Beberapa hari ini, grup WA para emak-emak dari sekolah Tara
rame. Isunya kali ini: ada seorang guru yang (ternyata) sudah lama dianggap
mempunyai sikap yang kurang elok dan sudah ‘memakan’ korban beberapa anak-anak.
Kurang elok gimana? – suka marah-marah untuk sebuah pertanyaan sederhana dari
anak, mengancam anak harus mengulang ulangannya kalau tidak begini begitu, dan
ada beberapa contoh lainnya.
Sebagai emak yang kurang gaul alias saya hanya ke sekolah
kalau saatnya ambil rapor dan orientasi orang tua, dan nggak pernah ikut
kegiatan apapun, bisa dipastikan saya nggak pernah ngobrol langsung dengan para
emak yang lain, dan juga dengan guru-guru. Jadi saya agak kaget juga wah
ternyata guru ini sedemikian rupanya ya bikin kesel para ibu-ibu ini dan
ternyata juga sudah berlangsung sejak kelas 4.
Karena merasa tidak tahu apa pasalnya, dan Tara juga nggak
pernah mengeluh apapun tentang guru-gurunya, saya memilih diam saja. Tapi mau
nggak mau saya kepo juga dong, apa iya si guru segalak itu sih sampai anak-anak
katanya ada yang mikir kelasnya aja udah gemeteran. Hari gini...tahun 2015, di
sekolah swasta pula...masa iya ada, pikir saya.
Semalam sebelum tidur, setelah selesai ngarang cerita tiga
sahabat buat anak-anak dan saya lihat Tara masih belum ngantuk, saya tanya dia,
“Eh Kak, emak-emak lagi ributin gurumu si anu. Emang dia gimana sih kalau di
kelas?”.
Tara, “Emang suka marah-marah sih Bun. Kemarin aja temenku
kena marah karena nggak bisa shut down komputernya”.
Saya, “Marahnya emang kasar banget?”.
Nah yang bikin saya kaget adalah jawaban Tara berikutnya, “Sebetulnya
sih yang dia bilang itu baik, dia pengen kita disiplin dan tahu harus ngapain. Tapi
intonasinya selalu tinggi, jadinya kita suka bingung apa maksud dia”.
Saya berpandang-pandangan dengan Cip, sambil senyam senyum.
Cip, “Oh...jadi intonasinya yang salah ya Kak, bukan
pesannya?”.
Tara, “Iya Yah. Kalau dia ngomongnya nggak nada tinggi melulu
mungkin kita juga nggak jadi bingung. Kan kalau bingung malah jadi makin nggak
tahu harus ngapain. Eh malah tambah marah deh dia”.
Saya dan Cip senyam senyum lagi.
Cip, “Kalau ayah, intonasinya tinggi nggak?”. Tara, “Nggak
mau bilang”, sambil nutup mukanya dengan bantal. Saya, “Kalau Bunda gimana Kak?”.
Tara, “Nggak mau bilang juga”, sambil masih nutup mukanya dengan bantal.
Ah Tara, terima kasih sudah menyadarkan kami berdua: yang
penting intonasi, karena dia paham, isi pesannya sebenarnya baik.
See, yang belajar banyak itu kita sebagai orang tua. Nggak
usah sotoy jadi orang tua... *self-talk*
(R I R I)
No comments:
Post a Comment