Ini malam terakhir kami di Istanbul. Sudah seminggu kami
kelayapan di kota ini, dan beberapa tempat diluar kota.
Ini perjalanan yang sempat kesandung, hampir saja batal
karena beberapa alasan. Salah satunya: ibu kami khawatir melepas dua anak
perempuannya kelayapan di negeri yang menurut beliau berbahaya. Rupanya,
berita-berita ISIS, adanya WNI yang hilang entah diculik atau melenyapkan diri
disini untuk bergabung dengan ISIS, dan ada cerita anak temannya yang sempat
hilang beberapa hari, membuat beliau khawatir luar biasa.
Iya. Umur kami memang sudah kepala 4. Saya sudah punya anak
2. Salah satunya hampir remaja. Tapi yaaa namanya mamak-mamak susah untuk tidak
khawatir. Tapi saya nggak akan cerita tentang drama jadi mamak (yang saya
rasakan siiih...adakalanya saya ingiiin waktu sesekali berhenti supaya
anak-anak tidak cepat besar...hiks...).
Anyway, seperti biasa kami percaya insya Allah akan
baik-baik saja asal tetap eling lan waspada. Jadi sudah, berangkatlah kami.
Begitu kami tiba, needless to say Istanbul was
mind-boggling. Kota ini besaaaarrr. Penduduknya 14 juta jiwa. Straddling
between Europe and Asia. Dengan gang-gang kecilnya. Dengan kepadatannya. Dengan
ketidakteraturan tapi juga teratur – nah bingung kan?. To top it off: dengan
keterbatasan bahasa. Kami nggak ngerti bahasa Turki, pastinya, mereka juga
terbatas sekali bahasa Inggrisnya.
Tapi...ada yang selalu menyelamatkan kami: kebaikan hati.
Saat pusing di pinggir jalan nyari di Google Maps dimana
letak sebuah gedung, tahu-tahu ada shopkeeper nyamperin (yang tadinya saya cuekin karena
setelah beberapa hari disini, ada satu hal tentang pria Turki: selain ganteng,
mereka doyaaan merayu...jadi mendingan usaha sendiri dulu sebelum nanya terus malah mereka ngerayu). Dia nanya, “What are you looking for?”, dengan bahasa Inggris yang sangat bagus (not
to mention ganteng juga...hadeuh...salah fokus melulu deh pokoknya disini). Saya
bilang lagi cari kantor pos. Dan dia nunjukin jalannya. Dan kami nggak dirayu
supaya mampir di tokonya.
Di saat lain, kami naik bis keluar kota. Tahu-tahu pak ‘kenek’
(kelewat keren sih dibilang kenek wong berseragam rapi kok yaaa...), lewat bawa
nampan isi kue. Kami nggak ambil karena kami pikir harus bayar. Kakak saya
tanya pada ibu di sebelah kami dan dia yang akhirnya jelasin kalau semua
gratis: kue, air, Coke...you name it. Si ibu panggil si Kenek Keren (nggak yang
ini nggak ganteng, tapi kan kasian dibilang kenek ngebayangin kayak yang di
Jakarta...beda banget soale), supaya dia bawain lagi kuenya buat kami.
Ibu yang sama pula yang nolongin kami waktu tahu-tahu bis
berhenti, lalu ada tentara bersenapan masuk. Panik dong. Ternyata pengecekan
identitas. Makin panik, karena baru sadar paspor kami semua ada di hotel. Ibu itu
yang nolong jelasin ke si tentara bahwa kami turis, dan ke kota ini hanya untuk
berkunjung sehari lalu balik ke Istanbul di hari yang sama. Selameettt... (pake
deg-degan setengah modar....pake senapan boookkk...serius benerrr).
Di stasiun, saat kami sadar jumlah uang di Istanbul Card (ini
kartu yang bisa dipakai untuk naik trem, kereta, dan ferry) sudah menipis, kami
ke mesinnya untuk nambah kredit. Karena nggak ngerti gimana caranya, dan ya
pastinya lah instruksinya dalam bahasa Turki dan nggak ada bahasa Inggrisnya,
kami berdiri di belakang seorang bapak untuk observasi gimana caranya. Eh,
tahu-tahu dia berbalik, ngomong dalam bahasanya, tapi intinya dia mau nolongin
kami menambah kredit di kartu kami.
Dia tunjuk uang yang saya pegang, dia ambil kartu dari
tangan saya, dia masukkan uangnya dan voila – kartu sudah terisi. Dia nanya,
apakah kami akan naik kereta (dengan bahasanya pula), kami nunjuk ke arah trem. Kami berpisah, setelah berjabat tangan dan saying a simple goodbye dan
saya ber-thank you thank you berkali-kali.
--
Entah sudah berapa kali sebetulnya saya mengalami these
random acts of goodness dalam perjalanan-perjalanan yang saya lakukan. Tapi mengalaminya
di negeri asing, yang bahasanya saya nggak ngerti sama sekali, rasanya seperti
menemukan oasis di padang pasir (not that I’ve experienced that...tapi kalau
baca cerita Tintin sih kebayang deh rasanya gimana).
Saya tidak pernah percaya agama akan menyelamatkan dunia
(dengan resiko saya dibenci beberapa pemeluk agama yang fanatik...yang
mudah-mudahan nggak pernah tahu saya tinggal dimana). Tapi saya percaya bahwa
kebaikanlah yang bisa melakukan itu. Selama masih ada orang baik di dunia,
rasanya masih ada harapan.
Nah pertanyaannya nih yang jleb jleb jleb saat saya bertanya pada diri sendiri sambil ngelamun tadi di trem: kapan loe terakhir melakukan random
acts of goodness to a total stranger?. Eeerrrrrrr.....kok lama sekali saya
harus mikir ya. Yes, ketampar bolak balik. Yes, maluuuu....
Lha kalau baik sama teman, saudara, kenalan, itu mah biasa. Tapi
berbuat baik pada orang yang kita nggak kenal? – itu doing goodness for
goodness’s sake bukan?. Yang menurut saya kayaknya nilainya lebih tinggi karena
nggak ada agenda selain ya berbuat baik aja gitu.
--
Kita baru saja masuk tahun baru Hijriyah, dan sebentar lagi
2015 pun bakal berakhir. Mungkin, ini saatnya saya mencanangkan resolusi: do as
many random acts of goodness as you possibly can to total strangers, supaya
dunia terus berputar... (eh mampus, bikin resolusi kok di blog yang dibaca
banyak orang ya...haha...jangan ngecek ya nanti gue udah kerjain atau belum!. Yang
penting niaaaatttt).
Dan saya akan cerita ke Ibu saya – bahwa Istanbul nggak
membahayakan kok, karena masih ada orang baik disana sini.
(R I R I – menemukan kebaikan di Istanbul yang sensual ini,
ternyata sama menyenangkannya dengan melihat banyaknya cowok ganteng disini
#eh).
No comments:
Post a Comment