Sebagai yang kerjanya berusaha memahami perilaku konsumen
lewat metode penelitian kualitatif, saya seriiing pake banget ditanya ini,
“Emang cukup ya sampelnya cuma segitu?”.
Atau pertanyaannya dibalik, “Sampelnya harus berapa ya
supaya datanya valid?”.
Penelitian kualitatif memang nggak seperti partnernya,
penelitian kuantitatif, yang keluarannya angka dan persentase sehingga relatif
lebih mudah untuk dipahami dan membuat orang merasa ‘aman’ dengan hasilnya.
Penelitian kualitatif nggak bersandar pada banyaknya sampel dan pengolahan
statistik.
Dulu waktu pertama kali saya kerja di bidang ini, salah satu
banyolan yang selalu diarahkan pada kami tim kualitatif adalah, “Ah anak kual
kan kerjanya cuma ngobrol sama ngelamun, terus tahu-tahu keluar deh reportnya”.
To some extent mungkin bisa terlihat demikian.
Kerjaan kami menemui responden, lewat diskusi atau
wawancara- yang kelihatannya emang cuma ngobrol aja. Lalu dengan metode pengolahan data yang namanya analisa isi (atau
kerennya content analysis), kami bikin reportnya - yang bisa juga kelihatannya lagi ngelamun. Analisa isi ini sebetulnya
adalah memahami konteks dan makna dari setiap narasi, atau sederhananya cerita
tentang sebuah perilaku, yang kami dapat dari responden.
Sepertinya mudah, padahal, kalau tidak sensitif pada hal-hal
yang tersirat, hasil penelitian kualitatif ini mudah sekali jadi cuma sekedar
subjective judgment dari si penganalisa.
Demikian juga kalau tidak memahami konteks atau situasi dan
bahkan juga faktor sosial budaya dan ekonomi yang melingkupi kehidupan
responden yang diajak ngobrol. Analisa juga bisa ngelantur entah kemana.
Untuk menghindari hal-hal seperti itulah maka dalam setiap
penelitian yang menggunakan metode kualitatif, ada beberapa pakem yang tetap
harus dijaga supaya hasilnya baik.
Misalnya, tetap saja ada jumlah sampel minimal yang harus
diambil. Walaupun hasil akhirnya adalah pemahaman narasi, tapi dasar bagaimana
pemahaman itu dibentuk harus ajeg. Dan harus jelas ada benang merah atau
keterkaitan antara narasi satu responden dengan responden lainnya. Benang merah
itu yang dalam kualitatif, jadi pegangan peneliti bahwa data yang didapat,
memang cukup dapat dipertanggungjawabkan.
Jadi misalnya, untuk wawancara, minimum sampelnya adalah 3
untuk setiap target responden yang sama. Misalnya kalau mau tahu kenapa orang
suka sekali beli KFC, ya minimal harus ada 3 konsumen yang dalam seminggu
minimal beli KFC dua kali.
Kenapa harus 3? – karena kalau kita mewawancara 2 orang lalu
menemukan perbedaan atau persamaan narasi, belum tentu bisa
dipertanggungjawabkan bahwa memang kedua orang itu sama atau berbeda karena
bisa saja itu adalah kebetulan. Adanya responden ke-3, akan bisa mendukung
perbedaan atau persamaan itu dengan lebih baik karena ada pembanding.
Makin banyak responden tentunya makin baik. Tapi tidak
seperti penelitian kuantitatif yang mencari keluasan data, kualitatif mencari
kedalaman data buat menjelaskan sebuah gejala. Jadi yaaa memang ndak perlu
banyak-banyak sampai ratusan sih respondennya. Asal, prinsip dasar adanya
benang merah di paling sedikit 3 responden kalau wawancara, atau 2 kelompok
kalau diskusi kelompok, terjadi.
Terus kenapa tahu-tahu saya ngomongin ini?.
Tergelitik dengan sebuah deskripsi perilaku orang tua yang
secara rutin membawa anaknya ke salon sekali sebulan, yang lalu dianalisa
panjang lebar oleh seorang psikolog senior, yang cukup bikin saya bengong.
Sebetulnya sih bukan masalah perilaku apa yang beliau bahas.
Sah-sah saja kok kalau mau beropini tentang sesuatu. Tapi yang membuat saya
jadi mengerenyitkan kening (padahal kening ini sudah tidak butuh kerutan
tambahan), adalah bagaimana beliau membuat kesimpulan.
Berdasarkan pada wawancara singkatnya dengan petugas salon
yang mengurus rambut 2 orang anak, beliau bisa menjabarkan sebuah perilaku
dengan semua konsekuensinya. Ini bicara tentang pola asuh juga, lho.
Lalu keluarlah analisa (buat saya sih itu sesederhana
pendapat pribadi ya, bukan analisa) bahwa membawa anak ke salon sama artinya
dengan mengajarkan gaya hidup hura-hura padahal hidup tidak selalu indah dan
berduit. Ke salon dan membuat si anak mematut diri di depan cermin salon adalah
mengajarkan pemujaan terhadap kecantikan fisik padahal di usia tersebut (6 – 8 tahun
kalau tidak salah), penting juga mengajarkan sisi kecantikan lain.
