Menikmati sore di pantai Ora |
Saya sering ditanya ini, “Kok bisa sih loe jalan sendirian dan lumayan sering”.
Dulu waktu masih muda-an dikit, saya malah nggak pernah sih
memang jalan sendirian. Kalau nggak sama teman-teman kuliah, ya sama keluarga,
atau sama kakak saya.
Entah kenapa, setelah punya anak, saya malah punya kebutuhan
yang amat sangat besar untuk sesekali sendirian.
Tadinya, ada perdebatan panjang dengan diri sendiri. “Ih gue tega banget ninggalin Tara”. “Kalau
ada apa-apa kan kasihan Cip sama Tara”. “Gue ibu apaan sih kok udah punya anak
malah pengen sendirian”.
Belum lagi saya kan juga ibu bekerja. Waktu baru ada Tara, setiap
hari pergi kantor pagi, pulang malam. Walaupun nasib saya masih lebih baik
dibanding teman-teman yang tinggal di suburbs-nya Jakarta karena masih bisa
ketemu anak waktu dia masih melek, ya tetap saja ada rasa bersalah sana sini.
Jadi kalau kebutuhan saya untuk sendirian tiba-tiba muncul,
rasanya nggak enak banget.
Cuma ada satu hal yang kemudian saya sadari sendiri.
Setiap kali saya kembali pulang dari my moments of solitude,
saya memang merasa segar secara mental.
You may say it’s obvious. Tapi, gini, saya ceritain deh.
--
Dulu ibu saya, yang mantan ibu bekerja, pernah bilang gini, “Jadi ibu tu nggak boleh sakit. Nggak boleh
bilang capek”.
Saya nggak ngerti dulu apa maksudnya sih si Mama nih. Dan dasar
remaja kutu kupret, dalam hati saya cuma komentar, “Ah ini biasa deh….pasti lagi kesel”.
Tapi sekarang, saya jadi paham pake banget maksud beliau. Dan
saya jadi pening sendiri kalau mikir itu gimana dulu ibu saya menghadapi apa
yang beliau harus pikirkan dan kerjakan. Urusan kantor. Urusan keluarga – baik ngurusin
kami maupun keluarga besarnya. Belum lagi ngurusin rumah karena dulu kami
sering sekali nggak punya pembantu. Plus tetek bengek lainnya.
Saya sekarang baru ngerti apa maksud beliau bahwa jadi ibu
memang kadang nggak boleh sakit atau bilang capek. Ya karena memang adaaaaaa
aja.
Baru bangun tidur, sudah ada urusan siapa maunya sarapan apa
dan bawa bekal apa. Lanjut mikir ngatur lalu lintas alias siapa harus dijemput
kapan dan jam berapa lalu harus kemana lagi setelah itu. Dan kalau masih ada
kegiatan, harus dibekali apa dan harus titip pesan apa pada orang yang di rumah
kalau saya harus keluar untuk kerja.
Belum lagi kalau harus ingat apa yang harus dibayar kapan. Ditingkahi
dengan sederetan deadline dan skedul meeting dan urusan kantor lain yang sering
datangnya dadakan. Apalagi karena saya punya tim yang virtual alias nggak
ketemu muka tiap hari di sebuah gedung kantor, nyalain hape pagi hari (saya punya
kebiasaan mematikan hape kalau mau tidur), kadang bisa seru banget karena ada ‘kejutan
manis’ entah lewat e-mail atau Whatsapp.
Dan paling asik kalau pagi-pagi ada bumbu, “Bundaaa, ini-ku (bisa seragam, bisa sepatu,
bisa tas, bisa buku sekolah….you name it) dimana ya?”. Ya biasanya saya
selepet dengan bilang, “Cari dan bukannya
cuma teriak. Itu kan barangmu bukan punya aku” (ngapain saya yang harus
pusing nyariin barang mereka…nggak ada itu di kamus saya sih…).
Itu, hari normal. Setiap hari. Yang tidak normal biasanya
kalau ada yang sakit, ada urusan mendadak, dan ini itu lainnya yang bikin saya butuh
waktu untuk berhenti, inhale exhale, and get on with it.
Iya memang ada ayahnya anak-anak yang selalu bantuin. Tapi ya,
biar gimanapun membantunya seorang ayah, ibu tuh biasanya memang yang lebih
banyak tahu ini itu-nya anak-anak. Nggak menegasikan peran ayah tapi ya itu
menurut saya sudah kodratnya ibu ya begitu itu mau diapain juga.
Semua hal rutin (dan yang nggak rutin juga sih), nggak bikin
saya capek fisik memang. Tapi dari segi pikiran, seringkali terasa otak jadi
bumpet. Not in a debilitating way dan membuat saya nggak bisa mikir lagi sih,
tapi pasti ada momen dimana rasanya pengen tutup kuping, tutup mata, dan
ngacir. Hehehe….
