Kalau saya travel sendirian, saya pasti bawa bekal buku. Yaa
walaupun saya tahu di tempat tujuan ada perpustakaan kecil, tapi saya tetap
bawa sendiri just in case saya nggak nemu buku yang cukup menarik buat dibaca
disana.
Kali ini saya bawa 2 buku karangan Oka Rusmini, perempuan
Bali yang sudah menelorkan beberapa novel ciamik. Well, at least saya suka
dengan tulisannya.
Tulisan-tulisan Oka seringkali terasa menggugat. Kemarahan
seorang perempuan terasa di banyak tulisannya. Seringkali tentang adat istiadat
Bali, yang sepertinya dari sudut pandang dia sebagai orang Balipun dirasa
sering tidak adil terhadap perempuan. Kadang juga terhadap Tuhan, yang
seringkali dipertanyakannya apakah sebetulnya Tuhan juga laki-laki sehingga
hidup sebagai perempuan sering terasa tidak adil.
Sebagai perempuan, setiap kali baca novel Oka, saya kadang
membatin: what is wrong with society, yang seringkali membuat hidup sebagai
perempuan memang terasa kurang menyenangkan?. Padahal, jadi perempuan itu
sebetulnya adalah rahmat karena dari badan perempuanlah kehidupan baru
dilahirkan. Itu adalah rahmat tertinggi yang diberikan Yang Kuasa.
But I have to agree with her, bahwa jadi perempuan, memang
tidak mudah saat harus berhadapan dengan segala pembatasan yang dihasilkan oleh
masyarakat. Bahkan saya juga sering bertanya: kenapa sih dunia takut sekali
pada perempuan sehingga harus bikin banyak sekali aturan di seputar ‘jadi
perempuan’.
Lalu, saya jadi ingat bagaimana orang tua saya mendidik saya
sehingga untungnya, sampai detik ini, saya masih merasa bahwa walaupun saya
perempuan, tapi rasanya saya masih bisa bergerak dengan bebas.
--
Tiap kali saya bilang pada ibu saya kalau saya akan
traveling sendirian, apalagi kalau beliau tahu saya akan diving beberapa hari, beliau
selalu komentar, “Kamu berani banget sih”. Saya cuma ketawa, dan balik bilang,
“Lah, anaknya sapa bisa begini?”. Dan ibu saya nggak bisa bilang apa-apa.
Tapi saya ngomong begitu memang bukan tanpa alasan. Saya
berterima kasih pada kedua orang tua saya yang telah membuat saya seperti
sekarang.
Terutama almarhum Papa, yang saat saya tumbuh besar, sering
sekali melakukan pembiaran-pembiaran. Dan saya tahu persis beliau melakukan
pembiaran itu justru karena saya perempuan.
Sebagai sesama perempuan, wajar rasanya kalau saat saya
tumbuh remaja, Mama cenderung membuat saya patuh pada beberapa pakem jadi
perempuan. Pakai rok. Ngurusin rambut. Ngurusin kulit – dan berusahalah supaya
jangan jadi (makin) keling. Jangan manjat-manjat. Belajar jalan yang rapi –
terutama kalau pakai sepatu hak tinggi.
Dan dulu, saya sering sekali membangkang. Menurut saya, beberapa
aturan itu cuma bikin saya repot. Pakai rok itu merepotkan beyond belief. Saya
nggak bisa duduk seenaknya. Nggak bisa lari-lari dengan bebas. Pokoknya nggak
asik lah.
Jaga kulit supaya nggak (makin) keling? (saya sudah keling
sejak saya TK thanks to playing outside so much), walah….ini mah penjara
namanya. Dan saya memang nggak pernah peduli, sampai sekarang, mau jadi warna
apa kulit saya. Pokoknya selama nggak terbakar karena matahari, yang bikin
kulit perihnya minta ampun itu, I’m happy.
Dalam segala perselisihan saya dengan Mama yang berusaha
menjadikan saya ‘perempuan’ itulah hadir sosok Papa.
Yang membiarkan saya ikut lomba sepeda (malah beliau yang
mengantarkan ke garis start).
Yang membela saya waktu saya ingin ikut silat waktu SMA dan
Mama menentang habis-habisan.
Yang membiarkan saya manjat pohon manapun yang saya mau
(walaupun habis itu saya pasti teriak minta tolong karena takut turunnya…).
Yang membiarkan saya main lumpur.
Yang selalu bilang pada Mama buat membelikan saya celana
pendek – karena pakai rokpun saya tetap saja jijingkrakan.
