No I’m not a successful entrepreneur. Lha wong saya baru
mau 8 tahun punya bisnis sendiri. Alasannya baru mulai hampir 8 tahun lalu juga
klasik: saya takut gagal. Tipikal pegawai yang tahunya terima gaji tiap bulan,
bayar pajak, tiap bulan masih ada yang bisa ditabung, rasanya sudah cukup. Berpikir
punya usaha sendiri dengan resiko gagal dan menanggung ‘hidup’ orang lain itu
cukup bikin bulu kuduk saya berdiri.
Tapi ada satu titik dalam hidup saya saat saya mikir, “Ah masa gue gak bisa. Cemen banget gue…”.
Dan begitulah. Saya juga kebetulan ketemu teman yang rasanya pas jadi partner
bisnis, ya sudah, mari melangkah.
Salah satu yang bikin saya berpikir harusnya saya bisa
adalah karena I ALMOST hit rock bottom dalam mengelola usaha. Sekali, tapi
super nyakitin.
--
11 tahun lalu, saat masih jadi pegawai sebuah perusahaan
riset pemasaran multinasional, kantor cabang di Indonesia yang saya pimpin tahu-tahu
harus menghadapi ancaman bangkrut. Penyebabnya: klien terbesar perusahaan,
memutuskan untuk pindah ke lain hati, alias melalui proses bidding yang panjang,
kami kalah dengan perusahaan lain. Ini terjadi di tingkat global alias diputuskan
oleh headquarter perusahaan tersebut.
Sebagai satu mata rantai dari area Asia Tenggara, Indonesia
sayangnya salah satu yang terkena dampak paling besar karena disinilah bisnis
dari klien tersebut berkontribusi lumayan signifikan dalam pendapatan
perusahaan.
I had seen it coming sebetulnya saat kami harus menyusun
anggaran untuk tahun 2017, di pertengahan 2016. Saya berusaha sekuat tenaga meminta
kantor regional untuk menurunkan ekspektasi mereka, menurunkan target yang
ditetapkan, karena saya khawatir dengan hasil dari bidding yang saat itu sedang
berlangsung. But of course, mana didengerin cyiiiin. They were confident, dan
saya sulit mempertanggungjawabkan alasan saya yang memang tidak bisa dijelaskan
di atas kertas, karena yang bicara adalah insting.
So anyway. It happened. Lebih dari 50% pendapatan kantor
saat itu, hilang.
Jengkel, marah, sedih. Campur aduk. Karena saya merasa it
was not our fault, tapi juga di sisi lain saya sebal karena harusnya ada PR
yang saya selesaikan di tahun-tahun sebelumnya. I just didn’t think fast enough
to make it happened.
Saat menghadapi kesulitan itu, tiap bulan, pertanyaan saya
pada Finance Manager kami selalu sama, “Kita
masih punya uang nggak buat bayar gaji anak-anak?”. Saya juga minta gaji
saya tidak perlu dibayar kalau memang uang yang ada tidak cukup untuk membayar
gaji orang lain.
It was very painful. To feel worried all the time. To feel
that you were responsible for other people’s well being.
Luckily we survived that super awful year. Saya mendapat
banyak sekali pelajaran dari kejadian itu. Intinya sih, ada 6 yang paling
penting, menurut saya.
Pelajaran ini yang paling bermanfaat buat saya dari
kesulitan 11 tahun lalu itu. Saat lebih dari 50% pendapatan perusahaan bertumpu
hanya pada satu klien saat itu, kami butuh waktu setahun buat menggantikan yang
satu dengan beberapa lainnya. Little by little, akhirnya perusahaan punya
beberapa pilar pemasukan.
Dan sekarang, saat saya punya bisnis sendiri, setiap tahun
kami juga me-review siapa sebetulnya pilar perusahaan ini. Kami punya sekitar 5
perusahaan yang menjadi klien yang cukup reguler yang berkontribusi pada hampir
50% pendapatan perusahaan. Selebihnya in and out. Belum ideal, karena saya
inginnya punya 10 klien reguler yang berkontribusi pada 60 – 70% dari
pendapatan sehingga bisa merasa lebih ‘aman’.
But the point is: pastikan usaha anda tersebar dengan baik. Tentukan
siapa pilar anda, dan bagaimana anda akan mendapatkan dan mempertahankan
pilar-pilar usaha anda itu.
Dan kalau dalam hubungannya dengan mata uang, kalau bisa,
pastikan baik pengeluaran dan atau pendapatan terjadi dalam lebih dari satu
mata uang, ya yang paling sederhana dalam rupiah dan dollar. Dengan demikian
kalau ada apa-apa dengan salah satu mata uang, anda relatif bisa merasa lebih
aman karena ada unsur saling menutupi atau bahkan ambil untung dari mata uang
yang lebih kuat. Tapi saya tahu tidak semua bisnis bisa beruntung melakukan
ini. But, it’s not impossible. Apalagi sekarang dimana dunia terhubung dengan
sangat erat satu sama lain.
2. Saat usaha anda dalam kesulitan, DON’T SHOW IT ON YOUR FACE
saat anda ketemu tim anda. Dan dalam jaman media sosial sekarang ini, jangan tuliskan
kegelisahan anda di media sosial yang bisa dibaca siapapun di tim anda.
Yang paling melelahkan mental saya waktu itu adalah: setiap
kali ke kantor saya harus siap masuk kantor dengan senyum walaupun hati selalu
kebat kebit. Jadi kebiasaan saya waktu itu dalam perjalanan ke kantor adalah
menyebutkan ‘mantra’ dalam hati: you’ll be OK, you’ll get out of this mess
somehow. Dan berdoa, tentunya.
