Itu mah gue juga tahu.
Hehehe…. Iya, gue juga pernah tuh mikir gitu. Nggak perlu
dikasih tahu emang iya kok, semua yang ada di hidup kita kan sementara aja.
Tapi, ya, memang lebih mudah bilang, “Ah gue juga tahu”,
saat kita belum ngalami sendiri apa rasanya harus menghadapi kesementaraan yang
meninggalkan luka.
Tamparan yang paling sakit bagi gue sebagai pengingat terhadap
kalimat itu, adalah saat Papa meninggal. Begitu mendadaknya. Hanya selang
sehari dari kali terakhir gue dengar suara beliau lewat telepon. Tiba-tiba
saja, beliau pergi. No sign. No goodbye. He’s gone. For good.
Bertahun-tahun setelahnya, lukanya nggak sembuh-sembuh. Kehilangan
yang terlalu menyakitkan. Dan butuh waktu cukup lama untuk bisa menyembuhkan
diri gue sendiri dari rasa kehilangan, rasa bersalah karena tidak bisa lagi ucapkan
terima kasih secara langsung, dan bahkan, rasa marah pada Tuhan karena
mengambil beliau begitu mendadak.
Tapi ternyata, perjalanan menghadapi kehilangan Papa dan
semua yang terkait dengan itu, membantu mempersiapkan gue menghadapi kesementaraan-kesementaraan
lainnya dalam hidup.
Jatuh bangun saat harus mimpin sebuah perusahaan dan angka
penjualan tiba-tiba jatuh ke jurang. Setengah mati menyemangati diri sendiri,
dan tim, supaya jangan menyerah. Bahwa kejatuhanpun, adalah hal yang sementara.
Mulai lagi dari awal saat memutuskan berhenti dari dunia
korporasi, saat jabatan saat itu sudah lumayan tinggi. Sempat kerja paruh
waktu. Sampai lalu memutuskan gabung ke perusahaan teman dengan jabatan yang
sama dengan yang gue jalani 8 tahun sebelumnya. Tapi apa sih artinya jabatan dan
semua fasilitasnya? – kesementaraan dalam pekerjaan, itu saja.
Memulai usaha sendiri. Lalu jatuh bangun membesarkannya bersama
tim. Dan dalam kurun waktu hampir 10 tahun ini, mengalami banyak sekali hal
yang membuat gue kadang ketawa sendiri. Kesementaraan-kesementaraan yang
lucu-lucu. Dari mulai anggota tim yang keluar masuk, pencapaian target yang
naik turun, sampai semangat yang hilang timbul untuk terus bergerak. Lucu, sekarang.
Menjalaninya sih, ya kesel, sedih, frustrasi. Tapi ya itu, semuanya sementara. Lewat
juga kok.
Lalu sekarang ada pandemi.
--
Saat gue menulis ini, sudah 3 bulan kami sekeluarga lebih
banyak di rumah saja. Cip baru kerja ke kantor hampir setiap hari, di 3 minggu
terakhir dari 3 bulan itu.
Pekerjaan dia dan gue dalam kondisi yang sama sulitnya. Bisnis
melambat. Mungkin nasib gue masih lebih beruntung daripada Cip yang harus
bertanggungjawab pada korporasi besar, dan apa yang dia harus putuskan juga mau
tidak mau terkait pada korporasi. Dia juga punya tim yang lebih besar. Dan dia
adalah kepala keluarga.
Sementara gue, ‘cuma’ bertanggung jawab pada 3 rekanan
bisnis, dan 5 anggota tim. Punya keleluasaan buat memutuskan apa yang harus
dilakukan, tanpa harus tunggu siapapun.
Mudah?. Hmmmm…..nggak juga sih.
Salah satu ketakutan gue sejak dulu, yang menahan gue dari
bikin usaha sendiri bertahun-tahun lamanya padahal Cip sudah selalu mendorong
untuk mulai, adalah takut bangkrut. Sekarang, ketakutan itu membayangi gue. Setiap
bulan pertanyaan yang mengemuka adalah: masih punya uang berapa kita buat bayar
gaji karyawan?. Walaupun karyawan kami dihitung dengan jari di dua tanganpun
tidak habis, tetap saja, mereka adalah tanggung jawab.
