Salah satu yang bikin saya nyandu diving adalah melihat
betapa cerdasnya Tuhan menciptakan segala bentuk kamuflase buat banyak sekali
hewan di laut.
Ada yang bisa berubah warna. Ada yang memang diciptakan
warnanya sama dengan tempat dia hidup. Ada yang bahkan bisa menyesuaikan bentuk
dan warna tubuhnya dengan tempat persembunyiannya. Ada yang tidak terlihat di
siang hari, tapi di malam hari ternyata tubuhnya bisa jadi besar atau bahkan
warna warni atau bersinar.
Wasp fish. Seperti daun ya?. Saya kira tadinya memang daun nyangkut |
Lihat mata nggak di pasir?. Ini ikan pari. Dia sembunyi. Tapi warna badannya memang serupa dengan warna pasir |
Pipe fish. Tersamar dengan baik dengan warna karang |
Stone fish. Favorit saya karena susah membedakan dia dengan coral |
Kamuflase ini biasanya tujuannya dua: bersembunyi dari hewan
pemangsa, dan jadi pemangsa tanpa terlihat. Yang jelas, apapun bentuknya,
segala bentuk kamuflase ini sangat menarik buat diobservasi.
Gimana dengan manusia?.
Kita juga sebetulnya punya mekanisme kamuflase. Malah lebih
canggih, mungkin. Kita memang tidak bisa berubah warna kulit, apalagi berubah
bentuk (kalau bisa mah asik juga. Kalau mau pakai kebaya bisa selangsing Sophia
Latjuba, kalau terancam bisa berubah jadi Big Momma…). Tapi kita dianugerahi
kemampuan bermain peran, dan menyesuaikan ekspresi wajah dengan situasi sosial.
Wajah dan ekspresi wajah kita inilah, kamuflase terkeren
kita. Topeng yang kita kenakan tiap hari.
Coba, siapa yang bisa nebak, di balik senyuman manis, ada
rahasia hati apa yang terpendam?. Betulkah seseorang sedang bahagia hanya
karena dia tersenyum?. Atau, di balik air mata dan ekspresi kesedihan, apa
sebetulnya yang disimpan?.
Topeng kita bahkan bisa banyak sekali. Dan kita bisa
menggantinya sesuka kita – sesuai dengan kebutuhan. Dalam satu hari, mungkin
kita pakai beragam topeng sebetulnya. Sadar ataupun tidak.
Kalau hewan di laut berkamuflase untuk melindungi diri dan juga memangsa, rasa-rasanya ya kita juga begitu.
Demi melindungi diri dari
dibilang bodoh, lalu kita pakai topeng kecerdasan – bisa berpendapat (padahal
belum tentu juga pendapatnya benar. Pokoke asbun dulu lah). Demi tidak
dikasihani padahal hati sedang remuk redam, kita ketawa-ketawa riang gembira. Atau,
demi bisa ngibulin orang, pakailah topeng orang alim (ups… Udah gitu aja.
Daripada nanti saya dibilang sedang menistakan sesuatu).
Tapi bedanya kita dengan kamuflase para hewan itu, mereka
melakukannya dalam batas tertentu. Ya memang karena cuma dikasih segitu sama
Sang Empu, mau gimana lagi. Sementara kita, sepertinya keahlian pertopengan
kita sebetulnya selalu berevolusi. Makin lama, makin canggih.
Pertanyaannya: kita ini sebetulnya sadar nggak ya bahwa
urusan pertopengan ini harusnya juga ada batasnya?. Mau sampai kapan kita
berevolusi dengan keahlian ini?. Jangan-jangan banyak masalah di dunia ini muncul
ya gara-gara kita terlalu canggih menciptakan topeng-topeng baru.
Terus kenapa tahu-tahu saya ngomongin kamuflase dan topeng?.
Saya sedang geli mengamati bagaimana dunia media sosial
membuat kita semua makin pandai bertopeng. An invisible mask, I call it. Invisible
karena nggak kita pakai di wajah kita. Kita nggak sedang memainkan ekspresi
wajah. Kita sedang memainkan peran yang sangat berbeda dengan kita di dunia
nyata.
Dan uniknya, semakin tak terlihat topeng yang satu ini, kok ya
makin merajalela pula cara kita menggunakannya. Makin menakjubkan cara kita
memanipulasinya.
Itu kadang bikin saya khawatir. Khawatir bahwa kita jadi
lupa siapa kita sebetulnya tanpa semua topeng itu. Kita jadi terlalu terbiasa
berlindung di balik berlapis-lapis mekanisme kamuflase, sehingga lupa kalau semua
itu semu.
Ah. Ngelantur saya sore ini rasanya kok berat ya. Mungkin saya
butuh piknik lagi #eeh
Wajah polos anak-anak. Akan ada masanya merekapun akan menggantinya dengan banyak topeng |
Mungkin, satu-satunya saat kita luruhkan seluruh topeng kita adalah saat sedang berdialog dengan Sang Empu. Ataaauu....jangan-jangan, masih kita pakai juga topeng itu?. |
(R I R I)
No comments:
Post a Comment