Nah dulu saya merasa jahat mikir kayak gitu. Tapi lama-lama,
hey, saya kan manusia. Dan siapa bilang mentang-mentang saya seorang ibu terus
saya nggak boleh istirahat dari peran saya, sebentar saja?. Karena kalau mental
saya lelah, yang rugi kan juga anak-anak (suami mah wassalam…salahnya mau
nikahin saya, udah tahu galak…). Saya jadi nggak lagi punya kapasitas untuk mau
mendengarkan mereka. Kesabaran saya pasti di tingkat ketipisan yang
membahayakan. Saya jadi uring-uringan.
Dan akhirnya, daripada saya jadi a Monster Mom, saya memilih
untuk berdamai dengan diri sendiri dan mengijinkan diri saya untuk cooling
down, sendirian, from time to time.
Kenapa harus sendirian?. Wah itu masalah preferensi saja. Saya
merasa lebih nyaman sendirian karena memang tujuannya untuk cooling down dari
ngurusin orang lain. Saya cuma perlu mikirin kebutuhan saya dan bukan kebutuhan
orang lain. Saya memang mau memanjakan diri, dan itu artinya ya pergi
sendirian, melakukan yang saya mau, seenaknya saya (walaupun ada juga yang
pernah komentar, “Gue nggak ngerti konsep
loe pampering yourself. Pampering kok ke tempat yang susah-susah. Hiking, kalo
nggak diving. Bangun pagi buta buat ngejar sunrise. Jogging. Orang tuh ke spa,
leyeh-leyeh, nginep di villa, dilayanin, itu baru pampering”. Hehehe….yaaah….gimana
dong…).
Tapi kan setiap orang punya cara sendiri untuk cooling down –
jadi ya silahkan pilih saja, mau sendirian atau ajak teman.
Cuma menurut saya walaupun kita ini makhluk sosial, menyepi
itu selalu menguntungkan. Paling nggak, ada 3 hal yang asik dari menyepi:
- It gives you time to appreciate yourself, and appreciate the presence of others in your life.
- It gives you time to listen to yourself, yang seringkali dengan banyak alasan apalagi kalau kita adalah seorang ibu dan Istri, harus kita kesampingkan demi kebutuhan orang-orang yang kita sayang.
- It gives you time to realize that there is a bigger life out there. Karena begitu sendiri kita akan jadi sadar banget betapa kerdilnya kita, dan itu membuka mata dan hati bahwa selama ini jangan-jangan kita terlalu egois.
Poin pertama dan kedua, begitu saya jadi ibu, terasa sekali
manfaatnya. Pulang ke mereka, setelah menyepi, itu bikin saya recharged. Jadi bukan
cuma karena saya sempat istirahat yang bikin saya kembali segar secara mental,
tapi juga pulang ke mereka, yang bikin saya siap menghadapi hari. Saya teringatkan
lagi bahwa they are my energy.
Poin ketiga, saya rasa harusnya dilakukan setiap dari kita,
seorang ibu ataupun bukan. Karena dalam menjalani hari, kita kan memang sering cuma
mikirin diri sendiri dan mereka yang dekat dengan kita saja kan?. Nah kalau
sendirian, baru deh kita sadar kita ini cuma debu kok, disentil juga hilang.
Perasaan
seperti itu, mengingatkan kita buat senantiasa merunduk dan tidak memelihara
kesombongan sekecil apapun di dalam hati. Bahwa di luar sana masih banyak orang
yang lebih hebat daripada kita. Belum lagi kalau menghadapi alam....ada yang salah dengan Anda kalau masih bisa merasa sombong menghadapi laut lepas yang nggak kelihatan pinggirnya.
--
Jadi, para mamah, jangan merasa bahwa dirimu nggak pantas
istirahat. Kalau ada sebuah peran di dunia ini yang paling butuh liburan,
menurut saya ya itu, ibu. Mau bekerja atau tidak, sama saja ribetnya, dan sama
saja kebutuhannya.
Jangan pernah merasa bersalah untuk membutuhkan ‘cuti’ dari
peran itu. Dan kalau masih ada si Bapak, it’s about time he takes his mind off
work and deal with the kids and home issues. Kalau kebetulan tidak ada, mungkin
bisa cari support system yang bisa membantu.
It’s good for you, and your children.
Oh kalau masalahnya adalah Pak Suami tidak mengijinkan Anda buat cuti sebentar dari peran itu, untuk pergi sebentar tanpa dia dan/atau anak-anak....wah itu butuh tulisan lain yang mungkin nggak akan pernah saya bikin :D
(R I R I)
No comments:
Post a Comment