Saya sudah beberapa kali melihat postingan ini. Tapi beberapa kali pula saya membatin: apa iya sesimpel itu sih hidup?.
Faktanya, kan memang nggak ya.
Coba.
Kangen sama mantan (ini salah satu komentar dari teman saya
waktu saya share postingan ini tadi pagi: kalau kangen sama mantan telpon aja
ya?...haha).
Telpon. Atau nggak usah telpon deh, kirim pesan WA aja.
Resikonya: cuma dibaca nggak dibalas. Nggak kunjung dibaca. Dijawab
dengan jawaban netral tapi super pendek. Dijawab dengan jawaban ketus. Dijawab dengan
jawaban mesra.
Atau, ngajak teman ketemu (sudah dong….contoh mantan cukup
satu saja. Use your imagination).
Resikonya: teman langsung bilang nggak bisa. Kasih alasan
macam-macam – yang bisa bikin kita mikir ini orang sebetulnya mau atau nggak
sih. Teman langsung bilang iya.
Nah buat semua jawaban itu kan ada efeknya ke hati ya. Bisa bikin
baper pulak!.
Saya juga sempat tuh ngintip komentar-komentar di postingan
itu, komentar-komentarnya lucu-lucu juga. Tapi semuanya intinya adalah
menegasikan premis postingan ini, bahwa life is not that simple woy!.
Tapi, sekarang saya pikir-pikir, sebetulnya hidup memang
bisa sesederhana itu, lho.
--
Sekitar sebulan yang lalu, saya hadir di sebuah acara yang
isinya sebetulnya membahas kebhinekaan dari perspektif Islam. Sudut pandang
yang diambil adalah dari pembahasan tasawuf. Jadi banyak sekali membahas
tentang kedalaman hati, rasa, dan merasakan kehadiran Sang Empu di dalam diri.
Salah satu topik yang diangkat si pembicara, adalah tentang
cinta dan rasa.
Cinta itu adalah bukti paling nyata dari kehadiran Tuhan. Saat
kita bisa merasakan cinta, saat itu juga sebetulnya kita sedang merasakan
kehadiran Dia yang paling nyata. Karena cinta adalah Dia, dan Dia adalah cinta.
Lalu apa kemudian salah kita merasakan cinta?.
Nah ini dia yang kemudian menyadarkan saya bahwa sebetulnya
ya, yang suka bikin susah hidup tuh ya kita sendiri.
Si pembicara itu bilang begini kurang lebih: rasa itu tidak
pernah salah. Apapun itu. Cinta, rindu, sakit dan banyak sekali rasa yang kita
bisa alami. Yang kemudian kadang bikin jadi serba salah adalah, saat kita
melibatkan ego untuk bereaksi terhadap perasaan itu.
Misalnya ya itu. Bilang kangen, lalu orangnya lempeng aja,
eh kita baper. Ngajak ketemu, lalu orangnya bilang nggak bisa, baper. Nyatain cinta
ke gebetan, eh ditolak, baper juga.
Itu yang bikin hidup jadi nggak simple kan ya?. Nah itulah
si ego.
Ego ini emang luar biasa nyebelinnya kadang-kadang sih. Baperan
itu ya karena kita melibatkan si ego itu. Saat dia mengendalikan hati, saat dia
mengendalikan perilaku, kadang semua jadi belibet nggak karuan. Dan ujungnya,
kita juga yang susah.
Jadi gimana dong, supaya memang beneran bisa sesederhana itu
hidup?.
Kembali pada si pembicara tadi, dia juga bilang: rasa itu
tidak pernah salah. Tuhan menciptakan hati untuk kita bisa merasakan karena
kalau kita tidak bisa merasakan, apalagi kalau kita tidak bisa merasakan cinta,
kita tidak akan pernah bisa merasakan kehadiran Tuhan di setiap lini kehidupan
ini. Tapi ya kendalikanlah ego saat kita mau bertindak terhadap perasaan. Itu yang
akan menjauhi kita dari banyak kerusuhan hidup.
