Hari Minggu lalu, sebagai bagian dari kerjaan, saya
ngintilin seorang konsumen dari pagi sampai sore. Usianya 23 tahun, cowok. Baru
kerja hampir 2 tahun.
Kami mulai ngobrol di rumahnya. Dalam panjang lebar ngobrol,
saya sempat tanya apakah dia merokok. Dia jawab nggak.
Dari rumahnya kami ke kafe karena dia bakal hangout dengan teman-temannya. Sampai disana,
dia bilang, “Diluar aja ya mbak, biar bisa ngerokok”. Lah. Kagetlah saya. Saya bilang,
“Tadi loe bilang loe nggak ngerokok”. Dia sambil ketawa, “Ya kalau di rumah
harus keliatan baek lah mbak. Gue benernya nggak boleh ngerokok ama nyokap
karena asma. Tapi yaaa...kalau udah diluar rumah badung nggak apa-apalah”.
Lalu dia cerita juga tentang gimana dia memperlakukan
adiknya yang juga laki-laki, “Gue bilang ama adek gue juga gitu, loe silahkan
badung tapi jangan bawa ke rumah. Loe mau ngebo’at, silahkan asal jangan jadi
junkie. Mau mabok sana asal pulang ke rumah loe udah waras. Mau tidur ama cewek
mana juga terserah asal pulang jangan bawa piala yang bisa ngomong, gue hajar
loe kalo sampe kejadian”.
Wah. Menarik tuh prinsip: it’s OK to be bad outside, but
when you’re at home, be good.
Saya nggak tahu sih apakah banyak anak muda yang mikirnya
kayak gitu. Dulu waktu saya masih mudaan dikit (which baru yaaahhh 5 – 6 tahun
lalu...cekakaaaakkkk...), rasanya sih ada sisi itu pada saya.
Saya yang memang relatif lebih jahil dan nekat dibanding
kakak saya yang manis itu, memang rasanya selalu punya strategi supaya orang
tua saya nggak tahu betapa sintingnya saya, kadang-kadang. Cuma ya saya nggak
pernah ‘mendefinisikannya’ sejernih dan sejelas si cowok itu.
Lalu ada lagi cerita dari dia, bahwa saking dia bandelnya
waktu SMA, orang tuanya melarang dia untuk sekolah ke luar kota. Sementara
adiknya, sekarang kuliah di Malang.
Sebelumnya, beberapa hari sebelum kerjaan ini, saya juga
ngobrol dengan teman saya yang lain yang juga punya 2 anak. Dia cerita tentang
anak keduanya yang menurut dia lebih nekat, suka bikin aturan sendiri, selalu ngeles kalau dibilangin. Dengerin cerita
dia, saya membatin, “Lah kok kayak gue dan si Lila ya...” (Lila itu anak saya
yang kedua, yang lebih sering bikin saya speechless
padahal baru 4 tahun).
Teman saya ini juga bilang bahwa dia kayaknya nggak akan
ngelepas anak keduanya ini sekolah ke luar kota karena nggak kebayang nanti
gimana kelakuannya kalau jauh dari orang tua yang bisa memonitor.
Wah, kok mirip ya: kalo badung, jangan dilepas dari rumah.
Saya lalu jadi inget waktu lulus SMA, milih sekolah untuk
kuliah. Jaman itu harus ikut Sipenmaru. Saya ikut yang IPC – yang boleh pilih
program IPS dan IPA. Urutan sekolah yang saya pilih waktu itu: FKUI (gaya
banget...padahal sih tahu pasti nggak tembus), FK-Unpad, dan terakhir, FPsikologi-UI.
Saya masih inget banget tuh komentar kakak saya, “Jangan
sampe loe keterima di Unpad...jadi apa loe kalo sendirian di Bandung. Pasti bengalnya
makin jadi”. Dan saya juga inget ibu saya waktu itu cuma ketawa tapi matanya
mengamini kata-kata kakak saya. Saya cuma bisa merengut (karena jujur saat itu
saya pengen banget keluar rumah – pengen tahu apa rasanya hidup sendiri, emang
gue bisa survive kalo gak ada nyokap bokap deket gue?...gitu).
Dan tampaknya mestakung (baca: semesta mendukung) kakak dan
ibu saya, saya diterima di UI. Saya keluarin jurus lain: minta boleh ngekos di
Depok.
Wuidih. Belum juga lengkap alasan saya minta boleh ngekos,
ibu saya udah duluan membombardir dengan macam-macam alasan untuk bilang, “Nggak
usah”. Kakak saya nambahin. Bapak saya, seperti biasa, cuma diam (he was always
my ally...saya tahu tuh beliau mau aja mengiyakan, tapi emang enak dicerewetin
dua perempuan lainnya?...hihi...kasian deh).
Dan alhasil, saya ngendon di rumah sampai kuliah kelar. Sampai
akhirnya sekian tahun setelah itu saya ambil S2 dan AKHIRNYAAA, I was free to
try to live on my own.
Apakah waktu itu saya badung? – hahahaa...yaiya
laaahh...rugi udah tinggal sekian mil jauhnya terus saya nggak badung. Tapi toh
saya baik-baik saja. Kuliah kelar dengan nilai yang tidak memalukan dan tepat
waktu. That was my proof bahwa saya bisa kok dipercaya tinggal sendirian.
--
Cerita-cerita tadi itu bikin saya mikir: sejauh mana ya
harusnya sebagai orang tua kita ‘menggawangi’ anak?. Ngejaga mereka in the name
of their own safety and future?.
Saya juga cerita ke Cip soal ini. Komentar dia menarik juga,
“Lho kalau nggak dibiarin anak lepas dari kita, gimana mereka mau belajar untuk
ngontrol dirinya dong. Dia bandel harusnya nggak jadi alasan untuk ngebiarin
anak belajar kan?”.
Saya juga inget dulu dia pernah bilang kalau orang tua ragu
melepas anaknya untuk melakukan sesuatu, itu artinya si ortu juga ragu dong
sama dirinya sendiri. Ragu bahwa apa yang mereka sudah ajarkan itu tertanam di
benak anak, ragu apakah AJARAN MEREKA sebagai orang tua bisa dipercaya untuk
anak bisa menjaga dirinya sendiri. Eh makjleb. Bener juga ya (sambil garuk
kepala yang tak gatal).
Naaahhh saya belum tahu nih jawabnya apa, apa tindakan yang
paling benar. Anak saya belum sampai di tahap dimana mereka bakal memberontak. Saya
masih punya 2 – 3 tahun lagi mungkin untuk ngadepin ‘tsunami emosi’ dan
pertengkaran-pertengkaran klasik antara remaja dan ortunya.
Dan nggak tahu juga apa nanti anak-anak akan mengadopsi
prinsip it’s OK to be bad outside but be good at home. Dan apakah saya akan
cukup canggih untuk ‘membaui’ kelakuan mereka. Let’s see...let’s see...saya
masih harus mengasah insting :)
(R I R I)
No comments:
Post a Comment