Alhamdulillah. Tujuh tahun menikah, dan akhirnya kami bisa juga mencicil rumah. Petak mungil tanpa kamar pembantu, dan juga tanpa tetangga muka. Hanya cemara besar, kecil, tegak atau condong, dan sesekali suara deru kereta.
Beberapa bulan terakhir ini, rumah mungil ini adalah tujuan akhir pekan kami. Melupakan taman, merry-go-round, mal, museum, Sudirman-Thamrin, toko buku, dan galeri. Bermalas-malasan sepanjang hari sembari sesekali mengaktifkan alat pacu jantung. Sekedar menengok face-book atau sesekali bergelut dengan tenggat. O iya, alat pacu jantung adalah istilah mesra kami untuk laptop..

Kalau berhasil mengelabui anak kami, saya dan Riri, tak jarang melarikan diri ke sini. Sekedar berlama-lama menikmati keheningan, berdua saja. Seperti sore itu, ketika ia bertanya: “Apa sih, Cip, arti rumah ini buat kamu?”
Saya berhenti sejenak, tapi segera menjawab: “Freedom! Rumah ini berarti freedom, buatku..”
Dia hanya mengusap-usap punggung saya, dan tersenyum, “Lucu banget sih, formulasinya..”
Saya sendiri lupa menanyakan, kalau buat dia, apa arti rumah mungil kami? Belakangan jawabnya saya terka sendiri. Di suatu sore, di tengah suntuknya melihat angka-angka penjualan, sebuah catatan kecil melayang ke kotak surat saya. A Fleeting Moment Of Happiness, rekaman Riri tentang sebuah sore bersama Tara di rumah mungil kami.. Membacanya, saya mengerti. Buat dia, rumah kami berarti “Kebahagiaan sederhana”.
(CIP)
No comments:
Post a Comment