Begitulah kurang lebih.
Lha piye carane mengendalikan ego?. Susaaahh beuuutt memang
sih. Tapi bukan mustahil. Kalau buat saya yang paling manjur, adalah mencari
keheningan.
Hening itu bening. Keheningan membantu saya memilah-milah
apakah ini rasa, atau ini ego saya sedang bicara. Dan buat saya, rasa memang sesuatu
yang harus diekspresikan supaya saya bisa lega, saya bisa jalan terus ke depan.
Menyimpan rasa itu ora enak blas.
Tapi kan si ego bandel ini kan pasti akan bereaksi pada
keputusan saya buat bilang apapun yang saya rasa ke orang lain. “Ntar kalau gue bilang ke si X kalau
kelakuannya itu ngeselin blas terus dia ngeyel, ngeselin banget”. Mikir
gitu saja bisa langsung darting, ya toh?.
Nah dalam hening itulah biasanya saya melatih diri buat
bilang pada si ego, berdialog pelan-pelan supaya: elo, behave. Gue pengen
bilang ini ke orang ini, dan apapun reaksi dia, elo gak boleh kepancing. Keep cool,
keep calm. Yang gue cari bukan reaksi orang itu, tapi as simple as gue cuma
pengen orang itu tahu perasaan gue gimana. Udah. Titik.
Mungkin kurang lebih adalah: express it but do not expect
anything in return. Kuncinya memang bukan expecting something, tapi expressing.
Kalaupun ada unsur pengharapan, lebih pada berharap supaya diri sendiri kuat mengatur
ego, untuk bisa terus berjalan.
Apakah itu mudah?. Of course nooooottttttttt. Tapi bukan
tidak mungkin.
Apakah bisa terjadi sesederhana itu?. Of course noooootttt
juga. Tapi, bisa jadi sesederhana itu.
Kuncinya mungkin juga adalah penerimaan terhadap rasa itu
sendiri. Akui saja. Karena makin dilawan sebuah rasa, atau makin kita bilang, “Nggak boleh gue ngerasain kayak gini”, terus
kita malah ke kanan ke kiri nyari pengalihan perhatian supaya rasa itu hilang,
lha malah jangan-jangan makin kuat pula dia dan parahnya makin punya potensi
bikin kita baper.
Tapi lawanlah ego. Melatih ego itu juga bikin kita tidak
cepat baperan. Itu pentiiing.
Dan waktu ego bisa kita lawan, memang ada rasa ringan sih. Ringan
untuk berjalan lurus ke depan tanpa beban. Karena hati juga sudah lega dan
menerima keberadaan si rasa, tapi ego sudah mengalah untuk tidak mengikuti
maunya sendiri. Karena ya buat apa sih bikin penuh hati dengan menyimpan rasa
yang tidak pernah kita ekspresikan lalu jadi busuk di dalam (saya pernah nulis Laci – ya kurang
lebih tentang meringankan isi hati lah).
--
Jadi, sesederhana itukah hidup?. Yaiyalah jawabannya
tidaaak, kalau kita tidak kunjung belajar dan berlatih mengontrol si ego yang
suka sekali bikin rusuh itu.
Oh iya dan of course ada kesepakatan-kesepakatan sosial
tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Dan para manusia yang religius
juga pasti akan kembali pada pakem-pakem dan dogma-dogma agama tentang apa yang
boleh atau tidak.
Ah kalau saya sih make it simple lah: say what you want to
say because tomorrow you may not live to say it. Do you want to be in your
death bed and have regrets for never saying something?. Saya sih, tidak mau.
Tuhan yang menciptakan hati ini saya yakin Maha Mengerti kalau cuma buat
mengekpresikan perasaan. Apa yang kita lakukan terhadap si rasa, naah itu dia - balik lagi: seberapa bisa kita kontrol si ego?.
Selamat berlatih mengontrol ego. Mumpung besok akhir pekan.
(R I R I)
No comments:
Post a Comment