Meraih kemenangan.
Itu selalu tema utama yang diusung menjelang hari raya Idul
Fitri. Memenangkan perang dengan hawa nafsu. Mencapai ‘fitri’ seperti dulu
ketika dilahirkan.
Kenyataannya, saya malah jarang sekali merasa menang setiap
habis Ramadhan. Justru, saya sering merasa saya kalah, KO. Boro-boro merasa ‘fitri’,
merasa ‘lebih baik dari kemarin’ saja tidak pernah bisa.
Saya mungkin menang perang melawan lapar. Perang melawan
ngantuk. Perang melawan ketololan maksimal dan akut setiap jam 2 siang sampai 5
sore selama puasa Ramadhan.
Tapi apakah saya menang perang melawan keinginan mencela
orang?. Mungkin nggak diucapkan, tapi selaluuu saja ada yang tercetus dalam
hati. Walaupun selalu diikuti ‘astaghfirullah’ sesudahnya. Apakah saya menang
melawan ngomel? – pada anak, pada rekan kerja, pada suami, pada ART, pada orang
sekitar yang saya anggap menjengkelkan lah. Nyatanya, kadang masih ngomel juga.
Walaupun, ya itu, pasti diikuti ‘astaghfirullah’ dalam hati.
Kenyataannya, memang sulit menjaga hati. Padahal tujuan
Ramadhan adalah membersihkan hati dan jiwa dari segala karat yang lalu. Dan bukan cuma ibadah siang malam. Tapi itu
bukan pekerjaan mudah. Bikin laporan penelitian jauh lebih mudah dibanding
menjaga dan membersihkan hati. Makanya saya bisa bikin laporan dalam waktu 3
hari. Tapi dalam waktu 30 tahun lebih ini, rasanya saya masih belum bisa
menjaga hati.
Saya percaya bahwa Allah tidak segalak guru saya waktu SD
dulu, yang pasti langsung menjewer telinga kami kalau tidak bisa menjawab
pertanyaan di depan kelas. Allah dengan segala ke-Maha-annya, saya yakin punya
ruang yang luas untuk memahami ciptaan-Nya yang super lemah dan super bodoh
ini. Jadi saya juga percaya Allah akan memahami usaha kita untuk menjadi baik,
bahkan dengan kesalahan-kesalahan yang selalu berulang kita lakukan.
Tapi ya saya tidak tahu sih apa sebetulnya definisi menang
di mata Allah. Saya tidak akan pernah tahu, pastinya, sampai kelak saya kembali
pada-Nya mungkin.
Jadi saya tidak pernah merasa menang karena saya tidak tahu
definisinya.
Apakah dengan melakukan tarawih di setiap malam Ramadhan?. Apakah dengan
menegakkan tahajjud di setiap malamnya?. Atau dengan menunaikan zakat fitrah?. Atau
dengan mengheningkan diri di penggalan malam di 10 malam terakhir Ramadhan,
dengan doa yang tulus memohon ampun dan merendahkan diri di hadapan-Nya?. Apakah
dengan melakukan semuanya kita terjamin menang?. Saya tidak tahu. Kemenangan yang
hakiki buat saya adalah di saat saya berpulang kelak. Di saat perhitungan demi
perhitungan yang dilakukan di saat itu bisa membawa saya pada posisi yang paling
baik di sisi Allah.
Dan dengan tidak merasa menang, semoga saja setiap kali
Ramadhan saya bisa terus bertahan untuk melawan kebodohan diri sendiri. Untuk selalu
bisa bilang pada diri sendiri, “Nyong, loe tuh belum melakukan apa-apa. Ibadah
dan amalan loe masih jauuuuuhhhh bahkan dari kata cukup, tahu?!”.
Dan setiap kali merasa demikian, setiap kali pula saya
merasa ngelangut saat Ramadhan akan berakhir. 10 malam terakhir Ramadhan selalu
terasa seperti sebuah kesedihan panjang sebelum ditinggal kekasih tercinta. Di
malam takbiran, yang terasa hanya kepasrahan, dan selalu ada sepenggal
penyesalan, perasaan bahwa saya belum memanfaatkan waktu yang diberikan sebaik
mungkin. Dan saya masih menjadi manusia yang merugi.
Semoga saja saya masih dikasihani oleh Allah yang Maha
Penyayang, masih diberi kesempatan untuk berusaha makin dekat pada definisi-Nya
tentang menang, yang adalah hanya hak Dia untuk menentukan dan memberikan
predikat Pemenang itu kelak.
Taqabbalallahu minna waminkum, shiyamana wa shiyamakum. Mohon
maaf lahir dan batin.
Semoga kita tidak pernah lupa bahwa kita mungkin belum
menang...apalagi, fitri...
Sampai Ramadhan berikutnya. Aamiiin...
(R I R I)
No comments:
Post a Comment