Perusahaan yang dalam kesulitan pasti selalu punya ancaman
ini: mem-PHK karyawan saat keadaan jadi makin buruk. Tapi waktu itu janji kami
adalah: tidak akan ada PHK. Tapi kan itu sebetulnya easier said than done. Jadi
ya tiap hari saya harus berusaha tidak menunjukkan kekhawatiran saya karena
saya tahu, itu hanya akan membuat situasi lebih buruk dan menurunkan motivasi
orang lain.
So be cheerful no matter what. Ya begitulah memang resiko
jadi leader: when things get tough, you should be the FIRST PERSON who can
smile and hold other people’s hands (walaupun anda sebetulnya sedang butuh
pelukan dan sandaran juga…. #tsaaaah).
3. Celebrate every little win, no matter how trivial it may
seem, celebrate it. Nah ini kalau anda mau tulis di media sosial anda,
silahkan. Public celebration and acknowledgement is good.
Saat dalam kesulitan, semua orang butuh hiburan. Jadi waktu
itu setiap kali ada yang akan mengirimkan proposal, saya minta menginfo semua
orang. Kami semua mendoakannya. Dan jika harus melalui proses bidding dan menang,
kami merayakannya.
As simple as mengucapkan selamat melalui e-mail, atau dengan
es krim atau kopi buat semua orang. Kelihatannya sepele, tapi saya yakin itu
penting to keep people together, that we were in this together. Tidak ada yang
meninggalkan siapapun. Every little win mattered for everyone.
Celebration is an energy. Sesepele apapun kelihatannya,
rayakanlah. You never know how good it may make people feel.
4. Be honest.
Menyampaikan berita, apalagi kalau buruk, tidak pernah
mudah, pasti. Tapi jujur tentang apa yang sedang dihadapi adalah selalu pilihan
yang paling baik. Tapi tentunya, ada hal-hal yang tidak perlu diketahui semua
orang karena kalaupun mereka tahu, tidak akan membantu keadaan.
Dalam situasi sulit itu saya memutuskan setiap bulan saya
akan mengirimkan update pada semua orang tentang dimana posisi keuangan kita
saat itu, berapa sales saat itu dan apa maknanya buat perusahaan. Saya tahu,
itu memberikan orang arah dan kepastian tentang kemana perusahaan sedang
menuju. Paling tidak walaupun masih susah, tapi ada info sesusah apa sih.
Memang harus bijak memilih apa yang harus disampaikan, apa
yang tidak, but being honest is always your best bet. It’s bad to keep people
wondering. Unless you love bad gossips (or hoaxes, in today’s world)
5. Stress the word TEAMWORK.
No man’s an island. Apalagi saat sedang dalam kesulitan,
nggak ada orang yang senang ditinggal sendiri. Kebersamaan, selalu bisa jadi energi
yang membakar semangat. Dan itu yang saya alami. Setiap pekerjaan saya selalu katakan
itu adalah dari kita, untuk kita. Yaaa memang sih ada unsur kita juga harus
berkontribusi pada ‘dompet regional’, tapi kita harus selamatkan dulu diri
sendiri. And we couldn’t do it if we didn’t trust ourselves and the teamwork.
Jadi anda juga jangan sok jadi pahlawan. Jadi pemimpin bukan
berarti harus mikir sendirian, kok. Termasuk saat perusahaan sedang dalam
kesulitan. Everything doesn’t have to be on your shoulders. Berada di puncak
memang bisa terasa sepi, tapi, tidak selalu.
6. Keep your price.
Kalau dalam kesulitan usaha selalu ada godaan memberi diskon
asal barang atau jasa cepat terjual. Saya justru berpendapat sebaliknya. Kemurahan
hati memberi diskon dan harga yang lebih rendah dari biasanya cuma memberi signal
bahwa anda cuma butuh duit. Dalam konteks industri jasa, ini bukan hal yang
bijaksana. Bukan itu juga, nanti anda juga yang akan kesulitan mengembalikan
harga anda saat bisnis mulai berjalan normal.
Bukan berarti hal ini tidak boleh dilakukan sama sekali,
tapi tetap harus ada strateginya. Jangan membabi buta sekedar supaya bisa
meningkatkan jualan, tapi intinya harus tetap pada: harga yang diberikan harus
tetap sesuai dengan pelayanan yang prima dan itu, tidak pernah murah.
--
Saya
ingin membagikan ini sekarang karena mungkin ada yang sedang deg-degan dengan
kondisi usahanya thanks to mata uang
kita yang sedang meluncur.
Saya
pribadi melihat keadaan ini persis seperti yang dulu saya hadapi: this is not
what we want, not because we did anything wrong, not something that we can
control, but shit happens out there and unfortunately we have to bear the
consequences too. Gak pernah nyaman harus menghadapi hal-hal yang bukan
gara-gara kita, tapi kan tetap harus dihadapi.
Jadi
kalau, amit-amit, usaha anda ternyata harus merana gara-gara keadaan ini, ya
semoga saja ada dari 6 point di atas yang bisa digunakan. Walaupun Darwin bilang yang survive
itu bukan karena intelligence, tapi bagaimanapun juga, response to change is
led by our intelligence and how strong we are mentally. At least saya percaya
demikian dan rasanya sudah kurang lebih membuktikannya.
May
we all survive the challenges we face.
No comments:
Post a Comment