Yang membelikan mobil bobrok sebagai mobil pertama saya di
tahun terakhir kuliah, dan bikin Mama uring-uringan karena takut anak gadisnya
stranded in the middle of nowhere kalau mobil itu mogok sementara saya sering
pulang malam karena kuliah dan ngajar setelahnya. Dan beliau dengan tenang
malah bilang, pakai mobil bobrok supaya saya ngalami kena mogok dan mikir
sendiri gimana caranya benerin mobil atau paling nggak kemana harus minta
tolong.
Yang ngajarin saya ganti ban mobil beliau dan bersihin semua
bagian ‘kaki’ mobil dari sekrup sampai cakram rem. Padahal mobil beliau
Chevrolet Luv yang bannya minta ampun besar dan beratnya.
Yang ngajarin saya bersihin aki mobil dengan air panas, dan
bersihin mesin mobil pakai oli bekas. Beliau juga pernah ngajarin saya ganti
oli mobil sendiri.
Dan banyaaak sekali hal-hal yang diajarkan Papa, atau Papa
biarkan saya lakukan kalau saya mau, yang menurut saya sebetulnya bukan hal-hal
yang mungkin lazim untuk dilakukan oleh anak perempuan. Dan saya tahu betul,
ada beberapa hal yang oleh Mama ditentang, karena saya perempuan. But, he was
adamant that I had to know how to do those.
Memang betul waktu dulu saya harus lakukan semua itu ada rasa
kesal. Tapi bertahun-tahun kemudian saya apresiasi semua itu: he’s treated me
as a human being, not as a female. Dan itu, liberating. Sejak SMP
sampai SMA, beliaulah yang membuat saya merasa it’s OK to not stay within the
rules of being a female, because you are a human being.
Beliau yang membuka mata saya bahwa jadi perempuan itu nggak
melulu soal menjaga penampilan. Jadi perempuan itu JUSTRU nggak boleh cengeng
karena itu cuma akan bikin kita jadi bulan-bulanan. Bahwa hidup, nggak bisa
dihadapi dengan ‘saya kan perempuan jadi saya boleh tidak melakukan, atau boleh
nggak tahu XYZ’. Hidup nggak akan milih kita ini laki atau perempuan saat
memberikan sebuah tantangan.
--
Dan Tuhan, memang punya sense of humor yang
luar biasa. DiberiNya saya 2 anak perempuan. Dan seringkali, sekarang terutama
saat si sulung sudah gadis, saya harus bertanya pada diri saya sendiri: how will
I raise her to be a strong woman, without forgetting that she is a human being not
a female that is bound with so many (ridiculous, sometimes) rules and
obligations?.
Entah apakah saya bisa membuat mereka melihat bahwa jadi
perempuan itu bukan alasan buat mengalah pada garis-garis ketentuan sosial
tentang bagaimana jadi perempuan. Tapi yang jelas, saya juga tahu, bahwa yang
harusnya juga berperan banyak mengajarkan itu adalah ayah mereka. Seperti dulu
almarhum Papa menggembleng saya justru karena saya perempuan.
Rasanya, setiap lelaki di dunia ini berhutang pada setiap
perempuan untuk membuat dia merasa bahwa dia adalah manusia. Setiap lelaki
punya tanggung jawab pada setiap perempuan untuk membuatnya melihat bahwa ada
banyak hal yang bisa dicapai perempuan, karena dunia ini diciptakan untuk
dibentuk bersama.
Lelaki yang meletakkan perempuan pada posisi yang tradisional
– yang ‘manis’, mengalah, submisif dan sebagainya, menurut saya sudah melakukan
kejahatan kemanusiaan.
--
Jadi, kalau Anda adalah seorang ayah, dan punya anak
perempuan, yang ingin saya katakan adalah ini: the greatest gift a father can
give to his daughter, is to treat her like a human being, and make her flourish
beyond the expected boundaries of a female. Make her see beyond the prejudices
and judgement of being a female.
Dunia butuh itu. Saya pribadi sudah muak melihat masih saja
perempuan kadang dijadikan objek. Dan ya memang kadang sesama perempuan juga
yang tidak suportif pada sesamanya. Perempuan memang dilahirkan nyinyir,
mungkin.
But as a start, let’s make our daughters strong enough to be
whoever they want to be, regardless what the society thinks, as long as they
can fend for themselves and do good for others.
(R I R I)
No comments:
Post a Comment