Sebagai ibu yang punya anak usia sekolah dasar, seperti
banyak ibu-ibu yang lain, setiap tahun saya pasti sempat nyampah di sosmed
tentang kurikulum, tentang beban pelajaran yang sedemikian berat, dampaknya terhadap kehidupan saya sebagai ibu yang juga bekerja, dan tentang sulitnya anak saya menghadapi beban pelajarannya.
Setiap tahun pula, saya sebetulnya punya pertanyaan besar
buat para guru: bagaimana caranya para guru menghadapi beban tersebut?. Apa
sebetulnya yang terlintas di kepala mereka tentang apa yang harus mereka
berikan pada semua anak muridnya?. Bagaimana lalu mereka sendiri menghadapi apa
yang harus dihadapi anak-anak mereka?.
Saya pernah menanyakan hal itu pada guru kelas Tara, anak
sulung kami. Jawaban beliau hanya sebuah senyum harap maklum kalau dalam
bahasa saya, atau kurang lebih, senyum pasrah, mungkin. Dan beliau hanya
menjawab, “Sudah tanggung jawab kami Bu, kami cuma berusaha semaksimal
mungkin”.
Semaksimal mungkin. Itu jawaban yang mungkin buat banyak
orang normatif. Tapi yang terdengar di telinga saya adalah: tidak terbatas.
Tapi saya tetap tidak punya bayangan, seperti apa sih
‘semaksimal mungkin’ itu.
Ibu saya, waktu beliau baru lulus dari Sekolah Guru di Padang Panjang, pernah jadi guru SD di pedalaman hutan Sumatera Barat saat perang
PRRI. Beliau dengan tiga temannya mengajar tanpa dibayar, kecuali sesekali
dengan satu sisir pisang, sebuah pepaya, atau sekantong beras. Saya pernah
bertanya juga pada beliau, seperti apa rasanya mengajar saat itu.
Jawaban beliau: menyenangkan sekaligus menyedihkan. Senang
karena beliau bahagia dikelilingi anak-anak dan membuat mereka bisa jadi
sedikit lebih pintar walaupun sedang masa darurat perang. Sedih, karena beliau
tahu ada banyak hal yang bisa dilakukan tapi terbatas oleh perang. Dan beliau
lontarkan ini, “Ya kita sih cuma usaha sebisa kita, semaksimal yang kita bisa
waktu itu, mau gimana lagi”. Sekali lagi, ada kata ‘semaksimal’.
Di saat perang, apa pula artinya itu. Apalagi dengan cerita
lainnya, yang membuat saya meneteskan air mata, tentang alasan kenapa beliau harus
berhenti mengajar. Suatu hari ada serangan tentara, dan sekolah pas berada di
tengah daerah yang diserang. Salah satu murid beliau, tewas terkena peluru di
kepala, di ceruk tempat mereka berlindung, hanya berjarak 2 anak dari beliau.
Sejak itu Datuk melarang ibu saya untuk kembali mengajar.
Lalu, semaksimal apakah yang harus diberikan seorang guru di
saat kacau seperti itu?.
Bapak mertua saya juga guru SMA di Ungaran. Cip sering
cerita soal Bapak yang harus mengajar sana sini supaya anak-anak beliau juga
bisa sekolah setinggi mungkin dengan pendapatan guru yang terbatas. Tapi Bapak
masih selalu punya waktu untuk bercerita untuk anak-anaknya. Dan Cip juga
cerita tentang Bapak yang tertidur di meja dengan tumpukan-tumpukan kertas
ulangan. Dan terkadang ada saja murid beliau yang berkunjung ke rumah mereka,
minta diajarkan kembali oleh Bapak. Selelah apapun beliau, pasti akan beliau
layani.
Dalam kepala saya, sekali lagi, itu juga mungkin ekspresi
semaksimal mungkin beliau.
Tapi jujur saja, kata semaksimal mungkin itu kan seringkali
kita sok paham, padahal belum tentu paham benar.
Jadi waktu saya memutuskan untuk mencoba jadi guru sehari
lewat Kelas Inspirasi Jakarta 3, saya mencanangkan: saya akan berusaha
semaksimal mungkin supaya jadi guru sehari versi saya, tidak sia-sia. Tidak
sia-sia untuk anak-anak, dan tidak sia-sia demi diri sendiri yang sudah merasa
berdosa hanya bisa nyampah di sosmed soal pendidikan di negeri indah yang saya
cintai ini, tapi sebetulnya TIDAK TAHU APA-APA tentang kenyataan yang ada di
lapangan. Dan yang tidak pernah paham
betul ‘semaksimal mungkin’ para guru itu sebetulnya seberapa.
