Sunday, October 4, 2015

Kamboja – Kegemilangan Masa Lalu, dan Luka yang Tak Kunjung Sembuh



Manusia, secara naluri, sebetulnya selalu tergerak dengan cerita-cerita tragedi. Buktinya, infotainment yang isinya kepedihan hidup para selebriti pasti ratingnya tinggi. Sinetron yang selalu penuh dengan orang teriak marah-marah dan uraian air mata, ratingnya juga selalu top. Berita koran yang isinya pembunuhan berdarah-darah bisa jadi obrolan dimana-mana. Setelah ada tragedi, pasti media sosial penuh dengan posting-an foto-foto korban, padahal sudah jelas itu tidak beretika. 

Tapi ya kenyataannya memang begitu. Tragedi, dengan caranya sendiri, membuat kita mungkin merasa beruntung masih hidup. Atau mungkin mengingatkan kita bahwa nggak semua orang baik hati jadi harus selalu waspada. Nggak tahu juga saya apa yang sebetulnya terjadi di otak kita saat kita membaca cerita-cerita seperti itu. 

Saya, juga tidak imun dari yang seperti itu. Sejak SMA, saya suka sekali baca kisah-kisah tragedi. Dari Titanic, holocaust jaman Nazi, dan cerita-cerita perang Vietnam dan Khmer Merah di Kamboja. Dan seperti banyak orang di jamannya, saya juga nonton Killing Fields. Sampai mata bengkak karena menangis sepanjang film, tapi ya saya duduk manis dan menontonnya. 

Imaji-imaji itu tertera di kepala saya. Itu pula yang membuat saya penasaran untuk pergi ke negara-negara dimana tragedi-tragedi itu terjadi, untuk berdiri di atas tanahnya dan membayangkan kengerian yang terjadi saat itu. Salah satunya yang bikin saya penasaran, adalah Kamboja. 

Kamboja juga adalah Angkor Wat. 

Seiring dengan waktu, saya juga dibuat terpana dengan tempat-tempat yang masuk dalam daftar Unesco World Heritage. Dan Angkor Wat, adalah salah satunya. 

Sebuah peradaban besar, kota yang besar dan canggih di jamannya, menghilang sekian lama untuk kemudian ditemukan lagi di tengah hutan belantara. Itu kisah yang mempesona buat saya yang dulu pernah bercita-cita ingin jadi arkeolog gara-gara film Indiana Jones (sebetulnya saya ingin jadi arkeolog siapa tahu ada arkeolog yang seganteng Indiana Jones yang mau pacaran dengan saya saat ekskavasi situs sejarah. Itu kalo dibayangin romantis buangeeeetttt...). 

Setelah bertahun-tahun cuma bisa berangan-angan bisa sampai ke Angkor Wat dan lihat Killing Fields, akhirnya bulan Mei lalu bisa juga saya menjejakkan kaki di tanah Kamboja. 

Nah. Kalau ke Kamboja, enaknya kemana dulu: Siem Reap – gerbang menuju kompleks Angkor, baru ke Phnom Penh, atau Phnom Penh dulu baru ke Siem Reap?. Ini perdebatan awal saya dan Cip sebelum berangkat. Kami akhirnya memilih ke Siem Reap dulu baru ke Phnom Penh. Alasannya sesederhana: saya lebih penasaran lihat kompleks kerajaan Khmer, baru setelah itu saya mau lihat kota besarnya. 

Turned out, menurut saya, itu keputusan yang benar. 

Siem Reap – Meresapi kemegahan masa lalu 

Ke Siem Reap dulu, memberikan gambaran yang indah tentang masa lalu Kamboja. Yang membuat kita bisa melupakan sejenak bahwa saat inipun Kamboja masih termasuk salah satu negara termiskin di dunia – yang keselamatan ekonominya masih sangat tergantung pada bantuan luar negeri. Bahwa ini adalah negeri yang belasan tahun terkoyak perang saudara. Dan bahkan sampai saat ini masih kadang bersitegang dengan musuh bebuyutan sejak masa lalu: Vietnam dan Thailand. 

Melihat kompleks yang dibangun oleh kerajaan Khmer ini, adalah menelusuri kebesaran masa lalu. Bahwa Kamboja di masa itu, adalah sebuah negeri indah permai yang merupakan lumbung padi raksasa saking suburnya. Dan arsitektur Khmer, adalah salah satu karya besar teknologi jaman dulu dengan kerumitan yang menakjubkan.