Tapi yaaa itulah. Sejak pandemi ini terjadi, gue kembalikan
pada hal yang sama: semua hanya sementara. Virusnya mungkin nggak sementara. Itu
sih gue yakin dia akan stay seperti halnya virus flu. Tapi pasti kita akan
menemukan jalan keluar dari segala yang jadi akibat dari pandemi ini. Lha kita
ini dianugerahi otak tuh buat apa kalau bukan dipakai berpikir, “What’s next?”.
Mau namanya new normal kek, new abnormal kek, abnormal yang normal kek, apalah
apalah apalah jargon yang mau dibuat, intinya kan satu: ada jalan keluar, kok.
Cuma mungkin kita memang perlu keteguhan mental dan ‘cara’
supaya mental ini teguh menghadapi semua kesementaraan dalam hidup.
Gue biasanya berpegang pada 3 hal ini: jangan pernah
bereaksi ‘terlalu’, jangan pernah mengaitkan diri pada jabatan dan harta, dan
jangan pernah lupa berbuat baik pada sekitar.
Terlalu senang, terlalu sedih, terlalu cinta, terlalu benci,
semuanya payah. Perasaan harus dikontrol oleh otak supaya tidak terjebak dalam
yang terlalu-terlalu itu. Sehingga saat ada kehilangan, kita juga bisa cepat
santuy dan berpikir logis di alur yang benar.
Jabatan dan harta – salah dua dari hal yang menurut gue
paling sementara dalam hidup. Hari ini Managing Director, besok jadi kuli. Hari
ini dompet ada isinya, minggu depan kering kerontang.
Roda hidup selalu berputar. Dan gue selalu yakin bahwa
perputaran itu, KITA yang bikin. Keputusan-keputusan kita dalam hiduplah yang
memutar roda hidup kita sendiri. Dan bagaimana kita menyikapi hal-hal yang
tidak bisa kita kontrol, ya tergantung pada kita menyandarkan diri kita pada
apa. Dan saat kita menyandarkan diri pada jabatan dan harta, menurut gue sih,
we are asking for trouble.
Misalnya ya buat gue, jadi MD ya memang tetap saja kuli sih.
Lha wong kita tetap kerja karena dan buat orang lain kok. Intinya kan cuma satu:
bekerja dan berkarya. Itu yang dipegang. Jadi kadang gue bingung kalau ada yang
turun jabatan lalu jiwanya meronta. Santai brosis. Masih hidup toh?. Masih punya
otak toh?. Pakailah buat cari jalan keluar. Jangan dipakai buat merintih.
Berbuat baik membuka pintu-pintu rejeki. Gue amat sangat
percaya pada yang satu itu. Banyak contohnya. Dalam hidup gue sendiri, sering
sekali gue menemukan jalan-jalan terbuka di saat-saat gue bingung, dan gue
selalu meyakini itu adalah jalan yang dibukakan oleh apapun kebaikan yang
pernah gue lakukan. Bukan berarti gue bilang gue orang baik, lha wong gue
sering dibilang galak. Tapi sepertinya sih ada laaahhh saat-saat gue cukup
eling lalu berbuat baik. Apapun itu.
Dan berbuat baik juga bukan hanya pada manusia. ‘Sekitar’
kita ini bukan cuma banyak manusia kan?. Ada hewan, tumbuhan. The earth, is our
universe. Jadi berpikirlah juga bahwa berbuat baik itu, bisa pada apapun yang
ada di sekitar kita. Bahkan pada seekor semut kecil yang nggak sengaja tercemplung
dalam minuman kita, kita tolong dia keluar, itu sudah berbuat baik. Paling tidak
itu menurut gue.
--
Jadi yaaah santuylah brosis. Seberat apapun beban yang saat
ini harus kita jalani, yakini saja, semua hanya sementara. Asal sandaran kita
benar, bukan pada istri atau suami orang #eh, yakini saja bahwa semua yang
susah dan berat sekarang, akan bisa dilalui. And we will come out stronger.
And God is good. Jika anda percaya itu. Kalau ndak ya monggo,
asal percaya pada kemampuan otak anda buat keluar dari masalah. Karena otak
orang lain belum tentu paham apa yang badan dan hati anda inginkan.
Semangat!.
No comments:
Post a Comment