Itu sebagai hasil dari wawancara dengan petugas salon dan observasi
singkat terhadap 2 orang anak. Tanpa ada orang tua satupun yang melakukan hal
tersebut, yang diajak ngobrol.
Saya sebagai praktisi penelitian jelas jadi melotot. Hello, what were you trying to do, mam?.
Yes true bahwa beliau tidak sedang melakukan penelitian. Tapi, yang sangat mengganggu di mata saya adalah karena beliau public figure. Dan profesi beliau adalah seorang praktisi psikologi.
Dalam profesi tersebut ‘penelitian’ adalah satu hal yang mau tidak mau terlekatkan. Melakukan penelitian tentang gejala yang dihadapi adalah tanggung jawab profesi sebelum bisa melontarkan sebuah pendapat, atau dalam konteks konseling, untuk bisa memberikan terapi.
Saya masih ingat salah satu ajaran yang selalu ditekankan
saat kami mulai menghadapi klien: jangan berasumsi, jangan menggunakan personal
judgment sebelum terkumpul data yang lengkap.
Saya ingat betul betapa saya dulu harus bolak balik
menghadap dosen karena dianggap data yang saya dapat belum menyeluruh karena
belum tercakup semua yang harusnya saya ajak bicara untuk dapat kedalaman data
yang baik. Itu dulu baru untuk kuliah praktek konseling lho, belum konseling
beneran.
Jadi sebagai praktisi yang sudah dikenal publik, beliau justru
harusnya jauh lebih sadar untuk tidak jumped into conclusion hanya berdasar
pada observasi sesaat. Bicara tentang pola asuh tanpa ngobrol dengan beberapa orang tua
untuk memahami motivasi mereka. Itu sudah salah pake banget. Pun jika mungkin benar
perilaku itu terjadi di masyarakat, tapi rasanya pengutaraan pendapatnya
harusnya bisa jauh lebih berkualitas dengan berdasarkan pada beberapa contoh kasus yang juga melibatkan orang tua yang diajak ngobrol.
Di mata saya, tulisan beliau itu jadi tidak ada bedanya dengan
mendengarkan tetangga saya ngegosipin tentang gimana tetangga lainnya merawat anaknya.
Yang lebih membuat saya kuatir adalah, tulisan-tulisan seperti
itu beresiko menjadikan masyarakat jadi lebih pintar menyudutkan orang lain
tanpa berpikir kritis. Apalagi kemudian implikasi dari tulisan beliau, menurut
saya juga tidak main-main karena isinya cukup keras, dengan unsur pembahasan keimanan
segala. Padahal, ada kesalahan membangun pendapat yang sangat mendasar di
tulisan itu: it was not based on enough NEUTRAL facts.
Kata kuncinya itu: fakta yang netral, bukan yang berselimutkan
emosi seorang ibu-ibu. Sebagai seorang psikolog, sejatinya beliau harusnya
sadar bahwa pengutaraan pendapat beliau tidak bisa dilepaskan dari profesi
tersebut. Artinya juga bahwa beliau harusnya menjaga kenetralan dalam
mengutarakan sesuatu dan tidak melibatkan emosinya.
Saya sedih melihat gejala demikian, yang pastinya memang bukan hanya dilakukan oleh beliau seorang tapi oleh begitu banyak public figure. Orang-orang yang harusnya punya tanggung jawab, atau at least MERASA PUNYA tanggung jawab yang jauh lebih besar dari orang awam, untuk menegakkan kejernihan berpikir yang baik dan berlogika yang benar.
Opini pribadi is one thing, tapi saat opini itu punya resiko menjadi viral, harusnya bukannya si penulis lebih berhati-hati membangun argumennya?. Apalagi jika si penulis punya embel-embel profesi yang bersentuhan sangat dekat dengan pembangunan kejiwaan, yang sebetulnya sangat dibutuhkan oleh banyak lini di negeri ini.
Ah tapi mungkin ya saya saja yang aneh, ya. Karena toh kenyataannya, pengikutnya banyak.
Ya semoga saja sih mereka yang mengikuti beliau juga bisa menyaring mana yang baik untuk diaplikasikan karena merupakan nilai universal kejiwaan yang dibutuhkan buat membesarkan anak, dan mana yang opini pribadi berselimut emosi. Karena yang terakhir, kalau saya amati, ujungnya cuma bikin panik tanpa solusi. Rasanya kok kita nggak butuh lagi yang begitu. There are enough panic reactions di negara ini. Yang ujungnya cuma bikin pertentangan gak berguna. Enough.
Saya juga nggak berharap semua jadi peneliti. Tapi saya kok ya juga yakin, berpikir kritis itu kan harusnya terjadi setiap saat ya, apapun profesi anda.
Mari, belajar bersama.
No comments:
Post a Comment