Untuk ‘dapet feeling’-nya, saran saya jangan langsung ke Angkor Wat. Sisakan itu untuk hari kedua, atau bahkan ketiga, tergantung berapa hari yang Anda akan habiskan di Siem Reap. Total yang kami habiskan di Kamboja adalah 5 hari – 3 hari di Siem Reap, 2 hari di Phnom Penh. 

Jalani dulu candi-candi (kami lebih senang menyebut semuanya candi, walaupun mungkin salah) yang lebih kecil dulu, sambangi tempat-tempat yang ada di perimeter kompleks. Rasakan pelan-pelan kemegahan kompleks ini. Biarkan imajinasi mengalir saat tuk-tuk membawa anda ke candi-candi yang agak keluar dari kompleks. Pelan-pelan baru jalani candi-candi di dalam. 



Preah Khan

Preah Khan

Neak Poan

Eastern Mebon

Ta Phrom

Banteay Srei - salah satu favorit saya karena cantiiikkk....dan terasa sangat feminin

Banteay Srei

Preah Palilay

The famous Bayon - saya kasih dia nickname 'candi narsis', karena walaupun di sejarah yang tertulis keempat wajah yang ada dimana-mana itu adalah wajah sang Buddha, tapi konon juga wajahnya sangat mirip dengan Raja Khmer yang memerintahkan pembangunan candi ini :)

Berjalanlah pelan-pelan di setiap lorong di Angkor Wat. Perhatikan setiap detail ukiran di batu-batu ini
The famous Angkor Wat
 
Baphuon - butuh usaha untuk menaiki berpuluh (atau malah beratus ya...nggak ngitung) anak tangga untuk sampai ke puncak tempat ini. Agak sedikit nekat melakukannya di jam 10, di musim ini. Yang lebih waras mungkin melakukannya di jam 7 pagi, saat matahari masih sedikit ramah

  

Banteay Kdei - yang di jamannya adalah tempat tinggal para biksu
Berjalanlah pelan-pelan di atas Terrace of the Elephants dan Terrace of the Leper Kings. Bayangkan kemegahan masa lalu saat pasukan kerajaan berbaris di hadapan teras ini, dan sang Raja menginspeksi pasukan-pasukan itu - tentara-tentara perkasa menunggang gajah dan kuda


Selain kompleks kerajaan Khmer, saya rasa juga penting menyambangi danau Tonle Sap. Ini kami lakukan di hari terakhir di Siem Reap sebelum kami terbang ke Phnom Penh di sore hari. 

Danau ini, yang tersambung dengan sungai panjang Tonle Sap, yang menyambungkannya dengan Sungai Mekong, adalah danau terbesar di Asia Tenggara. Danau ini jadi sumber daya air tawar untuk Kamboja dan juga adalah bagian dari daerah delta Mekong yang punya ‘sistem hidrologis alami’ yang cukup unik. Di musim kering, aliran mengalir dari arah laut ke danau. Menjadikan danau ini tidak pernah kering. Tapi pada saat musim hujan, air mengalir ke arah laut. Sistem hidrolik alami ini membuat danau ini jadi sumber kehidupan air tawar yang luar biasa kaya sepanjang tahun. 

Di Tonle Sap ada beberapa kampung dengan rumah-rumah apung. Kami memilih ke Komphong Pluk – salah satu yang dari segi jarak termasuk lumayan jauh dari Siem Reap, sekitar 30 km. Dan, bayangkan jarak itu ditempuh dengan tuk-tuk yang ajrut-ajrutan, jalan yang berdebu luar biasa karena awal musim hujan baru tiba saat kami disana akibatnya udara amat panas dan berdebu, dan sebagiannya lewat jalan tanah yang bolong disana sini. 

Cukup unik melihat rumah-rumah tinggi yang seperti rumah tingkat dari kayu, berdiri di sepanjang pinggir danau, yang saat musim hujan, bisa tergenang air sampai setinggi 5 meter atau lebih.

Orang-orang ini mempunyai 2 jenis mata pencaharian karena daerah tempat tinggal mereka yang unik. Di musim kering mereka bertani dan bercocok tanam. Di musim hujan, mereka menjadi nelayan. Sehingga sepanjang tahun mereka selalu punya sumber penghasilan.



