Sudah hampir 7 tahun, saya dan teman-teman mengelola Eye to
Eye. Perusahaan kecil yang kami dirikan dengan awal yang mungkin bisa jadi
terdengar sedikit konyol: bosen kerja buat orang lain dan keharusan beradaptasi
dengan maunya orang lain.
Waktu itu saya sedang hamil 7 bulan, umur sudah 40. Rasanya
saya sudah tidak sanggup lagi kalau harus mengurus bayi lagi di usia sekian plus
harus ikut maunya orang. Dengan pemikiran itu, akhirnya, setelah lebih dari 10
tahun kerja di beberapa perusahaan, saya temukan keberanian buat mulai usaha
sendiri saja.
Langkah yang paling penting berikutnya tentunya adalah cari
partner usaha. Yang berkecimpung di dunia yang sama, yang tahu apa artinya
melakukan riset pemasaran yang baik, yang tahu bahwa mengurus klien itu tidak
gampang.
Dan waktu itu, pilihan saya cuma jatuh pada satu orang:
Sita. Anak muda yang usianya terentang 10 tahun lebih dari saya.
--
Bertahun sebelumnya, kami pernah kerja bareng di perusahaan
multinasional yang sama. Saya yang mewawancarai dia untuk masuk ke dalam tim
kami waktu itu. Saat itu, saya juga tahu kalau ini bassist-nya Basejam yang
sedang ingin banting setir sebentar dari dunia musik.
Anak muda yang sederhana. Rambutnya panjang, dikuncir buntut
kuda. Datang mengenakan celana panjang, blus putih, dan sepatu pantofel biasa. Tidak
ada kesan ini adalah anggota band yang di tahun 90an pernah sangat hits dengan
beberapa lagu yang sampai bertahun setelahnya masih diputar di radio. Tidak ada
kesan ini anak komisaris salah satu perusahaan besar di negeri ini. Lulusan S2
dari Inggris.
Ngobrol tanpa neko-neko. Jawabannya tegas. Selesai wawancara,
saya tahu: ini harus gue rekrut karena dia punya dedikasi dan ketangguhan yang
jarang saya bisa lihat seketika dari anak muda seusianya.
Kurang lebih 3 tahun kami kerja bareng di perusahaan yang
sama. Lalu terpisah saat akhirnya masing-masing memutuskan untuk mengundurkan
diri dari perusahaan itu.
Beberapa tahun setelahnya, saat saya terpikir harus cari
partner, pikiran saya kembali pada Sita.
Calon partner bisnis yang lain sempat bertanya waktu saya
cerita siapa yang akan saya gandeng buat mengelola bisnis ini on day to day
basis, “Are you sure?. Dia kan di bawah kamu banget dari segi pengalaman di
research. Apa nanti kamu nggak capek sendirian ya jadinya?”.
Saya sadar penuh itu adalah resiko yang harus saya ambil. “I
know I’ll work my ass off like crazy mungkin di 5 tahun pertama. Tapi, di
mataku, cuma dia saat ini pilihan terbaik dengan semua attitude dan ketangguhan
yang dia punya. In this business, without those, we won’t survive”.
Dan sekarang, hampir 7 tahun kemudian, saya tahu saya telah mengambil
keputusan yang benar.
--
Sering sekali ya kita meragukan mereka yang lebih muda. Apalagi
buat mendirikan sebuah usaha. Lalu apa yang dulu bikin saya berani menggandeng
seorang yang jauh lebih junior dibanding saya?.
Saya cuma punya satu keyakinan: attitude defines people, age
only defines how long you’ve lived. Intinya sih, mau tua atau muda, yang
penting sebetulnya adalah sikap yang benar tentang kerja. Apalagi kalau untuk
awal usaha.
Percuma menggandeng yang sudah sama seniornya tapi lalu
maunya juga usaha ini cepat naik atas dasar kita sudah sama-sama berpengalaman.
Buat saya itu adalah ilusi. Apapun usahanya, tidak ada yang namanya hasil yang
cepat. Instan, tidak pernah ada di kepala saya, kecuali when it comes to foods
and drinks. Dan punya partner yang lebih muda, menyenangkannya ya karena itu:
kami sama-sama sadar it’s not going to be easy.
Dan namanya usaha, selalu ada naik turun. Iya betul bahwa
kadang yang berusia lebih matang mungkin lebih tangguh menghadapi kejatuhan. Tapi
juga jangan-jangan, karena terbiasa mapan, malah jadinya lebih mudah panik. Sementara
yang lebih muda, sometimes they have less to lose. Kalau jatuh, lebih cepat
pula mereka bisa recover.
Hal lain yang penting juga buat saya waktu itu, adalah menggandeng
partner yang mau diajak ‘berlari’ buat jangka waktu yang panjang.
