Hari ini. 11 tahun yang lalu. Nggak bisa tidur semalaman.
Harus menghirup oksigen sejak tiba di rumah sakit walaupun nafas baik-baik
saja, tapi detak jantung si jabang bayi di dalam sudah tak beraturan. Antara
bahagia dan cemas. Will I see my baby alive?. Will she be OK?. Will WE be OK?.
Hari ini. 11 tahun kemudian. Melihat dia tumbuh. Berantem.
Berdebat. Menangis saat dia menangis. Ketawa bareng. Bikin banyolan konyol
bareng. Nyanyi bareng. Bikin cerita bareng. Ngomel.
Dan hari ini, tiba-tiba saya sadar dia telah meninggalkan 1
dasawarsa pertamanya sebagai manusia yang dilahirkan di bumi dengan tujuan
tertentu. Apa tujuan dia dilahirkan, hanya Allah semata yang tahu dan tugas dia
untuk mencari tahu. Dan tugas saya, tugas kami, adalah menemaninya sepanjang
perjalanan itu.
Hari ini (eh sejak kemarin ding...), saya seperti disadarkan
akan tugas yang akan menjadi lebih berat: menemaninya di dasawarsa keduanya,
masa-masa yang sayapun tahu bukan masa-masa yang mudah saat saya tumbuh dulu.
Dan suddenly I realised: I am not equipped for this.
Kita selalu bilang: kita harus dekat dengan anak, harus bisa
jadi 'teman' mereka, harus bisa terbuka. Kita selalu bilang jaman sudah
berubah. Kitapun, harus berubah demi menemani anak-anak kita menjalani jaman
yang makin tak beraturan.
Well, hello, we are not equipped for that!. I was not
brought up that way, so how am I supposed to know how to be like that?.
Banyaaaak sekali saat-saat yang saya sesali. Saat-saat
dimana tanpa saya sengaja (ataupun mungkin, sebetulnya secara sadar....), saya
membentak dia. Saat-saat dimana saya sebetulnya ingin bilang, “Please Tara, don’t
argue with me, please, not this time, just listen to me and shut up”. Saat-saat
dimana dia menangis karena kami bertengkar. Saat-saat yang lalu membuat hati
saya sakit. Yang membuat saya memeluknya dan meminta maaf. Tapi saat-saat
seperti itu selalu terjadi dan terjadi lagi bagaimanapun kuatnya saya berusaha
melawan untuk tidak melakukannya.
Jadi orang tua memang tidak ada sekolahnya. Iya, saya tahu
itu. Karena itu saya menundanya sampai 30 tahun lebih. Karena saya takut. Saya takut
tidak bisa jadi orang tua yang baik bagi anak-anak saya. Saya tahu watak saya,
dan saya tidak yakin apakah dengan watak dan kepribadian saya, anak-anak saya
akan jadi orang-orang yang lebih baik dibanding saya sekarang.
Dibesarkan di jaman dimana kata orang tua adalah sesuatu
yang tidak bisa dilawan, tiba-tiba saya jadi gagap. Saya gagap untuk memulai
diskusi dengan anak saya yang beranjak remaja ini. Yang kadang moody-nya
melebihi saya kalau sedang PMS. Yang punya kepala sekeras batu tapi sangat
cepat bilang, “Aku nggak bisa”, yang sering bikin darah saya spontan naik ke
kepala. Yang sangat takut gagal no matter seberapa seringnyapun kami bilang, “It’s
OK to fail, that’s how you’ll learn so much”.
Sangat ingin saya memulai perbincangan panjang dengannya tentang
menjadi perempuan, perempuan yang kuat dan bisa menjadi pilar kelak. Bukan karena
saya menganggap laki-laki tidak penting, tapi karena perempuan juga harus bisa
berdiri tegak, setegak dan setegap laki-laki. Tapi saya tidak tahu bagaimana cara
memulainya. Jaman sudah berubah. Apa yang menurut saya tegar, mungkin bagi dia
tidak. Saya tidak tahu... It’s a topsy turvy world and I think so many things
have changed, that I don’t even know how to understand them myself.
Sejak kemarin, saya tersentak. 9 tahun ke depan mungkin akan
jadi masa-masa yang sulit buat kami berdua. Sulit untuk saya menerima perubahannya
menjadi perempuan yang beranjak remaja, lalu dewasa. Dan mungkin juga sulit
bagi dia untuk menerima bahwa akan ada banyak hal yang bunda tidak akan ijinkan
only because she is scared for her.
Mungkin akan sulit buat saya untuk menahan
diri mengatakan, “Tidak”, atau, “Jangan”, atas nama perubahan – bahwa bagaimanapun
juga saya enggan, saya harus membiarkan dia mencoba hal-hal yang mungkin buat
saya menakutkan.
Mungkin saya akan paham kelak, apa perasaan Ibu saya, saat
saya bilang saya mau belajar silat padahal beliau ingin saya jadi perempuan
yang lebih ‘manis’. Bagaimana ketakutan beliau waktu saya bilang saya mau
belajar diving, dan pergi diving 2 – 3 hari tanpa kabar karena belum ada
teknologi telepon genggam. Mungkin saya satu saat juga akan sadar betapa sulit
untuk Ibu saya melepas saya untuk tinggal di negeri orang, tanpa ada siapapun
yang saya kenal.
Saya mulai paham pelan-pelan apa makna: every generation has
its flaws, and those flaws, are only seen by the generation before that. Ibu saya
mungkin juga dulu merasakan semua yang saya rasakan sekarang, walaupun beliau juga
sering bilang, “Jaman sekarang kelihatannya lebih berat”.
Oh well. Sekali lagi, hanya doa yang bisa saya panjatkan
pada Yang Maha Memberi dan Menolong. Saya telah diijinkan melahirkan seorang
bayi perempuan manis 11 tahun lalu. Pasti Allah juga punya segenap amunisi
untuk saya asal saya mau meminta dan menunduk di hadapanNya mengakui semua
kelemahan saya.
Happy birthday, my love. Maybe one day you’ll read this and
think that your mother is super duper silly willy and a little bit nuts. Maybe
one day we’ll fight so hard and you’ll think your mother is just too much. Your
mother is just a woman filled with hopes and fears for you, but sometimes she
forgets that to fulfill those hopes and to conquer those fears, she will need
to face herself first and finish her own battle.
Writing this while listening to the same song again and
again. A song that has a line that I feel encapsulates all that I feel for you, your father,
and your sister...
Hanyalah dirimu mampu membuatku jatuh dan mencinta, kau
bukan hanya sekedar indah, kau tak akan terganti...
(R I R I. Kegalauan
ini, hanya Engkau yang mengerti ya Allah...dan hanya padaMu aku berserah
diri...)
No comments:
Post a Comment