Salah satu ruas jalan menuju Kompong Phluk

Tonle Sap river di sebelah kiri kami

Bamboo skyscrappers :)



Oh kita juga bisa mampir di hutan yang selalu tergenang sepanjang tahun di Tonle Sap ini, dan beberapa perahu kecil akan dengan senang hati membawa anda keliling hutan, untuk USD 5 per orang, selama 30 - 45 menit

Phnom Penh – Kamboja yang menggeliat, Kamboja yang penuh luka 

Kita kan sering ya denger orang Indonesia bilang gini (saya juga suka ngomong gini sih kadang-kadang), “Sejarah kita tuh megah banget ya, dengan kerajaan-kerajaan besar Nusantara. Tapi kenapa sekarang negara jadi blangsak begini ya”. 

Eh jangan sedih. Masih ada yang lebih bikin sedih dibanding kita. 

Setelah menyelami kemegahan kerajaan Khmer di masa lalu di Siem Reap. Terkagum-kagum dengan arsitekturnya yang luar biasa njelimet (ngebayangin gimana mereka angkat segitu banyak batu gede ke lokasi pembangunan candinya aja udah puyeng...belum ngukirnya...belum angkat batu-batu itu ke tingkat-tingkat yang tinggi-tinggi...), dan membayangkan bahwa di masanya, ada kira-kira 1 juta penduduk tinggal di kompleks itu, datang ke Phnom Penh seperti disadarkan (kembali) bahwa ada sejarah kelam menyelimuti Kamboja. 

Luka-luka itu tidak pernah hilang. Di Siem Reap juga ada sih, terutama cerita tentang mereka yang jadi korban sisa-sisa ranjau yang tersebar di banyak tempat gara-gara perang. Cuma mungkin kemegahan kompleks Angkor begitu overwhelming sehingga somehow cerita-cerita itu ‘terabaikan’ oleh saya. Tapi begitu di Phnom Penh, saya berkali-kali tersentak. 

Cerita tentang ayah, saudara, kakak, adik, ibu yang hilang di jaman Khmer merah, bisa dengan mudahnya terlontar dari mulut siapapun di Phnom Penh. Kami dengar itu dari guide di Istana, dari supir taksi, dari tukang jualan minuman, dari petugas hotel. Tanpa kami tanya. Tanpa letupan emosi. Datar. Tapi dalam kedataran itu, terasa ada kedalaman kepedihan disana. 

Phnom Penh sendiri ada kota yang jelas sedang menggeliat. Walaupun masih termasuk salah satu negara yang miskin, tapi pertumbuhan ekonomi mereka tinggi. Dan itu terlihat di Phnom Penh, yang walaupun masih ada kesan berantakan, tapi punya beberapa cafe yang chic, dan gedung-gedung yang modern. Dan water front mereka, cukup rapi dan asik untuk dijalani sore-sore. 

The Central Market, wajib anda datangi kalau anda pecinta arsitektur. Unik banget!. 

Kantor posnya gedungnya cantiiikk

Stasiun kereta api tapi khusus untuk angkut barang. Lucunya mereka nggak punya kereta penumpang. Mungkin memang transportasi udara dan air jauh lebih cocok untuk negeri ini

Phnom Penh memang sedang bebenah. Menurut Cip yang ke tempat ini tahun 2008, taman ini dulunya tempat yang kumuh. Sekarang sudah jadi taman cantik di salah satu pusat kota

Gedung modern seperti ini sudah ada di banyak tempat

Water front yang asik untuk dijalani sore-sore. Ngeliatin orang

Rumah tinggi-tinggi langsing mirip seperti yang banyak sekali di Hanoi dan Saigon. Cara mereka menyiasati mahalnya pajak tanah: makan lahan kecil tapi membuat ruang ke atas :)

Kontras: yang tinggal di perahu kumuh vs perahu yang membawa turis river tour menunggu sunset

Melamuni indahnya langit sore

Central market of Phnom Penh....keren abis gedung ini!!! sumpah!




Kami nginep di salah satu heritage hotel disana, Foreign Correspondents Club yang di jaman perang adalah tempat para wartawan asing berkumpul bertukar cerita dan berita. Hotel ini punya rooftop bar, dan kalau pagi, asik sekali menikmati matahari terbit dari bar ini (walaupun ada gedung sebuah hotel bintang lima yang mengganggu pemandangan di seberang sungai).