Baru memulai usaha di umur 40, saya sadar sekali bahwa akan
ada satu titik dimana saya pasti akan merasa kelelahan. Bukan cuma karena menjalankan
bisnisnya, tapi juga fakta bahwa bidang pekerjaan saya ini mentally demanding. And
I’ve been in this industry for more than 20 years. Though I love doing it, tapi
adakalanya saya berpikir untuk melakukan hal lain yang less demanding. Makin tambah
umur, bukan tidak mungkin keinginan itu akan makin kuat.
Itu juga alasan saya mencari partner yang lebih muda. Supaya
suksesi kepemimpinan, kelak diteruskan oleh yang lebih punya ‘stamina’ buat
melanjutkan.
Memang, tugas untuk memastikan mereka yang lebih muda ini
punya keahlian yang mumpuni, yang at least setara atau bahkan lebih baik dari
saya agar saat melanjutkan mereka juga bisa mempertahankan kualitas kerja yang
sama, juga ada di pundak saya. Dan karena itu jugalah, buat saya bukan seberapa
senior atau pengalaman yang dimiliki orang tersebut, tapi attitude. Terutama,
kemauan buat belajar, sesusah apapun yang harus dipelajari.
Dan so far, saya cukup beruntung menemukan mereka yang mau
belajar.
Lalu ada pula
kemampuan berinovasi. Saya sering sekali merasa saya makin bodoh menghadapi
semua kemajuan teknologi dan ilmu. Saya sudah ada di tahap dimana saya mulai
meragukan kemampuan diri untuk terus menelorkan ide baru. Dan disitulah
nikmatnya kerja dengan mereka yang lebih muda.
Otak yang lebih fresh, ditambah sikap yang baik tentang
belajar dan berusaha, sering sekali membuat para anak muda di tim saya ini
menelorkan ide-ide yang kreatif. Not necessarily ide yang super breakthrough,
tapi seringkali ide merekalah yang bikin kerja jadi lebih menarik, dan proses
kerja juga jadi menyenangkan.
--
Tapi kerja dengan mereka yang lebih muda juga menuntut kita
yang lebih ‘berumur’ untuk berubah.
Ada tuntutan yang lebih tinggi untuk punya sudut pandang yang cukup luas dan terbuka. Harus punya sisi hati yang legowo untuk membiarkan mereka bereksperimen dan belajar dari kesalahan mereka, bahkan saat kadang kesalahan itu lumayan bikin pusing buat diselesaikan. But at least, they’ll learn. We’ll all, learn.
Ada tuntutan yang lebih tinggi untuk punya sudut pandang yang cukup luas dan terbuka. Harus punya sisi hati yang legowo untuk membiarkan mereka bereksperimen dan belajar dari kesalahan mereka, bahkan saat kadang kesalahan itu lumayan bikin pusing buat diselesaikan. But at least, they’ll learn. We’ll all, learn.
Saya juga jadi amat sangat sering mengingatkan diri sendiri
buat cukup memberi arahan, kasih contoh apa yang harus dikerjakan, make sure
mereka paham standard kualitas seperti apa yang harus diberikan, lalu, mundur
dan mengobservasi saja dari jauh.
Saya bukan orang yang suka melakukan micromanagement, tapi
harus saya akui saya kadang lumayan control freak. Sementara, bagaimana saya
bisa pastikan mereka akan bisa mengambil alih kelak kalau saya juga tidak
membiarkan mereka buat mencoba.
Jadilah saya sering sekali harus marahi diri sendiri supaya
stop being a control freak. Membiarkan adanya ketidaksempurnaan selama nanti
semua itu diidentifikasi lalu dicari solusinya supaya kelak bisa lebih baik.
Dan karena bisnis ini bergulat di bidang melayani klien,
pasti ada saja gesekan dengan klien yang tidak mau dilayani dengan yang lebih
junior. Di saat itulah saya juga harus cukup sabar merayu klien dan meyakinkan bahwa
saat saya percaya dengan junior saya untuk mengerjakan sebuah tugas, artinya
saya sudah yakin dengan kemampuan orang itu dan saya meminta klien untuk
memberikan kesempatan. Toh saya juga tetap ada untuk mengawasi dari jauh and
will jump in if anything major happens.
Not that easy sometimes. Resikonya juga besar, saya harus
siap menerima keluhan klien (atau keluhan sang junior…hehe). Tapi demi
anak-anak muda yang bisa punya keahlian yang mumpuni, it’s worth the effort.
--
Jadi yaaa belum tentu anak muda yang pengalamannya belum
setara dengan kita tidak bisa diajak usaha bareng. Asalkan yang bersangkutan
punya attitude yang OK, dan mindset yang benar tentang kerja, usaha, dan terus
belajar, saya yakin kok yang muda juga bisa.
Pertanyaan terbesarnya: seberapa siapkah yang lebih tua buat
mengubah diri demi membuat yang muda juga punya keahlian yang sama buat
meneruskan perjalanan?. Nah ini, mari merenung. Karena generasi berikut, butuh
kita-kita yang lebih berumur untuk bisa adaptasi dengan perubahan jaman.
Are you ready to change?.
No comments:
Post a Comment