balonmu meletus?", itu kan pertanyaan wajar saja. Kalau jawabannya sedih,
terus kenapa?. Lha iya kan, rasa itu ada. Kenapa dinegasikan?.
Tapi ya tentunya PRnya orang tua adalah mengolah, kenapa
tidak apa-apa sedih. Seberapa lama boleh sedih. Apa yang bisa dilakukan kalau
sedang sedih kehilangan balon, atau boneka, atau nilai yang diinginkan, atau
kelak, pacar. Lebih jauh lagi, apa yang bisa dia lakukan kalau dia menghadapi ORANG LAIN yang mengalami kehilangan itu. Dia tahu apa rasanya, jadi apa yang dia bisa lakukan untuk membantu orang tersebut melalui proses kehilangan.
Proses ini tetap perlu dirasakan, dialami, dibicarakan. Supaya anak menjadi kuat karena mengerti apa yang dia rasa dan bagaimana menghadapinya.
Dan lebih jauh lagi jika dia tahu bahwa dia bisa merasa seperti itu, maka orang lain yang mengalami situasi yang sama, bisa jadi mempunyai rasa yang sama. Itu adalah dasar empati.
Jadi, ya jangan salahkan lagunya, atau dalam bentuk lain misalnya filmya, atau
puisinya. Tapi lihat bagaimana kita bisa menggunakan lagu, film, atau tarian, atau
puisi, apapun itu, sebagai alat untuk membentuk anak secara benar.
Saya sering jadi khawatir sekali dengan bagaimana sebagian
masyarakat kita ini bereaksi terhadap sebuah kejadian. Sering terlihat lebay dan
panik di mata saya. Lalu memunculkan himbauan ini itu lah, larangan lah, fatwa
lah, sampai ya itu, saran mengubah lirik lagu. Ada yang namanya Hak Cipta lho.
Anda mau kena tuntutan pelanggaran undang-undang hak cipta?.
Lalu sadarkah kita, sikap seperti itulah justru yang jika
diobservasi anak, yang dalam pengalaman saya sebagai Ibu, mereka itu jagoan
mengobservasi dalam diam lalu disimpan di benaknya untuk kemudian dicontoh,
malah membuat mereka jadi lembek dan tidak tangguh?. Merasa selalu ada yang melindungi, alih-alih belajar
menghadapi.
Mari kita semua belajar berpikir logis, kepala dingin, dan
tidak reaktif. Belajar untuk tidak selalu membuat pagar setiap kali ada
kejadian tidak enak terjadi. PR kita sebagai orang tua adalah menguatkan mental
anak dengan cara yang masuk akal. Menghilangkan stimulus-stimulus yang MENURUT
KITA negatif, itu tidak membantu. Mereka hanya akan tumbuh dalam gelembung
kenyamanan, dan akhirnya, tumbuh jadi manusia-manusia yang lembek dan mudah
menyerah.
Biarkan anak menghadapi dunia apa adanya. Tapi juga siapkan
diri kita buat ada dalam hidup mereka seutuhnya. Hadir di sisi mereka. Menjadi
tonggak penguat yang bisa mengajak mereka berdialog tentang perasaannya dan apa
yang harus dilakukan, secara logis.
Let's not do panic parenting. It does no good to anyone.
Have a good Friday.
No comments:
Post a Comment