Nggak jauh dari tempat kami nginep, adalah the Grand Palace. Tidak semegah Grand Palace-nya Thailand, memang. Tapi yang asik, kalau malam, ‘alun-alun’ istana ini betul-betul jadi tempat rakyat berkumpul. Dimana orang makan lesehan, anak berlarian, pacaran, dan segala yang kita biasa lihat di taman Monas. 
 
That beautiful sunrise. Yang tentu juga bisa dinikmati dari water front


The Grand Palace. Yang sempat jadi tempat Pol Pot tinggal


Gedung ini agak mengganggu - sedikit maksa menempatkan gedung khas Perancis di tengah-tengah kompleks Grand Palace ini

Kuil di Grand Palace. Lantainya, ditutup dengan perak asli. Tentunya sekarang tertutup karpet
 
Ini niat banget deh polisinya gantung hammock kayak gini. Dan ini di jalan di depan Grand Palace :)

Alun-alun di depan Grand Palace yang kalau malam jadi tempat nongkrong

Siap untuk lesehan

Phnom Penh adalah juga tempat awal untuk mengunjungi tempat-tempat dimana kengerian Khmer Merah dilakukan. Ada 2 tempat ‘wajib’ kalau anda adalah penyuka sejarah. Yang pertama adalah Tuol Svay Pray High School.

Dulunya sekolah, tempat ini oleh Khmer Merah dijadikan kamp awal dimana mereka dengan detail menginterogasi, menyiksa dan mencatat dengan rapi semuanya. Mengerikan membayangkan semua ini dilakukan oleh saudara-saudara setanah air...



Salah satu ruang penyiksaan
 


Makam beberapa belas orang terakhir yang ada di kamp ini saat tempat ini ditemukan

Di kompleks ini ada beberapa gedung. Tadinya tempat untuk mendidik, di jaman Khmer Merah, dijadikan tempat menyiksa. Ironis...karena kadang-kadang pendidikan juga bisa bersifat menyiksa, dengan cara yang berbeda saja...hehe..

Saya ngeri banget baca yang satu ini

Tadinya gentong-gentong itu saya pikir untuk hiasan dan tanaman...

Dinding yang dibongkar untuk membuat jalan untuk menyambung satu ruang kelas dengan yang lain, dimana tiap ruangan sudah 'disulap' jadi beberapa sel-sel kecil

Kawat-kawat dipasang untuk mencegah para tahanan melarikan diri
Setelah Tuol Svay, then the ultimate: Killing Fields yang terletak sekitar 15km di luar kota Phnom Penh.

Anda hanya akan dituntun oleh sebuah audio guide di Killing Fields. Cerita yang dituturkan oleh para korban sendiri. Setiap cerita, menuntun pada lokasi-lokasi yang tersebar disana. 

Saya harus duduk menenangkan diri setelah keliling Killing Fields. Air mata saya mengalir tanpa bisa saya tahan di banyak titik di tempat itu. Saya tidak sanggup mengambil banyak foto disana, tangan saya gemetar membayangkan kengerian para korban. 

Bekas-bekas kain, dan juga sisa-sisa tulang yang bisa anda lihat di jalan-jalan setapak yang anda lewati disana, menggambarkan kekejaman luar biasa yang dulu terjadi, bertahun-tahun. 

Dan kalau anda orang yang cukup sensitif terhadap dunia lain, anda pasti bisa merasakan mereka masih hadir disana dengan kepedihannya masing-masing. It was a chilling reminder bahwa manusia, memang bisa lebih kejam daripada binatang. 




Dengarkan those chilling stories dari audio guide sambil duduk dan memandang tiap tempat...

Tempat penyimpanan tulang belulang para korban

Doa-doa yang digantungkan demi ketenangan para arwah

Silahkan bayangkan: bayi-bayi yang kepalanya dihantamkan ke pohon ini. Setelah dari titik ini saya nggak bisa meneruskan langkah saya untuk beberapa saat. Terduduk lemas di jalan sekitar 3 meter dari pohon ini, nangis tanpa henti...

Rumah arwah
 --

“Traveling tends to magnify all human emotions.” — Peter Hoeg (penulis dari Denmark). 

Saya suka sekali dengan quote itu...very true. 

Perjalanan ke Kamboja meninggalkan banyak perasaan di hati saya. Campur aduk. Tapi itu adalah candu untuk selalu melakukan perjalanan, karena tanpa perasaan yang tertinggal, perjalanan itu mungkin hanya sebuah persinggahan tanpa makna... 

(R I R I) 





No comments:

Post a Comment

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts