Manusia, secara naluri, sebetulnya selalu tergerak dengan
cerita-cerita tragedi. Buktinya, infotainment yang isinya kepedihan hidup para
selebriti pasti ratingnya tinggi. Sinetron yang selalu penuh dengan orang
teriak marah-marah dan uraian air mata, ratingnya juga selalu top. Berita koran
yang isinya pembunuhan berdarah-darah bisa jadi obrolan dimana-mana. Setelah ada tragedi, pasti media
sosial penuh dengan posting-an foto-foto korban,
padahal sudah jelas itu tidak beretika.
Tapi ya kenyataannya memang begitu. Tragedi, dengan caranya
sendiri, membuat kita mungkin merasa beruntung masih hidup. Atau mungkin
mengingatkan kita bahwa nggak semua orang baik hati jadi harus selalu waspada.
Nggak tahu juga saya apa yang sebetulnya terjadi di otak kita saat kita membaca
cerita-cerita seperti itu.
Saya, juga tidak imun dari yang seperti itu. Sejak SMA, saya
suka sekali baca kisah-kisah tragedi. Dari Titanic, holocaust jaman Nazi, dan
cerita-cerita perang Vietnam dan Khmer Merah di Kamboja. Dan seperti banyak
orang di jamannya, saya juga nonton Killing Fields. Sampai mata bengkak karena
menangis sepanjang film, tapi ya saya duduk manis dan menontonnya.
Imaji-imaji itu tertera di kepala saya. Itu pula yang
membuat saya penasaran untuk pergi ke negara-negara dimana tragedi-tragedi itu terjadi,
untuk berdiri di atas tanahnya dan membayangkan kengerian yang terjadi saat
itu. Salah satunya yang bikin saya penasaran, adalah Kamboja.
Kamboja juga adalah Angkor Wat.
Seiring dengan waktu, saya juga dibuat terpana dengan
tempat-tempat yang masuk dalam daftar Unesco World Heritage. Dan Angkor Wat,
adalah salah satunya.
Sebuah peradaban besar, kota yang besar dan canggih di
jamannya, menghilang sekian lama untuk kemudian ditemukan lagi di tengah hutan
belantara. Itu kisah yang mempesona buat saya yang dulu pernah bercita-cita
ingin jadi arkeolog gara-gara film Indiana Jones (sebetulnya saya
ingin jadi arkeolog siapa tahu ada arkeolog yang seganteng Indiana Jones yang
mau pacaran dengan saya saat ekskavasi situs sejarah. Itu kalo dibayangin romantis
buangeeeetttt...).
Setelah bertahun-tahun cuma bisa berangan-angan bisa sampai
ke Angkor Wat dan lihat Killing Fields, akhirnya bulan Mei lalu bisa juga saya
menjejakkan kaki di tanah Kamboja.
Nah. Kalau ke Kamboja, enaknya kemana dulu: Siem Reap –
gerbang menuju kompleks Angkor, baru ke Phnom Penh, atau Phnom Penh dulu baru
ke Siem Reap?. Ini perdebatan awal saya dan Cip sebelum berangkat. Kami
akhirnya memilih ke Siem Reap dulu baru ke Phnom Penh. Alasannya sesederhana:
saya lebih penasaran lihat kompleks kerajaan Khmer, baru setelah itu saya mau
lihat kota besarnya.
Turned out, menurut saya, itu keputusan yang benar.
Siem Reap – Meresapi kemegahan
masa lalu
Ke Siem Reap dulu, memberikan gambaran yang indah tentang
masa lalu Kamboja. Yang membuat kita bisa melupakan sejenak bahwa saat inipun
Kamboja masih termasuk salah satu negara termiskin di dunia – yang keselamatan
ekonominya masih sangat tergantung pada bantuan luar negeri. Bahwa ini adalah
negeri yang belasan tahun terkoyak perang saudara. Dan bahkan sampai saat ini
masih kadang bersitegang dengan musuh bebuyutan sejak masa lalu: Vietnam dan
Thailand.
Melihat kompleks yang dibangun oleh kerajaan Khmer ini,
adalah menelusuri kebesaran masa lalu. Bahwa Kamboja di masa itu, adalah sebuah
negeri indah permai yang merupakan lumbung padi raksasa saking suburnya. Dan arsitektur
Khmer, adalah salah satu karya besar teknologi jaman dulu dengan kerumitan yang
menakjubkan.
Untuk ‘dapet feeling’-nya, saran saya jangan langsung ke
Angkor Wat. Sisakan itu untuk hari kedua, atau bahkan ketiga, tergantung berapa
hari yang Anda akan habiskan di Siem Reap. Total yang kami habiskan di Kamboja
adalah 5 hari – 3 hari di Siem Reap, 2 hari di Phnom Penh.
Jalani dulu candi-candi (kami lebih senang menyebut semuanya
candi, walaupun mungkin salah) yang lebih kecil dulu, sambangi tempat-tempat
yang ada di perimeter kompleks. Rasakan pelan-pelan kemegahan kompleks ini.
Biarkan imajinasi mengalir saat tuk-tuk membawa anda ke candi-candi yang agak
keluar dari kompleks. Pelan-pelan baru jalani candi-candi di dalam.
Preah Khan |
Preah Khan |
Neak Poan |
Eastern Mebon |
Ta Phrom |
Banteay Srei - salah satu favorit saya karena cantiiikkk....dan terasa sangat feminin |
Banteay Srei |
Preah Palilay |
Berjalanlah pelan-pelan di setiap lorong di Angkor Wat. Perhatikan setiap detail ukiran di batu-batu ini |
The famous Angkor Wat |
Banteay Kdei - yang di jamannya adalah tempat tinggal para biksu |
Selain kompleks kerajaan Khmer, saya rasa juga penting
menyambangi danau Tonle Sap. Ini kami lakukan di hari terakhir di Siem Reap
sebelum kami terbang ke Phnom Penh di sore hari.
Danau ini, yang tersambung dengan sungai panjang Tonle Sap,
yang menyambungkannya dengan Sungai Mekong, adalah danau terbesar di Asia
Tenggara. Danau ini jadi sumber daya air tawar untuk Kamboja dan juga adalah
bagian dari daerah delta Mekong yang punya ‘sistem hidrologis alami’ yang cukup
unik. Di musim kering, aliran mengalir dari arah laut ke danau. Menjadikan
danau ini tidak pernah kering. Tapi pada saat musim hujan, air mengalir ke arah
laut. Sistem hidrolik alami ini membuat danau ini jadi sumber kehidupan air
tawar yang luar biasa kaya sepanjang tahun.
Di Tonle Sap ada beberapa kampung dengan rumah-rumah apung.
Kami memilih ke Komphong Pluk – salah satu yang dari segi jarak termasuk
lumayan jauh dari Siem Reap, sekitar 30 km. Dan, bayangkan jarak itu ditempuh
dengan tuk-tuk yang ajrut-ajrutan, jalan yang berdebu luar biasa karena awal
musim hujan baru tiba saat kami disana akibatnya udara amat panas dan berdebu,
dan sebagiannya lewat jalan tanah yang bolong disana sini.
Cukup unik melihat rumah-rumah tinggi yang seperti rumah
tingkat dari kayu, berdiri di sepanjang pinggir danau, yang saat musim hujan,
bisa tergenang air sampai setinggi 5 meter atau lebih.
Orang-orang ini
mempunyai 2 jenis mata pencaharian karena daerah tempat tinggal mereka yang
unik. Di musim kering mereka bertani dan bercocok tanam. Di musim hujan, mereka
menjadi nelayan. Sehingga sepanjang tahun mereka selalu punya sumber
penghasilan.
Salah satu ruas jalan menuju Kompong Phluk |
Tonle Sap river di sebelah kiri kami |
Bamboo skyscrappers :) |
Phnom Penh – Kamboja yang menggeliat, Kamboja yang penuh luka
Kita kan sering ya denger orang Indonesia bilang gini (saya
juga suka ngomong gini sih kadang-kadang), “Sejarah kita tuh megah banget ya, dengan
kerajaan-kerajaan besar Nusantara. Tapi kenapa sekarang negara jadi blangsak
begini ya”.
Eh jangan sedih. Masih ada yang lebih bikin sedih dibanding
kita.
Setelah menyelami kemegahan kerajaan Khmer di masa lalu di
Siem Reap. Terkagum-kagum dengan arsitekturnya yang luar biasa njelimet
(ngebayangin gimana mereka angkat segitu banyak batu gede ke lokasi pembangunan
candinya aja udah puyeng...belum ngukirnya...belum angkat batu-batu itu ke
tingkat-tingkat yang tinggi-tinggi...), dan membayangkan bahwa di masanya, ada
kira-kira 1 juta penduduk tinggal di kompleks itu, datang ke Phnom Penh seperti
disadarkan (kembali) bahwa ada sejarah kelam menyelimuti Kamboja.
Luka-luka itu tidak pernah hilang. Di Siem Reap juga ada
sih, terutama cerita tentang mereka yang jadi korban sisa-sisa ranjau yang
tersebar di banyak tempat gara-gara perang. Cuma mungkin kemegahan kompleks
Angkor begitu overwhelming sehingga somehow cerita-cerita itu ‘terabaikan’ oleh
saya. Tapi begitu di Phnom Penh, saya berkali-kali tersentak.
Cerita tentang ayah, saudara, kakak, adik, ibu yang hilang
di jaman Khmer merah, bisa dengan mudahnya terlontar dari mulut siapapun di
Phnom Penh. Kami dengar itu dari guide di Istana, dari supir taksi, dari tukang
jualan minuman, dari petugas hotel. Tanpa kami tanya. Tanpa letupan emosi. Datar.
Tapi dalam kedataran itu, terasa ada kedalaman kepedihan disana.
Phnom Penh sendiri ada kota yang jelas sedang menggeliat. Walaupun
masih termasuk salah satu negara yang miskin, tapi pertumbuhan ekonomi mereka
tinggi. Dan itu terlihat di Phnom Penh, yang walaupun masih ada kesan berantakan, tapi
punya beberapa cafe yang chic, dan gedung-gedung yang modern. Dan water front
mereka, cukup rapi dan asik untuk dijalani sore-sore.
The Central Market, wajib anda datangi kalau anda pecinta arsitektur. Unik
banget!.
Kantor posnya gedungnya cantiiikk |
Stasiun kereta api tapi khusus untuk angkut barang. Lucunya mereka nggak punya kereta penumpang. Mungkin memang transportasi udara dan air jauh lebih cocok untuk negeri ini |
Phnom Penh memang sedang bebenah. Menurut Cip yang ke tempat ini tahun 2008, taman ini dulunya tempat yang kumuh. Sekarang sudah jadi taman cantik di salah satu pusat kota |
Gedung modern seperti ini sudah ada di banyak tempat |
Water front yang asik untuk dijalani sore-sore. Ngeliatin orang |
Rumah tinggi-tinggi langsing mirip seperti yang banyak sekali di Hanoi dan Saigon. Cara mereka menyiasati mahalnya pajak tanah: makan lahan kecil tapi membuat ruang ke atas :) |
Kontras: yang tinggal di perahu kumuh vs perahu yang membawa turis river tour menunggu sunset |
Melamuni indahnya langit sore |
Central market of Phnom Penh....keren abis gedung ini!!! sumpah! |
Kami nginep di salah satu heritage hotel disana, Foreign Correspondents Club yang di jaman perang adalah tempat para wartawan asing berkumpul bertukar cerita dan berita. Hotel ini punya
rooftop bar, dan kalau pagi, asik sekali menikmati matahari terbit dari bar ini
(walaupun ada gedung sebuah hotel bintang lima yang mengganggu pemandangan di
seberang sungai).
Nggak jauh dari tempat kami nginep, adalah the Grand Palace.
Tidak semegah Grand Palace-nya Thailand, memang. Tapi yang asik, kalau malam, ‘alun-alun’
istana ini betul-betul jadi tempat rakyat berkumpul. Dimana orang makan
lesehan, anak berlarian, pacaran, dan segala yang kita biasa lihat di taman
Monas.
That beautiful sunrise. Yang tentu juga bisa dinikmati dari water front |
The Grand Palace. Yang sempat jadi tempat Pol Pot tinggal |
Gedung ini agak mengganggu - sedikit maksa menempatkan gedung khas Perancis di tengah-tengah kompleks Grand Palace ini |
Kuil di Grand Palace. Lantainya, ditutup dengan perak asli. Tentunya sekarang tertutup karpet |
Alun-alun di depan Grand Palace yang kalau malam jadi tempat nongkrong |
Siap untuk lesehan |
Phnom Penh adalah juga tempat awal untuk mengunjungi tempat-tempat dimana kengerian Khmer Merah dilakukan. Ada 2 tempat ‘wajib’ kalau anda adalah penyuka sejarah. Yang pertama adalah Tuol Svay Pray High School.
Dulunya sekolah, tempat ini oleh Khmer Merah dijadikan kamp awal dimana mereka dengan detail menginterogasi, menyiksa dan mencatat dengan rapi semuanya. Mengerikan membayangkan semua ini dilakukan oleh saudara-saudara setanah air...
Saya ngeri banget baca yang satu ini |
Tadinya gentong-gentong itu saya pikir untuk hiasan dan tanaman... |
Dinding yang dibongkar untuk membuat jalan untuk menyambung satu ruang kelas dengan yang lain, dimana tiap ruangan sudah 'disulap' jadi beberapa sel-sel kecil |
Kawat-kawat dipasang untuk mencegah para tahanan melarikan diri |
Setelah Tuol Svay, then the ultimate: Killing Fields yang terletak sekitar 15km di luar kota Phnom Penh.
Anda hanya akan dituntun oleh sebuah audio guide di Killing
Fields. Cerita yang dituturkan oleh para korban sendiri. Setiap cerita,
menuntun pada lokasi-lokasi yang tersebar disana.
Saya harus duduk menenangkan diri setelah keliling Killing
Fields. Air mata saya mengalir tanpa bisa saya tahan di banyak titik di tempat
itu. Saya tidak sanggup mengambil banyak foto disana, tangan saya gemetar
membayangkan kengerian para korban.
Bekas-bekas kain, dan juga sisa-sisa tulang
yang bisa anda lihat di jalan-jalan setapak yang anda lewati disana,
menggambarkan kekejaman luar biasa yang dulu terjadi, bertahun-tahun.
Dan kalau anda orang yang cukup sensitif terhadap dunia lain,
anda pasti bisa merasakan mereka masih hadir disana dengan kepedihannya
masing-masing. It was a chilling reminder bahwa manusia, memang bisa lebih
kejam daripada binatang.
Dengarkan those chilling stories dari audio guide sambil duduk dan memandang tiap tempat... |
Tempat penyimpanan tulang belulang para korban |
Doa-doa yang digantungkan demi ketenangan para arwah |
Rumah arwah |
--
“Traveling tends to magnify all human emotions.” — Peter Hoeg (penulis dari Denmark).
Saya suka sekali dengan quote itu...very true.
Perjalanan ke
Kamboja meninggalkan banyak perasaan di hati saya. Campur aduk. Tapi itu adalah
candu untuk selalu melakukan perjalanan, karena tanpa perasaan yang tertinggal,
perjalanan itu mungkin hanya sebuah persinggahan tanpa makna...
(R I R I)
No comments:
Post a Comment