Dan apa yang saya temui?.
Di akhir hari mengajar sehari itu, hari panjang yang dimulai
sejak jam 4.30 pagi sampai jam 7 malam saat saya sampai kembali di rumah karena harus bekerja dulu setelah mengajar, saya disambut Lila si bungsu kami.
Dia memeluk lalu mencium saya sambil berkata, “Bunda ejanya
(kerjanya) lama banget sih”.
Saat itu, tiba-tiba saja semua yang saya jalani hari itu lewat di kepala seperti sebuah video super cepat. Dan, saya RASANYA tahu apa maksudnya semaksimal mungkin
itu.
Saya merasakan betapa susahnya membuat anak-anak itu
memberikan perhatiannya buat saya. Saya merasakan suara saya yang hampir habis
berlomba dengan suara jeritan anak-anak dan suara dari kelas-kelas lain. Saya
merasakan betapa panasnya kelas-kelas itu, plus keharusan naik turun tangga
beberapa kali dalam jangka waktu 6 jam kami di sekolah itu. Saya merasakan
betapa sulitnya mempersiapkan bahan pelajaran – tentang profesi saya, dalam bahasa sederhana yang bisa dipahami anak-anak.
Saya juga merasakan energi mereka saat saya bertanya tentang
cita-cita mereka. Saya merasakan keharuan yang luar biasa melihat anak-anak
dengan seragam yang lusuh, ada yang robek di sana-sini, ada yang memakai sepatu
yang sudah sangat usang – tapi dengan semangat yang sama untuk sekolah dan belajar,
bahkan dengan semua keterbatasan mereka. Saya merasakan sangat kecil artinya
apa yang saya berikan, dibanding apa yang guru-guru mereka lakukan setiap hari,
saat mereka berkerumun meminta tanda tangan kami layaknya selebriti, sementara
guru-guru mereka memandang sambil tersenyum lebar. Ah, saya malu.
Rasanya, di akhir hari yang panjang itu, saya paham apa yang
dimaksud para guru dengan semaksimal mungkin. Mungkin ini: memberikan yang
terbaik dari diri mereka, setiap hari. Memberikan energi itu pada setiap
anak-anak, agar mereka juga bisa memberikan yang terbaik dari diri mereka,
setiap hari. Sepanjang tahun. Dan itu, sama sekali tidak mudah.
Pasti banyak orang yang secara normatif sudah tahu jadi guru
itu tidak mudah. Tapi bayangkan bahwa mereka, memberikan yang terbaik dari diri
mereka setiap hari, untuk anak-anak kita, anak-anak penerus negeri. Lalu apakah kita
masih tega tidak membantu mereka?. Apakah kita masih tega ngomel dan
nyampah di sosmed tentang pendidikan?. Dan satu lagi: masih nggak malukah kita
mengeluh lelah, saat anak-anak kita (dan tolong jangan berpikir anak-anak kita
itu hanya untuk yang punya anak, karena anak-anak negeri ini, adalah anak-anak
kita semua!) paling tidak 5 atau 6 jam sehari, mendapatkan energi dari
orang-orang hebat itu, day in day out?.
Memikirkan itu, dengan Lila di pelukan saya, saya berjanji:
Riri, no more nyampah saat elo udah tahu elo bisa berbuat dan
membantu...pikirkan anak-anak ini, yang sedang elo peluk, maupun yang sudah elo
temui tadi di sekolah...omelan loe, gak membantu diri loe sendiri, dan pastinya
tidak membantu mereka.
Saya harus mengusap air mata sebelum Lila melihatnya,
lalu saya jawab pertanyaannya, “Iya, lama ya bunda kerja hari ini ya, tapi bunda
ketemu anak-anak hebat seperti kamu dan kakak. Satu hari, ikut ya, ketemu
mereka”.
Iya. Itu rasanya usaha semaksimal mungkin versi saya
selanjutnya: membuat anak-anak saya paham bahwa mereka BERUNTUNG tidak pernah
merasakan keterbatasan apapun. Mereka harus tahu bahwa ada anak-anak lain yang
tidak seberuntung mereka, dan sebagai sebuah kesatuan, mereka semua adalah anak-anak yang jadi masa depan negeri indah ini. Dan kita, orang tua
mereka, punya tanggung jawab yang sama untuk mewujudkan cita-cita negeri ini
lewat mereka.
Some day, one day, saya tahu mereka bisa berdiri tegak dan tersenyum bersama.
Aamiiin.
(R I R I)
No comments:
Post a Comment